Tak terasa sudah 100 hari kepergian KH Hilman Wajdi bin KH Hasyim Muzadi, yang akrab disapa Gus Hilman. Beliau meninggal pada Rabu 18/12/2019. Dan hari ini, Kamis 26 Maret 2020, tepat 100 hari meninggalnya beliau. Sosok yang banyak meninggalkan kenangan baik, akrab dengan siapa saja tanpa memandang status sosial, murah senyum, dan selalu menampakkan kesederhanaannya di depan siapapun.
Ada banyak kenangan baik yang membekas dalam benak saya, yang bisa diambil dari sosok beliau. Salah satu di antaranya adalah ketika saya datang ke pesantren mahasiswa Al-Hikam Malang untuk menetap atau mukim di pesantren itu. Setelah sebelumnya saya sudah melakukan tes masuk kampus dan pesantren, dan alhamdulillah diterima atau lulus.
Baru menjelang dhuhur saya tiba di pesantren mahasiswa Al-Hikam Malang Lowokwaru kota Malang.
Melihat gapura pintu masuk pesantren ada bacaan:
رَبِّ زِدْ نِىْ عِلْمًا وَرْزُقْنِى فَهْمًا وَجَعَلْنَى مِنَ الصَّالِحِيْن
Hati saya berdesir. Dengan perasaan gemetar, hati saya langsung memusat pada satu sosok yang hendak saya sowani dan yang sebelumnya mewawancarai saya seleksi Ma’had Aly: KH Hilman Wajdi Hasyim (Gus Hilman).
Tiba di pintu gerbang pesantren itu, saya sendiri tanpa ditemani oleh siapapun. Saya langsung masuk ke pesantren. Sebelum menemui kiai itu, saya terlebih dahulu melakukan shalat dhuhur berjamaah bersama para santri.
Di barisan kran-kran masjid itu tampak para santri sedang mengambil wudhu dengan pakaian ala santri, walaupun ada sebagian yang memakai celana panjang dan kopiah. Dalam hati saya membatin, oh maklum ini kan pesantren mahasiswa. Kepada santri yang agak dewasa itu saya bertanya, “Mohon maaf mau tanya mas, apa Kiai Hilman Wajdi ada ?”
“Tidak ada, beliau sedang melakukan haji bersama jamaahnya” katanya sambil menggelengkan kepalanya
“Oh, jadi beliau tidak ada di ndalemnya ya ?” “Nggak ada ?”
“Sampean siapa dan dari mana ?”
“Saya mau masuk pesantren. Saya dari Sumenep. Kemarin dapat pengumuman dari kampus Ma’had Aly, katanya saya lolos, karenanya saya mau mukim hari ini”.
“Oh kalau begitu, silakan sampean laporan dulu ke kantor Ma’had Aly di gedung merah ini” katanya sambil menunjukkan jari jempolnya ke arah gedung merah itu.
Tanpa berpikir panjang saya diantar langsung menuju gedung itu. Tanpa menunggu lama, saya ditemui oleh beberapa orang yang belum saya kenal, itu dosen, ustaz, apa bukan ya?”gumamku. Saya dipersilakan untuk duduk, dan ditanya nama dan jurusan yang saya ambil.
Saya kaget setengah heran setelah dikabari waktu itu juga bahwa kemungkinan besar saya harus pindah jurusan dengan alasan tidak memenuhi kuota untuk buka kelas reguler (kelas pagi). Kalaupun ingin tetap di jurusan yang saya pilih maka secara otomatis saya hanya masuk 2 kali dalam satu minggu. Dan menurut pihak kampus sebagai mahasiswa mukim jelas terlalu banyak selownya.
Saya langsung bertanya kenapa ini bisa terjadi hari ini juga, kenapa tidak sebelum-sebelumnya diberitahukan sebelum saya berangkat ke Malang. Sehingga saya bisa berpikir. Sebab jurusan walaupun tidak menjamin kesuksesan adalah pilihan yang memiliki lebih banyak peluang kenyamanan dalam belajar.
