Sedang Membaca
Mbah Shodiq Kiai Sat-set (5): Santri Ulet nan Alim

Lahir di Pati, 5 April 1963 memiliki istri 1 yaitu Hj. Syafi'ah Binti H. Amiruddin (almarhumah) dua orang anak dan 1 cucu. Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Kulon Banon Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah.

Mbah Shodiq Kiai Sat-set (5): Santri Ulet nan Alim

Whatsapp Image 2022 11 29 At 21.19.55

Saya bertemu dengan K.H. Shodiq Hamzah dimulai tahun 1980 di Suburan Mranggen Demak. Beliau merupakan salah satu guru ngaji di pondok. Pada waktu itu beliau telah mengajar di Madrasah Tsanawiyyah Futuhiyyah Suburan Mranggen.

Sejak dahulu, saya memang suka kilatan posonan (ngaji kitab pada waktu Ramadhan) di berbagai pondok. Nah, pada 1979 ngaji Kitab al-Mahalli (Syarh al-Mahalli ala Minhaj al-Thalibin) yaitu sarah kitab Minhajut Thalibin yang ditulis oleh Imam Nawawi di Pondok Pesantren Futuhiyyah Suburan Mranggen di bawah asuhan K.H. Muslih Abdurrahman. Pengajian kilatan pada waktu itu tidak hanya dibalah oleh K.H. Muslih. Namun, dibantu K.H. Ishaq dan KH. M. Shodiq Luthfi Hakim (alm) (putra K.H. Muslih).

Setelah tamat dari Madrasah Tsanawiyyah Darun Najah Ngemplak Kidul, Margoyoso Pati saya melanjutkan di Madrasah Aliyah Futuhiyyah. Atas dawuh bapak saya, untuk mondok di pondok pesantren Futuhiyyah. Disinilah selama 3 tahun di bawah bimbingan K.H. Shodiq Hamzah, diajar kitab Alfiyah Ibnu Malik.

Saya matur dengan Kiai Muslih tidak di Aliyah cuman beliau tidak mengizinkan untuk wajib Aliyah. Kemudian dipanggil pengurus pondok tak lain adalah K.H. Shodiq Hamzah. Disinilah K.H. Shodiq Hamzah diperintah untuk ngajar khusus Alfiyah hanya kepada saya. Hanya saya sendiri dan itu merupakan dawuh dari Kiai Muslih.

Baca juga:  Ikatan Batin Masyarakat Kalibeber dengan Mbah Muntaha

“Kiai Shodiq adalah guru saya, apapun, bagaimanapun beliau adalah guru saya. Kita harus ta’dhim dengan beliau. Kapanpun dan dimanapun saya tidak akan melupakan Kiai Shodiq.”

Sebagai santri yang tambeng (baca: nakal) seringkali tidak ngaji. Nah, Kiai Shodiq ini mencari saya sampai ketemu. Kemudian ngaji Alfiyah. Karena memang ini adalah dawuh guru. Ingat betul, kala itu ngaji Alfiyah di pondok K.H. Abdul Bashir Hamzah. Beliau ini adalah saudara Kiai Shodiq Hamzah.

“Saya merasa nyaman ngaji dengan Kiai Shodiq. Karena memang tidak ada santri lain. Boleh dikatakan kalau zaman sekarang ngaji privat. Karena hal itu memang tidak dilakukan oleh santri lain pada waktu itu.”

Ketaatan Kiai Shodiq melaksanakan privat kepada saya ini karena memang dawuh langsung dari beliau Kiai Muslih sebagai guru. Harus ngaji Alfiyah sampai khatam. Memang betul Kiai Shodiq ini lama mengabdi di Futuhiyyah.

“Saya tahu sendiri bahwa Kiai Shodiq kok yang ditunjuk oleh Kiai Muslih. Padahal diantara murid-murid Kiai Muslih yang banyak, namun hanya Kiai Shodiq ini yang dipilih untuk ngajar saya. Sedari dulu Kiai Shodiq itu tidak berubah hingga sekarang. Hal ini tak luput dari ketajaman Kiai Muslih dalam menentukan sesuatu.”

Walaupun sedikit menimba ilmu dari Kiai Shodiq. Ya, menjadi saya sekarang ini. Alhamdulillah bermanfaat untuk saya sendiri hingga bisa untuk berdampingan dengan masyarakat.

Baca juga:  Ulama Banjar (78): KH. Sjamhudar Uchtari

“Saya mengakui bahwa beliau Kiai Shodiq adalah orang yang alim. Hal itu mulai kelihatan ketika di pondok.”

Tambeng santri dahulu dengan santri sekarang berbeda jauh. Ketika sudah ada dawuh dari kiai/guru sangat ta’dhim. Tidak akan berani apa-apa. Karena apa, jangan sampai mengecewakan hati kiai. Ilmu menjadi bermanfaat kalau terhadap kiai/guru. Kalau kiai/guru sudah menyesal dan sakit hati terhadap santri maka ilmunya tidak akan bermanfaat.

Maka dari itu kunci ilmu bermanfaat yaitu ta’dhim dengan kiai/guru. Maka tidak akan ada istilah bekas kiai/guru. Salah besar kalau ada yang mengatakan itu bekas kiai/guru. Tidak ada kata bekas kiai/guru. Kiai tetaplah kiai. Guru tetaplah guru.

Dengan segala kapasitas Kiai Shodiq sekarang ini beliau layak mendapatkan gelar doktor honoris causa dari UIN Walisongo. Karena memang Kiai Shodiq ini dibutuhkan oleh masyarakat. Walaupun beliau ini dipetelke (digencet hingga tak terlihat) tetap akan muncul ke permukaan. Saya tahu persis beliau itu. Seorang pendidik yang tulus. Beliau juga ta’dhim kepada guru-gurunya sebagaimana kita ta’dhim terhadap guru-guru.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top