Sepanjang sejarah, budak adalah seseorang yang dianggap sangat hina dan dicap sebagai kalangan rendahan di mata tuannya. Sangat jarang sekali budak yang diperlakukan sebagaimana orang ‘merdeka’ lainnya. Apalagi memiliki kedudukan tinggi dan terhormat di sekitar mereka. Bahkan, pada zaman Nabi pun budak dijadikan makhluk yang terhina dan sangat tidak pantas mendapat kehormatan. Mereka harus tunduk kepada yang namanya sayid. Mengabdikan dirinya pada tuannya. Harus patuh terhadap perintah tuannya. Apa pun yang tuannya minta, harus ia penuhi dengan suka rela.
Namun, tidak semua budak yang kita rasa adalah makhluk hina. Justru ada banyak budak yang memiliki kedudukan agung di sisi Tuhannya dan mendapat rasa hormat yang laik dari tuannya sendiri. Salah satunya adalah Abdul Hasan Muhammad bin Isma’il, yang kemudian dikenal dengan Khair An-Nassaj.
Ia merupakan sufi pertengahan abad ke-2. Dan hidup selama kurang lebih 120 tahun. Pada saat itu, di zamannya, ia sangat terhormat hingga menjadi seorang guru dan mufti. Serta memiliki banyak murid dan pengikut yang akhirnya juga menjadi seorang sufi sejati. Sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imam Abi Al-Qosim Abdil Karim bin Hawzan Al-Qusyairi yang kemudian dikenal denga Imam Al-Qusyairi, di dalam salah satu karya beliau yang sangat menumental, Ar-Risalah Al-Qusyairiah, bahwa Khair An-Nassaj satu generasi dengan Abu Hamzah Al-Baghdadi, As-Sari dan Abul Hasan An-Nuri serta berguru kepada mereka dan menjalani proses tirakatnya menjadi seorang sufi sejati dengan mereka.
Mengenai kisah perubahan namanya, yang asalnya Muhammad bin Isma’il kemudian menjadi Khair An-Nassaj, ternyata ada kisah unik dan menarik di balik itu, yang kemudian nama itu melekat pada dirinya hingga ia wafat.
Suatu hari, di kala musim haji sudah tiba, Khair An-Nassaj tidak lupa untuk menunaikan ibadah haji. Namun, di saat ia sudah berada di pintu gerbang kota Kufah, ia ditangkap oleh seorang penenun sutra. Seketika penenun itu berseru: “Engkau sekarang adalah budakku. Dan mulai sekarang, namamu adalah Khair!” Karena dikiranya hal ini adalah sebuah takdir dari Tuhan, ia sama sekali tidak menentang perkataan si penenun itu. Bahkan ia bekerja pada si penenun itu, yang tak lain adalah tuannya sendiri. Bertahun-tahun ia bekerja menjadi penenun sutra. Kapan pun tuannya memanggil namanya: “Khair!” Pasti ia akan menjawab dengan lembut: “Labbaika (Ya, tuan!)” Serasa tidak ada rasa tidak suka atau pun benci ketika dipanggil dengan panggilan yang bukan namanya sendiri.
Namun anehnya, selang beberapa tahun sejak si penenun mempekerjakan Khair, ia merasa ada keganjalan terhadap apa yang selama ini ia perbuat pada Khair. Hingga pada suatu saat ia menyesali terhadap apa yang telah ia lakukan dan berkata pada Khair sembari memohon belas kasih, “Maaf, selama ini aku salah. Kau bukanlah budakku dan namamu bukanlah Khair…”
Setelah kejadian tersebut, ia mulai meninggalkan tukang tenun itu dan pergi ke Mekkah. Di sanalah ia mendapat derajat yang tinggi hingga Junaid pun memujinya: “Khair adalah orang terbaik di antara kita semua.” Sejak saat itu, ia lebih suka dengan nama ‘barunya’, Khair An-Nassaj. Sampai-sampai ia berkata: “Aku tidak akan mengganti namaku yang telah dianugerahkan oleh seorang muslim padaku.” Selama hidupnya, ia tetap menjalani tirakat tasawufnya sebagaimana seorang sufi agung lakukan.
Di sela-sela menjelang kewafatannya, pada waktu shalat Isya’, ia sempat berkata kepada Malaikat Maut, “Tunggu dulu, semoga Allah mengampunimu! Kau hanyalah seorang hamba yang menerima perintah Tuhannya. Begitu pula aku. Hal yang diperintahkan padamu (untuk mencabut nyawaku) harus engkau lakukan. Tetapi aku juga harus melakukan apa yang telah diperintahkan padaku (shalat Isya’). Biarlah aku lakukan terlebih dahulu, setelah itu kerjakan perintah-Nya.” Setelah itu, ia berwudu untuk menunaikan shalat isya’. Selang beberapa saat, setelah ia selesai menunaikan shalat isya’, ia kemudian melentangkan tubuhnya, memejamkan kedua matanya, membaca kalimat syahadat dan pada saat itu ia menyerahkan hidupnya.
Tak lama dari waktu wafatnya Khair An-Nassaj, ada seseorang yang bermimpi bertemu dengannya. Dalam mimpinya, ia ditanya, “Apa yang Tuhanmu perbuat padamu?” Ia pun menjawab, “Jangan tanyakan hal ini padaku. Tapi yang terpenting, aku telah terlepas dari duniamu!”