Karena itu masih kemungkinan. Tentu saya berharap ini tidak akan terjadi. Kemudian oleh salah satu pemberi kabar itu saya disuruh untuk sowan dan konsultasi ke Kiai Hilman Wajdi sebagai orang yang memiliki hak otoritas dalam menentukan ini (penerima beasiswa prestasi)
Namun, karena beliau masih melakukan ibadah haji, saya mengurungkan niat dulu untuk sowan ke beliau. Ternyata menunggu dalam ketidakpastian itu membuat saya tidak sabar. Dengan tanpa mengurangi rasa hormat, saya langsung mencoba chat beliau melalui WhatsApp dengan segala keluhan dan masalah yang saya hadapi.
Beberapa jam kemudian, beliau menjawab pesan WhatsApp saya dengan memberikan rasa optimis bahwa saya pasti dan akan tetap menjadi santri Al-Hikam apapun yang terjadi. Dan beliau menyuruh saya untuk menunggu sampai beliau tiba di tanah air ( di pesantren mahasiswa Al-Hikam Malang) untuk tindak lanjutnya.
Beberapa hari kemudian sosok yang ditunggu-tunggu ini tiba di tanah air. Ketika beliau selesai shalat jamaah Maghrib di masjid dan hendak keluar dari masjid, sontak saya berdiri dan mencium tangan beliau. Ia bersarung dan berpeci putih, senyum terkembang di wajahnya yang tenang dan sangat egaliter sembari berkata, “ini Syahri ya, ayo ke rumah”. Saya langsung mengiringi beliau di belakangnya.
“Saya dari kemarin-kemarin memilih untuk tidak merokok karena bersama jamaah haji yang sebagian besar tidak merokok, jadi hari ini ya mengganti utang merokok itu. Nggak baik kalau utang nggak dibayar” Gus Hilman memulai obrolan dengan candaan.
Saya ketawa, “iya, iya Gus”
Tanpa perlu diminta, beliau mulai menanggapi keluhan-keluhan dan keberatan saya beberapa hari lalu yang saya kirim melalui pesan WhatsApp.
“Bagi saya, kamu tidak penting mau ngambil jurusan apa di kampusmu. Yang penting kamu mukim di pesantren ini dan bisa produktif secara keilmuan dan amal, dan beasiswa tetap jalan,” kata beliau terus memberikan rasa optimis.
Kuliahmu adalah sarana bagaimana ilmu kitab yang kamu miliki itu bisa mudah dipahami dan diterima oleh orang lain dan selalu relevan dengan keadaan zaman. Begitulah dawuh beliau waktu itu kalau diparafrasekan.
“Orang sekarang itu sudah kurang minat mempelajari kitab,” keluhnya, “beda dengan santri-santri dulu.” “Karenanya, kampus membuka beasiswa kitab dan Al-Qur’an supaya tradisi dan kultur pesantren itu tetap terjaga. Dan kamu salah satu di antaranya yang harus menjaga itu” imbuhnya
Saya tidak bisa banyak berkata-kata di depan beliau yang duduk sekitar jarak 3 meter, saya hanya bisa bilang, iya, iya, dan iya, Gus. Keberatan-keberatan yang sebelumnya menghinggapi diri ini sedikit demi sedikit mulai menghilang.
Lebih lanjut, Gus Hilman menjelaskan pentingnya pesantren untuk bisa lebih adaptif dalam menyikapi perkembangan teknologi. “Pesantren harus menjadi pusat kajian ilmu agama sekaligus juga sains,” tuturnya. “Santri ya harus sekolah, santri juga harus kuliah.”
Dan Gus Hilman juga menambahkan, sebagai orang yang memiliki ilmu agama plus nanti jadi sarjana tentu harus siap ditanya apa saja. Ini tantangan ke depan seperti itu, permasalahan terus semakin berkembang dan kompleks. Jangan sampai sebagai orang yang dicetak ahli agama dan sarjana mengecewakan orang, apalagi membahayakan orang lain.
Menjelang isya’ saya pamit undur diri. Bukan bermaksud untuk tidak ingin berlama-lama dengan beliau. Saya cukup tahu diri saja. Pesan-pesan beliau cukup banyak disampaikan. Sedangkan saya belum tentu bisa melaksanakan semuanya. Kalau terus berbincang tentu tidak akan ada habisnya.
Alfatihah Gus. Semoga amal baik panjenenengan di terima di sisi Allah SWT. Amin.