Kehidupan keagamaan di Indonesia, utamanya akhir-akhir ini cukup mengkhawatirkan, terutama dalam memberlakukan kitab suci. Ayat-ayat Alquran yang demikian luhur digunakan oleh sebagian politisi kita untuk menjatuhkan lawan politik. Dari ayat yang digunakan sebagai tuduhan untuk penistaan agama sampai pada uji kemampuan membaca kitab suci tersebut.
Itu sekedar menyebut contoh. Masih banyak kasus-kasus lainnya yang menggunakan kitab suci sebagai argumen melegitimasi posisi “duniawinya”.
Selain daripada kasus politik, kitab suci Alquran pun acap kali dipahami secara serampangan, terutama untuk doktrin-doktrin tertentu. Biasanya digunakan untuk mendukung pendapatnya dan menyududutkan kelompok lain yang berbeda.
Orang dengan kemampuan berbahasa yang minin, bahkan dasarnya dari terjemahan bisa berfatwa melalui dalil Alquran. Hal ini di antara akibat dari memposisikan Alquran tidak tetap dan juga menunjukkan tren keagamaan yang berkembang saat ini.
Boleh saja, seorang yang memiliki kemampuan terbatas dan minim mengambil dari Alquran sebagai inspirasi dalam kehidupannya dan meningkatkan etos kerja dan profesionalitas, tapi bukan sebagai fatwa dan doktrin keagamaan. Mengapa?
Sebab, pada ranah fatwa dan doktrin, diperlukan syarat-syarat atau kaidah-kaidah yang cukup berat dan ketat. Dengan demikian, tidak ada orang yang serampangan mendukung dirinya dan mendoktrin orang lain dengan menggunakan Alquran.
Baiknya, kita kembali menengok ‘perjalanan’ Alquran dalam kehidupan orang-orang Islam. Memang, bagi umat Islam, Alquran tidak saja sebagai pedoman dalam berperilaku melainkan telah melahirkan “peradaban” Islam. Hal ini dikarenakan Alquran telah menjadi sumber inspirasi bagi mereka.
Teks-teks yang terdapat dalam Alquran menjadi daya dorong kreasi umat Islam (terutama pada periode awal) untuk menemukan dan menciptakan berbagai langkah-langkah dan temuan ilmiah.
Umat Islam pada periode itu menjadi sentral dari ilmu pengetahuan yang berkembang di dunia. Berbagai temuan ilmu pengetahuan dan teklonogi banyak lahir dari ilmuan-ilmuan muslim. Hal ini di samping karena gencarnya berbagai projek penerjemahan buku-buku berbahasa latin dari Yunani juga karena mereka terinspirasi oleh Alquran.
Tidak hanya sebagai daya dorong terhadap kelahiran peradaban melalui ilmu pengetahuan dan teknologi semata, dari Alquran banyak muncul varian-varian ilmu agama yang kemudian menjadi mapan. Contohnya adalah ilmu bayan yang dikembangkan oleh Imam Syafi’i (seorang pendiri mazhab yang banyak menjadi acuan dalam penerapan hukum Islam di dunia Islam).
Dalam ilmu bayan, Imam Syafi’i mengembangkan gagasan bahwa untuk menggali hukum Islam harus dengan penelusuran struktur dan langgam bahasa Arab yang digunakan oleh Alquran. Alquran juga menjadi inspirasi dalam dunia seni, dari Alquran muncul seni kaligrafi yang memperindah bentuk dan gaya penulisan Alquran. Tak lupa juga para penyair menulis dan menjadikan Alquran sebagai inspirasi atas karya-karya mereka.
Teks yang terdapat dalam al-Qur’an sempat menjadi perdebatan ahli kalam (teologi) dalam Islam tentang sifat dari teks tersebut. Apakah ia bagian dari sifat Allah sehingga bersifat qadim atau abadi dan bukan makhluk atau qur’an adalah makhluk?
Terlepas dari perdebatan tersebut, dapat dikatakan disini bahwa wahyu yang disampaikan kepada manusia dengan perantaraan para rasul merupakan bagian kecil dari Kalam Allah yang tak terbatas. Ia adalah suatu Kalam yang tak tertulis yang didefinisikan dalam teologi klasik sebagai bersamaan dengan Allah dalam keabadian-Nya.
