Sedang Membaca
Ibn al-Jauzi: Cendekiawan Perempuan Juga Harus Banyak Ditulis dalam Sejarah!

Alumni Ponpes Lirboyo Kediri, Darul Huda Mayak, dan Minhajuth Thullab Lampung. Sedang mengenyam pendidikan S1 di Al-Azhar University jurusan Syari'ah Islamiyyah. Berdomisili di Kairo, Mesir.

Ibn al-Jauzi: Cendekiawan Perempuan Juga Harus Banyak Ditulis dalam Sejarah!

Perempuan

Selama ini, ada anggapan bahwa perhatian para sejarawan muslim di masa awal terhadap peran cendekiawan dan ilmuwan perempuan terbilang cukup sedikit. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan minimnya penyebutan tokoh-tokoh perempuan dalam kitab-kitab tarajim (kitab yang berisi biografi para cendekiawan muslim). Namun, anggapan tadi jelas-jelas akan berbeda apabila kita membicarakan pandangan ulama bernama Ibn al-Jauzi.

Adz-Dzahabi (w. 1348), dalam Siyar A’lam an-Nubala, menggambarkan sosok Ibn al-Jauzi sebagai ulama yang cukup menguasai banyak bidang keilmuan, mulai dari tafsir, hadis, hingga ilmu sirah wa tarajim (ilmu sejarah Islam). Selain itu, ia dikenal sebagai macan podium paling top pada masa itu. Konon, ceramahnya tak pernah sepi dan selalu dipenuhi oleh ribuan jemaah.

Sosok yang sering salah dianggap sebagai Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah ini (padahal beda orang) juga sangat produktif dalam menulis. Terhitung ia mempunyai sekitar 300 karya dalam berbagai bidang keilmuan. Salah satu karyanya yang cukup terkenal adalah kitab Sifat as-Shofwah, kitab yang berisi kurang lebih 1000 biografi cendekiawan muslim dari berbagai belahan dunia. Kitab inilah yang akan menjadi objek pembahasan kita dan alasan utama mengapa tulisan ini ada.

Kitab Sifat as-Shofwah ini dikarang oleh Ibn al-Jauzi bertujuan untuk meringkas dan melengkapi kitab Hilyat al-Auliya’, salah satu kitab tarajim paling banyak dibaca saat itu, karangan Abu Nu’aim al-Asfihani. Selain itu, kitab Sifat (kita sebut begitu seterusnya) ini dianggit karena Ibn al-Jauzi menganggap kitab Hilyat adalah karya yang banyak “cacatnya”. Baginya, kitab Hilyat, yang seharusnya menjadi obat bagi para pencari ilmu itu, justru malah bisa menjadi racun karena kecacatan-kecacatan yang ada.

Baca juga:  Para Perempuan Pemberi ASI Rasulullah SAW

Dalam mukadimah kitabnya, sang mubalig kondang ini setidaknya menyebutkan 13 poin kekurangan kitab Abu Nu’aim al-Asfihani tersebut. 10 poin ia anggap sebagai mukaddirat, hal-hal yang seharusnya bisa diperbaiki dan 3 poin lainnya merupakan faitat, hal-hal yang luput dibahas oleh pendahulunya itu.

Salah satu poin yang menurut Ibn al-Jauzi luput dan kurang diperhatikan oleh al-Asfihani adalah minimnya penyebutan tokoh-tokoh perempuan. Padahal, tak sedikit sosok cendekiawan perempuan muslim yang jalan hidupnya bisa dijadikan sebagai uswah, suri teladan untuk generasi selanjutnya.

Bagi Ibn al-Jauzi, menuliskan sejarah para cendekiawan perempuan amatlah penting. Tulisan tentang kisah hidup mereka mestinya akan memberi motivasi lebih kepada para pembaca. Sebab, dengan keterbatasan gerak-gerik dan perhatian pendidikan pada perempuan pada saat itu, ternyata para cendekiawan ini masih bisa survive dan mempunyai kontribusi serta peran yang cukup signifikan di tengah umat.

