Sedang Membaca
Membicarakan Jilbab Nusantara: Antara Kerudung, Kerudung Panjang, atau Cadar
Moh. Rivaldi Abdul
Penulis Kolom

Penulis adalah Alumni S1 PAI IAIN Sultan Amai Gorontalo, sekarang Mahasiswa Pasca (S2) Islam Nusantara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Membicarakan Jilbab Nusantara: Antara Kerudung, Kerudung Panjang, atau Cadar

Sebenarnya, seperti apa pakaian muslimah Nusantara sejak dulu?

Pertanyaan itu rasanya cocok untuk membuka diskusi dalam esai ini. Pasalnya, diskursus seputar pakaian muslimah Nusantara sering mencuat, dan tak jarang memancing diskusi panjang yang ujung-ujungnya berakhir dengan truth claim (klaim kebenaran) dari sebagian pihak, bahwa yang seperti ini loh busana perempuan muslimah Nusantara.

Umumnya, dalam topik ini, perempuan bercadar sering terpojokkan dan tertuduh sebagai perempuan yang mengagungkan pakaian kearab-araban. Sebaliknya, yang berkerudung seakan menjadi representasi muslimah Nusantara. Sebab, memandang bahwa perempuan Nusantara sejak dahulu hanya memakai jilbab berupa kudung dan dipadukan dengan kebaya.

Pertanyaannya, benarkah asumsi-asumsi demikian?

Saya tidak akan membahas topik ini dari segi tafsiran hukum Islam. Jelasnya, baik itu kerudung, kerudung panjang, maupun cadar semua memiliki landasan dalam Islam.

Akan lebih menarik kalau menyoroti topik ini dari sisi lokalitas Islam Nusantara. Saya bisa berkata antara kerudung, kerudung panjang, maupun cadar, bukan pakaian perempuan Nusantara. Tentu, statement ini bisa diterima jika yang dimaksud adalah Nusantara sebelum diwarnai agama Islam.

Kudung, kerudung panjang, maupun cadar jelas bukan berasal dari Nusantara, melainkan lahir dari ajaran Islam seputar jilbab bagi perempuan. Ketika Islam menyebar di Nusantara, maka secara otomatis ajaran ini pun ikut mewarnai kehidupan masyarakat perempuan Nusantara yang sudah menerima agama Islam.

Baca juga:  Ummu Ziyad Al-Asyja’iyyah, Emak-Emak Pejuang Agama

Sebagaimana konsep dalam teori difusi budaya bahwa keberadaan pergerakan suatu kelompok masyarakat ke daerah tertentu akan menyebabkan persentuhan antara kebudayaan luar dengan masyarakat setempat. Salah satu hasil dari pertemuan budaya adalah akulturasi budaya, di mana budaya yang bersentuhan saling mewarnai.

Akulturasi budaya banyak terjadi saat para ulama menyebarkan Islam di Nusantara, gaya dakwah Islam Nusantara adalah dakwah kultural. Sehingga, melahirkan corak khas Islam Nusantara, yang merupakan hasil dari pertemuan antara Islam dan ke-Nusantara-an.

Dalam konteks jilbab di masyarakat perempuan Nusantara terlihat pula ciri khas kekhasan Islam Nusantara. Di Jawa, muslimah dahulu umumnya mengenakan kerudung sebagai atasan dan dipadukan dengan bawahan berupa pakaian tradisional seperti kebaya.

Di Madura, sebagaimana dijelaskan Hasanatul Jannah dalam bukunya Ulama Perempuan Madura:Sorong bini’ (sarung batik tulis asli Madura) dan kerudung panjang menjadi andalan identitas kostum nyai Madura zaman dahulu….”

Dari sini sudah ada dua jejak pakaian muslimah Nusantara atau jilbab Nusantara. Yaitu, “kerudung” dipadukan pakaian tradisional dan “kerudung panjang” dikenakan dengan sorong bini’ sebagai gamisnya.

Lantas, bagaimana dengan cadar? Apa ada jejak akulturasi ke-Nusantara-an dengan cadar sebagai pakaian perempuan Nusantara?

Di Bima, terdapat pakaian tradisional untuk perempuan yang disebut rimpu. Hilful Fudhul Sirajuddin Jaffar dalam bukunya: Jaringan Ulama dan Islamisasi Indonesia Timur menjelaskan bahwa terdapat dua jenis rimpu. Pertama, jenis rimpu colo, yaitu sarung khas atau tembe nggoli yang dilingkarkan menjadi penutup kepala, tanpa menutup wajah perempuan, sebagai tanda bahwa ia telah diperistrikan oleh seorang laki-laki.

Baca juga:  Literasi Digital dan Gerakan Perempuan dalam Kesetaraan Gender

Kedua, jenis rimpu mpida, yaitu busana menutup aurat perempuan sampai menutup wajah, kecuali mata. Busana ini menjadi simbol bahwa pemakainya adalah perempuan yang belum diperistrikan oleh seorang laki-laki. Gaya rimpu mpida di Bima seperti perempuan bercadar yang menutupi wajah, dengan keunikan Nusantara yaitu mengenakan bahan berupa sarung khas Bima.

Selain itu, di Gorontalo juga diketahui terdapat beleuto, sebagai pakaian muslimah Gorontalo dahulu. Beleuto merupakan sarung yang dikenakan untuk menutupi seluruh tubuh perempuan, kecuali mata. Jadi, cara memakainya seperti perempuan bercadar yang hanya menampakkan mata.

Rimpu mpida dan beleuto merupakan bukti kuat jejak ciri khas Islam Nusantara, dalam hal ini cadar sebagai pakaian perempuan Nusantara zaman dulu. Sehingga, menyebut muslimah bercadar sebagai sepenuhnya kearab-araban rasanya juga kurang tepat.

Perlu diingat, bahwa representasi Islam Nusantara bukan hanya Islam Jawa, namun juga termasuk lokalitas Islam daerah yang lain di Nusantara. Sehingga, menekankan kerudung sebagai pakaian muslimah Nusantara karena yang umum dipakai di Jawa sejak dahulu, merupakan sebuah kekeliruan. Karena, di daerah lain ciri khas jilbab Nusantara berupa kerudung panjang dan cadar juga terlihat dalam lokalitas masyarakat muslim Nusantara.

Jadi antara kerudung, kerudung panjang, maupun cadar, memiliki jejak kekhasan sebagai jilbab Nusantara yang sejak dahulu dalam lokalitas tiap daerah. Alangkah lebih bijak untuk tidak perlu mempertentangkan antara ketiga hal tersebut dalam wacana klaim identitas yang ‘paling’ Nusantara.

Baca juga:  Perempuan dan Budaya yang Membelenggunya

Saat ini, penggunaan pakaian tradisional, sarong bini’, rimpu, dan beleuto sudah jarang ditemui. Hal ini disebabkan kemajuan dunia fashion perempuan yang memengaruhi Nusantara. Namun, dari pakaian tradisional perempuan Nusantara terdahulu, kita bisa memahami bahwa dalam tren jilbab Nusantara baik itu kerudung, kerudung panjang, maupun cadar memiliki rekam jejak sejarah sebagai pakaian muslimah Nusantara.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top