Dengan demikian, pemahaman manusia terhadap makna yang sesungguhnya dari wahyu bersifat sementara dan tidak mutlak kebenarannya, sehingga pemaknaan tersebut bukanlah makna yang sebenarnya dari Alquran. Upaya memahami dan mengerti makna dari teks Alquran yang dilakukan oleh manusia baru pada tataran mendekati dan berusaha menggali maksud dari Tuhan, dan sebagai bentuk keragaman makna Alquran.
Secara garis besar, kandungan dari Alquran dapat dibagi menjadi dua; Pertama, kandungan yang terdapat di dalamnya adalah berupa hal-hal yang berangkat dari fenomena objektif, seperti tentang alam, astronomi, geologi, biologi, dan lain-lain yang dapat diamati oleh manusia. Kedua kandungannya berupa hal-hal yang subyektif, seperti tentang kisah-kisah, anjuran moral, pedoman-pedoman yang mengarahkan prilaku manusia, dan lain-lain. Walaupun demikian, pembagian itu tidak tegas sifatnya, karena di dalam fenomena objektif terkandung fenomena subjektif, begitu juga sebaliknya.
Namun sayangnya, fenomena objektif yang terkandung di Alquran belum menjadi inspirasi bagi umat Islam untuk memahami maknanya dan menjadi daya dorong bagi kemajuan ummat. Fenomena objektif dalam Alquran pernah menjadi sumber inspirasi bagi umat Islam, terutama pada periode-periode awal.
Ketika orientasi keilmuan umat Islam bergeser pada fenomea subjektif dari Alquran maka berbarengan dengan itu ummat Islam mengalami kemunduran dalam ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan untuk memahami fenomena objektif perlu adanya ketrampilan dan kaidah-kaidah dari ilmu-ilmu yang objektif, seperti biologi, fisika, astronomi, dan lain-lain. Misalnya, untuk bisa memahami bahasa Alquran yang mengatakan bahwa bulan berputar pada sumbunya maka diperlukan ilmu astronomi yang mengkaji dan mempelajari peredaran perbintangan.
Selama ini, kandungan yang terdapat di dalam Alquran lebih banyak yang “dibaca” dari sisi subjektifitasnya. Misalnya tentang berbagai anjuran moral dan berbagai bentuk aturan dalam prilaku. Hukum halal dan haram masih mendominasi “bacaan” umat Islam tentang Alquran. Hal ini menjadi wajar karena setelah periode kejayaannya, semangat umat Islam untuk menggali dan menghidupkan epistimologi ilmu pengetahuan yang sifatnya empirik mulai ditinggalkan. Umat Islam mulai mengembangkan sisi esoteris dari ajaran Islam.
Salah satu sisi dari Alquran yang sampai sekarang masih dominan sebagai “bacaan” umat adalah penerapan aspek legalitilas (hukum) dalam berprilaku bagi manusia. Aspek ini dikenal dengan syariah atau fiqih, aspek ini menjadi penjelas bagi Alquran yang bersifat suci. Bahkan karena menjadi penjelas Alquran fikih pun menjadi terkesan bersifat “suci” juga dalam pandangan orang Islam.
Keanekaragaman Hayati dalam Alquran
Salah satu kategori obyektif dari Alquran adalah penyebutan berbagai jenis binatang dan tumbuhan. Keduanya sangat dekat dengan manusia. Baik untuk dikonsumsi maupun pemeliharaan walaupun dalam Alquran ada juga yang masih liar.
Ada beberapa konteks penyebutan binatang dalam Alquran. Sebagai pembelajaran, penyelesaian masalah, penjagaan dan kesetiaan, kebohongan dan lain sebagainya.
Dalam situasi kehidupan global yang makin mengkhawatirkan, terutama dengan semakin “buasnya” perilaku manusia pada alam semesta, maka Sarra Tlili dalam bukunya Animal in the Qur’an (Cambridge University Press) berargumen mengenai pentingnya mengungkap sisi objektif dari Alquran dalam kaitan tersebut adalah materi/binatang. Hal ini untuk menunjukkan bahwa manusia tidak akan bisa hidup tanpa adanya keanekaragaman hayati.
Dalam konteks Indonesia, kajian mengenai ayat-ayat yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati sangat mendesak dilakukan, untuk mengimbangi laju paham keagamaan yang doktriner dan berkutat pada urusan moralitas. Selain menyebut binatang, Alquran juga menyebut tumbuhan dan buah-buahan.