Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam. Bagi kaum muslimin, al-Qur’an adalah petunjuk utama yang mengatur jalan hidup mereka dalam berbagai permasalahan. Umat Islam meyakini bahwa al-Qur’an adalah sumber kebenaran absolut yang disampaikan oleh Allah melalui RasulNya.
Al-Qur’an juga diyakini sebagai sesuatu yang langsung dari tuhan, bukan buatan manusia dan juga merupakan kitab terakhir yang diturunkan kepada umat manusia. Oleh karena itu, untuk membuktikan ke-absolutannya, Allah sendiri menjamin bahwa orisinalitas (keaslian) al-Qur’an akan selalu terjaga selamanya, tak seorangpun mampu untuk men-tahrif (mengubah) al-Qur’an. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat al-Hijr ayat 9:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ ﴿ ٩: ١٥﴾
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (al-Hijr: 9)
Al-Qurthubi menjelaskan bahwa maksud dari ayat di atas adalah Allah akan menjaga al-Qur’an dari segala macam bentuk perubahan (baik penambahan atau pengurangan) dan akan selalu terjaga orisinalitasnya. Perbedaan mendasar antara al-Qur’an dengan kitab samawi lainnya adalah Al-Qur’an mendapat jaminan bahwa Allah sendirilah yang akan menjaganya sedangkan kitab samawi lain tidak mendapatkan jaminan itu. Dengan artian, penjagaan kitab samawi lain diserahkan kepada umatnya masing-masing sehingga banyak terjadi perubahan dan perbedaan seperti yang kita temui sekarang.
Lho, kalau memang al-Qur’an sudah dijamin keasliannya oleh Allah, kenapa para sahabat harus repot-repot mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf?
Dalam Mafatih al-Ghoib, ar-Razi menjelaskan bahwa pengumpulan al-Qur’an pada masa sahabat termasuk bukti bahwa Allah menjaga al-Qur’an dengan cara memberi inisiatif di hati para Sahabat untuk melakukan pengumpulan tersebut.
Di sisi lain, para ulama memang berbeda pandangan mengenai bagaimana cara Allah menjaga orisinalitas Al-Qur’an. Sebagian ulama berpendapat bahwa Allah menjaga al-Qur’an dengan cara menjadikannya sebagai mukjizat yang tidak bisa ditiru manusia. Oleh sebab itu, ketika ada yang mencoba menambah atau mengurangi sesuatu dari al-Qur’an, perubahan tersebut akan mudah diketahui karena rusaknya rangkaian al-Qur’an yang bernilai mukjizat (perubahan tersebut akan dikenali secara mudah karena pasti ada perbedaan yang signifikan antara kalimat buatan manusia dan buatan tuhan).
Sebagian lain berpandangan bahwa Allah menjaga al-Qur’an dengan cara menjadikannya mudah dihafal oleh banyak orang (seperti yang kita tahu, penghafal al-Qur’an mencapai ratusan juta orang dari berbagai belahan dunia). Sehingga ketika ada yang mengubah al-Qur’an, pasti perubahan tersebut akan segera diketahui dari hafalan jutaan huffadz (penghafal al-Qur’an) tersebut. Banyaknya huffadz (penghafal al-Qur’an) juga menjadikan al-Qur’an mencapai derajat mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang sehingga mustahil bersepakat untuk berdusta dan memalsukan al-Qur’an).
Untuk menguatkan kebenaran ayat di atas, al-Qurthubi mengisahkan bahwa suatu hari al-Ma’mun (salah satu raja dinasti Abbasiyah) bertanya perihal sebab masuknya seorang yahudi ke dalam Islam. Akhirnya, sang yahudi bercerita: “Suatu hari, aku ingin menguji kebenaran agama-agama samawi. Karena tulisanku bagus, aku ingin menulis kitab-kitab agama samawi.
Pertama, aku menulis 3 kitab Injil dan mengubah beberapa kata di dalamnya. Kemudian aku datangi gereja dan menjual 3 kitab tersebut. Ternyata mereka membelinya dan tidak mengetahui perubahan yang aku lakukan. Kedua, aku lakukan hal yang sama pada kitab Taurat. Aku jual ke pihak sinagog. Sama dengan pihak gereja, mereka bersedia untuk membelinya dan tidak tahu perubahan yang kulakukan.
Terakhir, aku menulis 3 al-Qur’an dengan menyelipkan beberapa perubahan. Ketika aku jual ke orang Islam, mereka membacanya terlebih dulu dan betapa kegetnya aku, mereka tahu bahwa al-Qur’an yang aku tulis banyak perubahannya. Akhirnya, mereka menolak untuk membeli tulisan al-Qur’anku. Dari kejadian inilah aku sadar bahwa kitab yang masih terjaga keasliannya hanyalah al-Qur’an. Inilah penyebab mengapa aku masuk Islam.”
Selain kisah di atas, dalam kitab Tarikh Ushul al-Fiqh, Ali Jum’ah (mantan Mufti Mesir) juga menceritakan kejadian yang luar biasa mengenai bukti keaslian al-Qur’an. Begini kejadiannya.
Sebelum perang dunia ke-2, pemerintah Jerman mengumpulkan beberapa ilmuan dalam jumlah besar dan mendirikan sebuah Lembaga di Berlin yang bertugas untuk mencari kesalahan dan tahrif (perubahan) dalam al-Qur’an. Kemudian, mereka mengumpulkan 30 ribu naskah dan manuskrip mushaf al-Qur’an lintas zaman dari berbagai negara, termasuk Indonesia.
Setelah meneliti 75% dari keseluruhan naskah al-Qur’an selama bertahun-tahun, mereka sama sekali tidak menemukan kesalahan atau perbedaan di antara mushaf-mushaf tersebut. Akhirnya, pemerintah Jerman membuat pernyataan bahwa tidak ditemukan kesalahan atau perbedaan di antara mushaf-mushaf yang mereka kumpulkan walaupun mushaf-mushaf tersebut berasal dari tahun yang berbeda. Kisah ini juga diamini oleh Humadillah dalam tulisannya di majalah Ummat. Humaidillah mengatakan bahwa Lembaga ini, beserta isi dan ilmuannya, semua hancur ketika perang dunia ke-2 terjadi. Mungkin ini adalah balasan Allah bagi orang-orang yang menentangNya. Na’udzu billah min dzalik.
Akhir kata, penjelasan di atas kiranya cukup untuk menegaskan bahwa al-Qur’an benar-benar sumber kebenaran yang sejati. Al-Qur’an adalah wahyu yang murni berasal dari Allah, sama sekali tidak ada campur tangan manusia di dalamnya. karena kalau seandainya al-Qur’an adalah buatan manusia, niscaya akan terjadi banyak perubahan dan perbedaan di dalamnya (an-Nisa: 82). Al-Qur’an tidak akan lekang oleh zaman karena Allah sendirilah yang akan menjaganya. Wa Allahu a’lam.
Sumber bacaan:
- Jum’ah, Ali. 2015. Tarikh Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Muqottom.
- Al-Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad. Tt. Tafsir al-Qurthubi. Kairo: Dar ar-Rayyan.
- Ar-Razi, Fakhruddin. 1981. Mafatih al-Ghoib. Lebanon: Dar al-Fikr.
- Asyur, Muhammad Thahir Ibnu. 1984. Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir. Tunisia: ad-Dar at-Tunisiyyah.