Ibn al-Jauzi membahasakan alasannya ini dengan li anna dzikra al-abidat ma’a qushuri al-unutsiyyah yutsibu al-muqassir min adz-dzukur, bahwa karena dengan menyebutkan keberhasilan para cendekiawan perempuan tadi (dalam bidangnya masing-masing), padahal mereka punya keterbatasan (dibandingkan laki-laki), maka pasti akan bisa menyadarkan para laki-laki yang pemalas. Intinya, Ibn al-Jauzi ingin menyampaikan bahwa peran para cendekiawan perempuan tersebut tak kalah pentingnya dengan peran para cendekiawan laki-laki. Apalagi melihat keterbatasan gerak-gerik perempuan pada saat itu.

Baca juga:  Kekerasan Seksual (2): Keadilan Belum Menyentuh Perempuan

Sedikit berkomentar: pandangan Ibn al-Jauzi di atas sebenarnya menunjukkan bahwa sebenarnya perempuan pada masa itu (sekitar abad ke-5 H) diberi ruang yang cukup terbuka untuk masuk dalam dunia ilmiah dan memberi kontribusi kepada umat, tidak “setertutup” yang kita bayangkan. Meskipun harus kita akui, ruang itu mungkin tidak seterbuka sekarang.

Apabila kita kembali ke masa awal Islam, sejatinya banyak perempuan yang punya kontribusi cukup besar. Pada masa sahabat misalnya, kita dapat menemui sosok Aisyah yang dianggap sebagai salah satu ulama dan menjadi rujukan banyak sahabat (baik laki-laki maupun perempuan) ketika ada permasalahan agama.

Satu sosok lagi yang saya kira perlu disebut, karena jarang sekali di-notice. Yaitu, sosok sahabat perempuan bernama Syifa Ummu Sulaiman. Pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab, Syifa ini diberi amanah untuk menjadi kepala pasar. Konon, Syifa ini bahkan juga sering dijadikan Umar bin Khattab sebagai tempat konsultasi ketika ada permasalahan pemerintahan.

Di kurun setelahnya, kita bisa menemukan sosok Nafisah, yang terkenal sebagai guru imam mazhab kita, Syafi’i. Saking alimnya, Nafisah ini mendapat julukan nafisah al-ilmi, keindahan ilmu. Dikisahkan bahwa Nafisah diberi tempat mengajar khusus oleh raja Mesir pada masa itu di Fustat, Kairo. Saya kira, adanya sosok-sosok di atas cukup untuk menunjukkan bahwa Islam sama sekali tidak “menomorduakan” perempuan. Perempuan punya hak yang sama dengan laki-laki dalam banyak hal.

Baca juga:  Siti Badilah Zubair, Feminis Awal di Muhammadiyah

Kembali ke Ibn al-Jauzi: setelah mengkritik keras kitab hilyat, Ibn al-Jauzi menyebutkan pada akhir mukadimahnya, bahwa di dalam kitab sifat, ia menyebutkan sekitar 200-an tokoh perempuan. Ini sangat jauh lebih banyak apabila dibandingkan dengan kitab Hilyat yang hanya menyebutkan sekitar 20 tokoh perempuan saja.

Harus diakui, bahwa perhatian sejarawan Islam terhadap peran para cendekiawan perempuan memang cukup minim (terbukti dari kitab Hilyat karangan al-Asfihani itu). Mungkin, Ibn al-Jauzi adalah salah satu dari sedikit sejarawan Islam yang punya consciousness (kesadaran) atas pentingnya peran para cendekiawan perempuan tersebut. Apa yang dilakukan Ibn al-Jauzi ini sebenarnya tidak mengherankan sama sekali. Sebab, sekali lagi, Islam memang tidak pernah menempatkan perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Keduanya setara.

Muhammad al-Ghazali, ulama al-Azhar era tahun 90-an, berpendapat bahwa Islam sendiri tidak pernah menganggap rendah derajat perempuan. Pola pikir bahwa perempuan adalah warga “kelas dua” bukanlah berasal dari Islam, melainkan budaya Arab jahiliah yang masih belum bisa hilang sepenuhnya di tengah umat. Baginya, Islam tidak mungkin punya ajaran yang “setidakmasuk akal” itu.

Akhir kata, dari Ibn al-Jauzi kita belajar bahwa kontribusi para perempuan juga harus diabadikan dan dituliskan. Mempunyai gender “perempuan” dengan segala keterbatasannya bukanlah penghalang untuk memberi manfaat sebanyak-banyaknya kepada orang lain.

Sekian. In uridu illa al-islah mastatha’thu.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top