Pesta demokrasi lima tahunan sekali di Indonesia akan segera digelar tepatnya pada 14 Februari 2024 mendatang. Suhu politik kian memanas. Tim sukses dari masing-masing paslon berlomba-lomba memikat hati rakyat untuk memilih Capres-Cawapres mereka. Panasnya suhu perpolitikan nasional kita pun terasa hingga di dunia maya. Seluruh amunisi dikeluarkan untuk memenangkan paslon mereka termasuk dengan menggunakan dalil-dalil agama.
Penggunaan dalil-dalil agama dalam ranah politik praktis menimbulkan dan menumbuhsuburkan klaim-klaim kebenaran atas nama agama untuk menghakimi yang lain sebagai sesat dan menyesatkan. Dan seperti terlihat di berbagai media sosial kita, narasi yang terbentuk adalah narasi penghakiman, cacian, dan hujatan atas nama agama. Dalam suasana seperti ini ada baiknya kita renungkan dan refleksikan tulisan Gus Dur dan beberapa pemikir lain yang konsen dan terkait dengan gagasan “agamaisasi kedamaian”.
Pada akhir tahun 2005, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menulis sebuah artikel di Wall Street Journal dengan judul Right Islam versus Wrong Islam. Tulisan tersebut kemudian diterbitkan ulang di beberapa koran ternama seperti New York Times dan Washington Post, serta dimuat di ratusan website penting.
Dalam tulisannya Gus Dur membuat dikotomi yang tegas dengan menunjukkan antara pemahaman Islam yang benar dan Islam yang salah. Islam yang benar (penafsiran) menurut Gus Dur adalah Islam yang membawa rahmat, mengayomi minoritas, menebarkan kedamaian dan cinta kasih antara sesama umat manusia dan tidak mengabsahkan kekerasan (violence) atas nama agama. Sebaliknya, Islam yang salah (penafsiran) adalah kebalikan dari semua ciri-ciri di atas. Tulisan Gus Dur tersebut masih sangat relevan untuk kita jadikan bahan renungan saat ini ketika wacana tafsir atas nama agama (Islam) diklaim oleh sementara kalangan sebagai satu-satunya kebenaran. Dengan mengatasnamakan Tuhan, agama dimanfaatkan untuk kepentingan sesaat dan berbagai tindak destruktif (kekerasan) yang justru menodai makna dan arti Islam itu sendiri.
Agama sejatinya merupakan pesan Tuhan untuk menebarkan cinta kasih dan perdamaian di dunia. Melalui agama, Tuhan mengajarkan agar manusia berlomba-lomba dalam kebaikan untuk mewujudkan misi kemanusiaan universal, yakni terciptanya sebuah dunia yang berkeadaban. Tapi pada kenyataannya yang sering terjadi adalah sebaliknya, agama seringkali digunakan untuk tujuan-tujuan yang menghancurkan sendi-sendi peradaban itu sendiri. Agama “dibajak” oleh pihak-pihak tertentu demi kepentingan sesaat. Dengan mengatasnamakan agama, mereka merasa mewakili kehendak Tuhan. Mereka memiliki hak untuk memonopoli tafsir atas “kebenaran” yang merupakan hak mutlak Tuhan. Berbagai cara dan tindak kekerasan sekalipun, diabsahkan dalam upaya memanipulasi kebenaran atas nama agama/Tuhan.
Asma Asfaruddin dalam bukunya “Striving in the Path of God: Jihad and Martyrdom in Islamic Thought” (2013) menyajikan tafsiran menarik atas makna agama. Analisisnya cukup menarik untuk dijadikan pisau analisis dalam membedah “kekerasan atas nama agama” yang belakangan ini marak terjadi di Indonesia. Asfaruddin, penulis buku tersebut, mencoba mendekonstruksi pemaknaan atas agama dan nalar berpikir kalangan yang memanfaatkan agama untuk tujuan tertentu dan kepentingan sesaat yang bersifat profan (keduniaan). Dari dekonstruksi pemaknaan agama tersebut, selanjutnya Asfaruddin merekonstruksi ulang pemaknaan terhadap agama (Islam) yang fresh, aktual dan kontekstual.
Dengan berbagai pendekatan—salah satu di antaranya adalah historical approach—ia menelusuri akar sejarah kekerasan atas nama agama yang terjadi dalam Islam. Menurutnya, kekerasan atas nama agama ini berawal dari problem hak monopoli “tafsir kebenaran” (exegesis of thruth) atas Islam itu sendiri. Oleh karena itu, menurutnya harus dibedakan antara Islam (agama/al-din) dan pemikiran Islam (penafsiran atas Islam/turats). Agama berasal dari Tuhan yang bersifat mutlak kebenarannya. Agama diturunkan oleh Tuhan untuk kepentingan dan kemaslahatan manusia (li maslahat ‘ammah). Sedangkan pemikiran Islam merupakan hasil pemikiran atau penafsiran manusia atas Islam (agama) yang terkait dengan konteks sosio-kultural (al-siyaq al-tsaqafi al-ijtima’i) masyarakat di mana sang penafsir hidup.
