Pada siaran pertama pukul 07.00 di RRI, bagian penerangan G-30-S menyiarkan bahwa tujuan gerakan mereka antara lain menangkap sejumlah jenderal yang mereka sebut sebagai “Dewan Jenderal” yang diduga akan melakukan kudeta pada 5 Oktober dan untuk melindungi Presiden Sukarno dari kudeta tersebut. Tujuan ini seolah ingin menyelamatkan kekuasaan Sukarno sebagai pribadi maupun sebagai seorang presiden, namun pada siaran kedua mereka justru mengambil kekuasaan presiden secara terang-terangan.
Pada siaran pukul 11.00 mereka menyebut akan membentuk Dewan Revolusi Indonesia (DRI) dalam bentuk presidium; DRI adalah sebagai sumber segala kekuasaan di Negara Republik Indonesia; dan Kabinet Dwikora dinyatakan demisioner.
Dalam banyak gerakan revolusi tujuan adalah kunci. Bagaimana gerakan akan dilancarkan, siapa yang diidentifikasi sebagai musuh, kepentingan apa yang dilindungi, siapa yang dianggap sebagai sekutu, dan lain-lain ditentukan oleh tujuan revolusi. Namun tidak dengan G-30-S, kelompok yang katanya akan membentuk DRI justru terlihat tidak konsisten dengan tujuannya. Berikut ini sejumlah keganjilan G-30-S lainnya:
Pertama, pemimpin militer gerakan ini hanya seorang letnan kolonel (Untung Syamsuri). Brigjen Supardjo dalam dokumen yang ditulisnya menyebutkan “kawan Untung dalam membubarkan pasukanpun melakukan kesalahan, seharusnya sebagai komandan dia memberikan petunjuk teknis bagaimana pelaksanaan menyebar dan menyusup kembali.”
Kedua, untuk sebuah gerakan nasional, terlihat pemimpin militer (Untung) maupun memimpin politik (Syam Kamaruzaman) tidak melakukan cek kesiapan dukungan/pasukan di daerah dari elemen militer maupun sipil. Tidak heran jika hanya terjadi letupan kecil di Semarang yang dipimpin oleh Kolonel Suherman sebagai respon G-30-S dan pemberontakan para perwira muda kepada para seniornya di Yogyakarta yang dipimpin oleh Mayor Mulyono. Bahkan kurir gerakan yang bermaksud menyampaikan pesan ke Palembang dari Jakarta baru sampai Tanjung Karang ketika peristiwa tersebut meledak. Jangankan mengecek pasukan di daerah, kesiapan pasukan di jakarta pun tak dicek. Pasukan G-30-S yang katanya ditempatkan di tiga sektor di Jakarta: di sektor Selatan, Tengah, dan Utara tidak bergerak pada saat dihubungi, katanya mereka memilih bersembunyi. Mungkin saja tak ada pasukan di tiga sektor tersebut.
Ketiga, sebagai gerakan yang bermaksud merebut kekuasaan Sukarno (seperti yang disebut pada siaran kedua) melalui DRI, sebagai presiden dengan dukungan yang kuat, G-30-S hanya gerakan kecil yang bertahan dalam hitungan hari. Bandingkan dengan gerakan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) atau Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang berjalan bertahun-tahun, DT/TII bahkan bertahan puluhan tahun, sedangkan G-30-S hanya berusia tiga hari; di Jakarta G-30-S bubar pada hari kedua; sedangkan di Semarang dan Yogyakarya bubar pada hari ketiga.
Keempat, personel militer dan sipil yang ambil bagian dalam G-30-S hanya 4.130 orang; 2.130 personil militer dan 2.000 orang sipil. Bandingkan dengan kekuatan personil yang dimiliki Kodam Jaya saat itu yang berkekuatan enam ribuh personel, minus dua peleton Brigade 1 yang dibawa Letkol Abdul Latief. Siapapun yang menjadi pemimpin pasukan kontra G-30-S, dengan menggunakan kekuatan pasukan Kodam Jaya saja, akan dengan mudah menggulung gerakan itu.
