Saya memantau lalu lintas pro kontra UU Cipta Kerja. Kesan penggiringan opini seolah UU ini hanya terkait dengan ketenagakerjaan tak bisa dielakkan. Padahal, ketenagakerjaan ini hanya satu dari sekian banyak klaster, 1 dari 79 UU yang diangkut dalam bus besar untuk memfasilitasi investasi. Tetapi, karena ini menyangkut buruh dan pekerja, sektor ini paling banyak menguras tenaga perlawanan.
Beberapa hari ini para pendukung UU Cipta Kerja memviralkan pernyataan guru besar hukum Universitas Padjajaran, Prof. Romli Atmasasmita. Intinya, menurut Prof. Romli, UU Cipta Kerja tidak melemahkan dan menyengsarakan rakyat, tetapi justru melemahkan dan menyengsarakan mafioso, maladministrasi, korupsi dan suap, serta perilaku rent-seeking.
Kita setuju, korupsi dan inefsiensi birokrasi adalah penyakit pembangunan. Investor memang enggan berurusan dengan birokrasi yang tambun. Tetapi, soal korupsi dan bentuk-bentuknya, asal itu memuluskan rencana bisnisnya, praktek itu sering ditoleransi para pebisnis, khususnya di sektor ekstraktif.
Pernyataan bahwa UU Cipta Kerja melemahkan para mafioso perlu dikejar lebih rinci: di bagian mana saja? UU ini tidak bisa dibaca ‘gelondongan’ sebagai upaya mulia Pemerintah untuk menyediakan lapangan kerja dengan cara mempermudah bisnis dan memotong rantai birokrasi. Betulkah UU ini jurus ampuh untuk menghabisi para mafia? Saya meragukan, dengan dua contoh.
Pertama, ini bunyi UU Pangan No. 18 Tahun 2012, pasal 14 (Gambar 1).
Pasal 14
(1) Sumber penyediaan Pangan berasal dari Produksi Pangan dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional.
(2) Dalam hal sumber penyediaan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum mencukupi, Pangan dapat dipenuhi dengan Impor Pangan sesuai dengan kebutuhan.
Bandingkan dengan UU Cipta Kerja (versi tanggal 9 Oktober 2020) Pasal 64, yang mengubah ketentuan UU Pangan berikut ini (Gambar 2):
Pasal 14
(1) Sumber penyediaan Pangan diprioritaskan berasal dari:
a. Produksi Pangan dalam negeri;
b. Cadangan Pangan Nasional; dan/atau
c. Impor Pangan.
Bagi para pemain bisnis pangan, implikasi dari perubahan ini besar sekali. Di UU 18/2012, impor disebut di ayat lain, sifatnya pengecualian: dalam hal produksi dalam negeri belum mencukupi. Di UU Cipta Kerja, impor disebut dalam satu ayat: sama-sama prioritas. Dengan rumusan begini (dan/atau), soko guru penyediaan pangan nasional bisa berasal dari impor. Impor pangan, seperti halnya impor energi, adalah ruang perburuan rente yang tidak pernah bisa diputus, dari dulu sampai sekarang. Artinya, UU Cipta Kerja klaster pangan tidak akan pernah menghabisi para mafioso, malah justru memperbanyak para pemburu rente bersama dengan terbukanya keran impor besar-besaran. Kalau pun dengan sistem tertentu para pemain impor pangan dibatasi, klaster ini akan mengokohkan dominasi oligarki importir pangan.
Kedua, UU Ciptaker tidak mengubah banyak isi UU No. 3/2020 tentang Pertambangan Minerba. Sebab, perubahan tata kelola minerba telah diborong oleh beleid pengganti UU No. 4/2009 tersebut, yang juga selesai dengan cara dikebut. Karena sudah sesuai aspirasi, Pasal 39 UU Cipta Kerja hanya menambah 1 pasal, yaitu Pasal 128A, dan mengubah 1 pasal, yaitu pasal 162, tentang sanksi pidana. Ini contoh Pasal 47 UU 3/2020 yang tidak diubah (Gambar 3):
Pasal 47
Jangka waktu kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b diberikan dengan ketentuan:
f. untuk Pertambangan Mineral logam yang terintegrasi dengan fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian selama 30 (tiga puluh) tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan selama 10 (sepuluh) tahun setiap kali perpanjangan setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
g. untuk Pertambangan Batubara yang terintegrasi dengan kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan selama 30 (tiga puluh) tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan selama 10 (sepuluh) tahun setiap kali perpanjangan setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan yang telah menyediakan karpet merah bagi pelaku usaha tambang ini masih ditambah dengan insentif royalti nol persen oleh UU Cipta Kerja (Gambar 4):
Pasal 128A
(1) Pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103, dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128.
(2) Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batubara dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen).
Apa yang kita lihat dari Pasal 47 UU No. 3/2020 dan Pasal 39 UU Cipta Kerja? Perluasan diskresi menteri tanpa limitasi. Pelaku usaha tambang, yang menjalankan bisnis hulu-hilir, berhak atas perpanjangan izin usaha tanpa batas waktu. Dengan kata lain: sampai cadangan minerbal habis. Setelah itu, negara memberikan insentif berupa royalti batubara 0%. Sekarang kita bisa ajukan pertanyaan, ketentuan diskresional semacam ini memberantasi korupsi atau melegalkan korupsi? Negara melegalkan sumber daya mineral dikeruk sampai habis, tanpa mempertimbangkan aspek konservasi sumber daya alam. Di titik inilah arena perburuan rente terjadi dengan proteksi dan jaminan negara.
Kembali ke soal pernyataan Prof. Romli, di bagian mana saja UU Cipta Kerja memberantas para mafioso? Jika ada teori semua angsa putih, ternyata ditemukan ada satu angsa hitam, gugurlah teori itu. Di lapangan yang saya datangi, saya menemukan dua angsa hitam. Silakan temukan angsa-angsa hitam yang lain.