Interpretasi yang cukup berani dilakukan Asfaruddin dalam memaknai kata Islam. Menurutnya kata Islam dalam al-Qur’an lebih populer dimaknai dengan makna “kedamaian” dari pada makna “agama”. Menurut Aksin Wijaya dalam bukunya ”Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia; Kritik Atas Nalar Agamaisasi Kekerasan” (2018) penempatan kata Islam sebagai agama yang bersifat eksklusif, dalam posisi sentral semantik al-Qur’an, tidak dapat dipertahankan secara semantis. Sebaliknya, kata “Islam” dalam arti kedamaian-lah yang sejatinya ditempatkan sebagai poros semantik al-Qur’an. Analisis semantik terhadap istilah Islam dan derivasinya menandakan betapa Islam sebagai agama tidak hanya mengajarkan kedamaian, tetapi juga menjadikan kedamaian sebagai bagian asasi dari Islam. Kedamaian sejatinya nalar, menjadi strategi dan aksi nyata dakwah Islam. Dengan kata lain, sejatinya kita mengubah nalar keislaman kita, dari nalar Islam teosentris yang cenderung melegalkan kekerasan ke nalar Islam antroposentris yang cenderung menolak kekerasan dan menawarkan kedamaian.
Yang menjadi persoalan adalah ketika terjadi pencampuradukkan antara kedua entitas tersebut. Antara Islam yang bersifat absolut dan mutlak kebenarannya dengan pemikiran Islam yang bernuansa relatif dan penuh dengan dinamika dan perubahan. Fakta historis (historical fact) sejarah awal Islam menunjukkan hal ini dengan munculnya aliran Khawarij yang memonopoli kebenaran dengan jargon politiknya “la hukma illa lillah” (tidak ada hukum kecuali hukum Allah). Model penafsiran yang dikedepankan oleh aliran ini adalah penafsiran tekstual-harfiyah terhadap teks primer al-Qur’an. Monopoli penafsiran inilah yang dikemudian hari menimbulkan permasalahan dalam tubuh umat Islam, bahkan hingga era kontemporer (ashr al-mu’ashirah) saat ini. Oleh karenanya, intelektual muslim kontemporer menyebut pola pikir dan gerakan ini dengan istilah Islamisme.
Bassam Tibi memberikan definisi yang cukup meyakinkan antara Islamisme dan Islam. Dalam bukunya Islamism and Islam Tibi menyatakan dengan tegas bahwa Islamisme itu terkait tatanan politik, bukan iman. Meski demikian, Islamisme bukanlah semata politik, tetapi politik yang diagamaisasikan. Dalam bukunya tersebut Tibi memandang Islamisme sebagai contoh paling kuat dari fenomena global fundamentalisme religius.
Senada dengan Tibi, kalangan Islam Islamisme/puritan dalam pandangan Asfaruddin melakukan kekerasan dengan mengatasnamakan agama dan Tuhan disebabkan oleh caranya dalam “menalar Islam”. Mereka menggunakan metode berpikir dialektis-dikotomis, menawarkan Islam teosentris (tauhid uluhiyah), memaknai konsep al-hakimiyah secara politis dalam bentuk berdirinya pemerintahan Tuhan, dan menjadikan jihad fi sabilillah sebagai pijakan gerakan revolusionernya dalam merebut kekuasaan politik dari tangan manusia yang disebutnya sebagai thaghut. Nalar keislaman seperti ini pada gilirannya juga mengabsahkan dilakukannya kekerasan terhadap kelompok lain dengan mengatasnamakan agama dan Tuhan. Dikatakan “mengatasnamakan agama” karena mereka acapkali menggunakan al-Qur’an dan hadis Nabi sebagai dalil pendukungnya ketika melakukan kekerasan. Dikatakan “mengatasnamakan Tuhan” karena mereka acapkali mengumandangkan kalimat takbir “Allahu Akbar” pada saat melakukan tindakan kekerasan fisik terhadap pihak lain.
Nalar pikir keagamaan (nazariyat al-fikr al-dini) tersebut memiliki corak tersendiri dalam menafsirkan teks-teks keislaman. Nalar keislaman yang digagas oleh kalangan Islam Islamisme/puritan bercorak tekstual-harfiyah-formalistik. Sebuah pola penafsiran yang mengedepankan pemaknaan literal, rigid (kaku), dan cenderung menyalahkan pola penafsiran lain yang berbeda dengan pola pikir mereka. Pada titik ini yang terjadi adalah otoritarianisme interpretasi di tingkat wacana yang mengarah pada aksi kekerasan dalam ranah publik.