Kelima, kesatuan-kesatuan yang terlibat dalam G-30-S tidak dilengkapi dengan alat komunikasi. Pasukan di sekitar Monumen Nasional (Monas) tidak bisa berhubugan langsung dengan pusat komando di Lubang Buaya. Jangkan kesatuan yang di lapangan, bahkan Brigjen Supardjo, wakil komando gerakan harus mondar-mandir dari Lapangan Udara Halim Perdanakesuma ke Istana Merdeka untuk memastikan keberadaan presiden sepanjang pagi dan siang 1 Oktober itu.
Keenam, untuk urusan logistik saja terlihat diurus dengan cara amatiran. Pasukan pendukung gerakan yang ditempatkan di sekita Monas dari Batalyon 454 Diponegoro dan Batalyon 530 Brawijaya sebanyak 1000 personil kelaparan karena tidak mendapat ransum selama sehari-semalam. Batalyon 530 Brawijaya akhirnya mendapat makanan dari Markas Kostrad yang berada di jalan Medan Merdeka Timur. Bagaimana bisa gerakan yang akan mendongkel kekuasaan presiden melalui DRI bisa efektif jika mengurus perut 1.000 prajurit saja tidak bisa.
Ketuju, Jalan Medan Merdeka Timur seperti sengaja tidak ditempati oleh pasukan G-30-S, padahal di jalan itu markas Kostrad yang dipimpin Mayjen Suharto berada. Pada saat wilayah sekitar Monas; Medan Merdeka Barat (gedung RRI), Medan Merdeka Selatan (Keduataan AS), dan Medan Merdeka Utara (Istana Merdeka) mencekam, di jalan Medan Merdeka Timur (Markas Kostrad) justru orang-orang beraktifitas secara leluasa karena tidak ada pasukan G-30-S baik dari Batalyon 454 Diponegoro maupun dari Batalyon 530 Brawijaya. Padahal di Medan Merdeka Timur inilah seluruh perintah pengganyangan G-30-S dipusatkan.
Kedelapan, pada pukul 19.00, ketika diketahui Jenderal Nasution, Jenderal Suharto, dan Jenderal Umar Wirahadikusuma (Pangdam Jaya) membentuk suatu komando untuk melawan G-30-S, para pimpinan gerakan; pemimpin politik (Syam) maupun pemimpin militer (Untung) tidak memberikan respon apapun, termasuk saat Laksamana Omar Dani mengusulkan agar pasukan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) bersama-sama dengan pasukan G-30-S menghadapi kekuatan komando yang dibentuk tiga jenderal di atas.
Kesembilan, Panglima Kostrad Mayjend Suharto adalah orang yang biasa mewakili Jenderal Yani pada saat Menpangad berdinas ke luar negeri. Pada saat klomplotan G-30-S mengincar Jenderal Nasution, Jenderal Yani dan para stafnya, mengapa mereka tidak mengincar Jenderal Suharto juga, padahal Suharto sangat berpotensi menggantikan Yani dan memiliki kekuatan untuk memukul balik G-30-S?
Sampai di sini terlihat kalau G-30-S memang diciptakan untuk gagal. Pertanyaan besarnya, siapa otak dibalik gerakan yang janggal ini? Siapa yang disusupkan pada kubu mana hingga sanggup mendorong gerakan yang terlihat belum siap sehingga sangat mudah dipatahkan? Siapa yang sedang bermain dan menangguk untung dari peristiwa yang akhirnya menelan jutaan nyawa? Alfatiha untuk para korban G-30-S dan peristiwa-peristiwa sesudahnya.
—————————————————–
Sumber buku: 1) “Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September & Kudeta Suharto” karya John Roosa; 2) “Kronik ’65: Catatan Hari per Hari Peristiwa G30S Sebelum Hingga Setelahnya (1963-1971)” karya Kuncoro Hadi, dkk.