Masjid tanpa Monopoli
Di usianya yang lebih dari sepuh Mbah Ma’shoem menginisiasi pembentukan nadzir Masjid Jami’ Lasem. Tugas nadzir ialah memelihara, memperbaiki, dan membina berlangsungnya kesejahteraan Masjid Jami’ kota Lasem dalam arti yang luas.
Menariknya, dalam pembentukan nadzir masjid, Mbah Ma’shoem sama sekali tak melibatkan anggota keluarganya. Nadzir yang terbentuk terdiri dari berbagai kiai, ulama dan tokoh semua kalangan Islam di Lasem. Tidak ada satu pun dari para putra atau menantunya yang menjadi anggota nadzir.
Sebab bagi Mbah Ma’shoem, seperti yang diungkapkan Sayyid Chaidar dalam Manaqib Mbah Ma’shoem (2013), masalah itu bukan urusan atau milik pribadi yang harus diturunkan kepada ahli waris. Juga bukan hal yang harus dimonopoli oleh anak cucunya, tetapi sebagai proyek bersama masyarakat Islam dan harus ditangani oleh masyarakat Islam sendiri, dari aliran apa dan golongan manapun. Masjid bukan milik keluarga atau warisan kepada ahli waris. Juga bukan dimiliki oleh ormas atau bahkan oleh negara sekalipun. Masjid dan nadzir adalah milik umat Islam. Ini adalah wasiat Mbah Ma’shoem, kata Sayyid Chaidar.
Sekali lagi, masalah masjid harus diserahkan bulat-bulat kepada umat. Wasiat ini dapat dikatakan sebagai ijtihad Mbah Ma’shoem yang berpandangan jauh ke depan. Mengingat belakangan ini masjid cenderung dikuasai dan dimonopoli oleh salah satu golongan, kelompok aliran apapun itu, atau bahkan pribadi. Laiknya sebuah arena perebutan pengaruh dan dominasi golongan atau kelompok aliran tertentu yang berpotensi ketegangan dan memicu keterbelahan umat Islam.
Setelah tiga kali musyawarah, usaha Mbah Ma’shoem membentuk nadzir akhirnya mufakat tercapai. Berturut-turut di rumah KH. Baidlowi, di Pondok Pesantren al-Hidayat, dan di rumah Mbah Ma’shoem sendiri. Namun, sebelum melihat jauh perkembangannya, Mbah Ma’shoem yang saat itu berusia 102 tahun wafat. Mbah Ma’shoem wafat sekitar pukul 14.00 WIB pada hari Jumat, 12 Ramadhan 1392 atau 20 Oktober 1972. Jenazah dimakamkan di kompleks Masjid Jami’ Lasem pada esok harinya.
Puluhan ribu manusia yang datang dari berbagai daerah tak menghiraukan terik matahari dan dahaga musim kemarau di bulan Ramadhan. Mereka memenuhi jalanan dan halaman dari rumah, pondok, sampai halaman masjid, yang datang dari seluruh jurusan. Iringan jenazah dipimpin oleh kedua putra almarhum, KH. Ali Maksum dan KH. A. Syakir, yang memikul bagian depan keranda—sebagaimana ketika wafatnya Fatimah, kedua putra almarhumah, Hasan dan Husen memikul jenazah ibunda mereka.
Berikut ini adalah wasiat Mbah Ma’shoem:
Maziah Mbah Ma’shoem:
Maziah Mbah Ma’shoem
Pendiri Pondok Pesantren Al-Hidayat pada 1917 ini memang hobi membangun atau memperbaiki masjid dan musholla, selain juga mencintai fakir miskin dan menghormati tamu-tamu yang berkunjung, serta rajin bersilaturahmi. Hobi ini menurut Sayyid Chaidar adalah maziah atau keistimewaan Mbah Ma’shoem. Maziah ini berkali-kali disampaikan kepada santri dan jamaah, termasuk kepada putra-putrinya.
Pada pagi hari jelang beliau wafat Mbah Ma’shoem yang juga berpuasa Ramadhan, salat Dhuha non-stop. Di rumah sudah berkumpul keluarga dan kerabat terdekat. Kepada putra-putrinya Mbah Ma’shoem berpesan agar cinta dan mencintai fakir miskin, suka menolong dan meringankan beban mereka, suka menerima dan menghargai tetamu, dan rajin mengikuti jejaknya selama ia hidup.
Selama hidupnya Mbah Ma’shoem mendirikan tak kurang dari lima masjid dan pondok pesantren plus tenaga dampingan dari santri-santri Pondok Pesantren Al-Hidayat. Di antaranya di desa Kajar, Korowelang, Gowak dan Tulis; juga lima pondok pesantren tersebar di Demak, Mayong, Madura, Banyuwangi dan Lasem.
Jejak belajar Muhammadun, nama Mbah Ma’shoem pada masa mudanya, pernah menimba ilmu kepada Kiai Nawawi Mlonggo, KH. Umar Sarang Rembang, KH. Ridwan Semarang, KH. Siraj Kajen, KH. Abdussalam Kajen, KH. Abdullah Kajen, KH. Idris Jamsaren, KH. Cholil Bangkalan, KH. Hasyim Asy’ari Tebuireng, KH. Dimyati Termas, KH. Syarafuddin Kudus, KH. Ma’shoem Damaran, dan KH. Machfudz Mekkah. Setidaknya melihat nama-nama dan maupun banyaknya guru pada masa belajarnya, maka betapa luasnya ilmu agama KH. Ma’shoem; jika dibandingkan dengan santri sekarang pada umumnya—lebih-lebih yang hanya berguru kepada almukarom kiai google.