Otoritarianisme di tingkat wacana (discourse) terjadi ketika sebuah kelompok Islam memaksakan tafsiran tunggal atas teks-teks keislaman kepada pihak lain. Padahal sebuah tafsir, dalam dunia pemikiran Islam, hanyalah ibarat buih dari “lautan tafsir” yang dirumuskan oleh para cendekiawan muslim. Islam sangatlah kaya akan sebuah perbedaan (ikhtilaf), sebagaimana sabda Nabi ikhtilafu ummati rahmah (perbedaan di kalangan umatku merupakan sebuah rahmat). Dengan garansi dari Nabi tersebut, seharusnya tidak perlu sekelompok kalangan mengklaim penafsirannya atas Islam sebagai sebuah “kebenaran tunggal” yang dipaksakan kepada pihak lain. Model nalar keislaman seperti yang diusung kalangan Islam Islamisme inilah yang disebut Aksin Wijaya sebagai nalar agamaisasi kekerasan.
Sementara itu, nalar keislaman yang digagas oleh kalangan Islam pluralis bercorak kontekstual-historis-substantif. Nalar keislaman ini lebih mengedepankan pola pikir dialogis antara teks (al-nash) dan realitas sosial (al-waqi’) yang selalu dinamis dan berubah-ubah. Dialektika antara teks (ayat qauliyah) dan konteks (ayat kauniyah) inilah yang pada akhirnya melahirkan pola pikir yang menghargai pluralitas penafsiran yang ada dalam tubuh umat Islam. Dalam pandangan kelompok ini, perbedaan di antara para cendekiawan muslim atau pemimpin umat tidak harus mengakibatkan perpecahan, akan tetapi perbedaan tersebut haruslah menjadi semangat pemantik untuk memajukan peradaban dan kemanusiaan.
Kembali ke pesan Gus Dur di atas. Sesuai dengan konteksnya, pesan Gus Dur di Wall Street Journal dan Asma Asfaruddin sangat jelas, umat Islam harus mengampanyekan Islam yang ramah. Bukan Islam pemarah. Islam yang membangun peradaban dan bukan sebaliknya, menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan. Pemisahan yang tegas diperlukan untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa dalam tubuh umat Islam terdapat pemaknaan Islam yang beragam (heterogen). Ada Right Islam dan Wrong Islam seperti kata Gus Dur. Ada Islam Pluralis dan ada juga Islam Islamisme (ideologis/puritan) dalam tipologi Aksin Wijaya. Ada Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah (MU) yang “memposting” wajah nalar agamaisasi kedamaian (nalar Islam rahmatan lil ‘alamin), dan ada juga Hizhut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) yang dalam beberapa tahun lalu menampilkan wajah Islam “yang lain”.
Walhasil, Asfaruddin telah menawarkan satu pembacaan produktif (al-qira’ah al-muntijah) atas konsep Islam meski ia berbeda dengan model pembacaan mainstream umat Islam. Model nalar keislaman seperti inilah menurutnya yang harus dikedepankan oleh umat Islam di masa depan. Kalangan Islam pluralis berupaya untuk mendekonstruksi pola pikir nalar agamaisasi kekerasan di atas dengan mengedepankan nalar keislaman yang rahmatan lil ‘alamin. Nalar keislaman ini menurut Asfaruddin berpijak dari diutusnya Nabi Muhammad Saw untuk memanusiakan manusia dengan mewujudkan agenda kemanusiaan yang berakhlak dan berkeadaban (mutamaddin).
Menggagas nalar “agamaisasi kedamaian” merupakan langkah yang tepat di saat Indonesia dihadapkan pada ragam problematika kebangsaan, keagamaan dan kemanusiaan serta situasi serba darurat. Mulai dari darurat narkoba, globalisasi ekonomi neoliberal-kapitalisme, darurat wacana dan gerakan radikalisme, dampak perubahan iklim dan geo politik global hingga darurat “ganti sistem” pemerintahan dari segelintir kelompok yang mengusung ide sistem khilafah.
Terlebih, di tahun politik jelang Pemilu 2024 ini di mana tingkat eskalasi kekerasan dan ujaran kebencian (hate speech) semakin meningkat drastis baik di media massa maupun media sosial. Sekali lagi, situasi dan arus sosial politik jelang pemilu ini betul-betul menjadi momentum yang tepat untuk mengasah nalar keislaman kita, untuk berani hijrah dari nalar agamaisasi kekerasan ke nalar “agamaisasi kedamaian”, sebuah nalar Islam rahmatan lil ‘alamin.