Najran merupakan suatu daerah yang berada di perbatasan Saudi Arabia dan Yaman. Sejarawan Islam Ibn Ishaq menyebutkan bahwa Najran merupakan tempat pertama di daerah Arab Selatan yang menjadi basis pemeluk agama Nasrani di masa Pra Islam. Dulunya, mereka adalah para penganut ajaran politeis, dimana mereka menjadikan pohon kurma yang tinggi sebagai sesembahan mereka. Hingga akhirnya, kepala suku mereka yang bernama Abdullah ibn ath-Thamir masuk agama Nasrani diikuti oleh kaumnya. Sumber menyebutkan bahwa peristiwa ini terjadi antara abad keempat hingga kelima masehi.
Pada kuartal pertama abad keenam, seorang raja bernama Yusuf As’ar Dhu Nuwas yang telah memeluk agama Yahudi membantai pengikut Nasrani di Najran. Banyak gereja dibakar dan pemeluk nasrani dibunuh pada saat itu. Raja Byzantium, Justin I kemudian meminta sekutunya, Raja Abyssinian, Ella-Asbeha dari Aksum untuk membebaskan Najran dari kekuasaan Dhu Nuwas. Abraha al-Ashram, seorang raja muda pemeluk Nasrani dari Negus, Abyssinia mampu mengalahkan pasukan Dhu Nuwas dan berhasil memulihkan pemerintahan Nasrani di Najran.
Pada abad ketujuh, Islam mulai menyebar ke berbagai penjuru Arab. Selepas perjanjian Hudaibiyah yang terjadi pada tahun 6 H, Nabi Muhammad banyak sekali melakukan kampanye penyebaran agama Islam ke sekeliling Arab dengan mengirimkan utusan yang membawa surat dari beliau ke berbagai kerajaan yang ada di Arab. Salah satunya adalah ke Najran.
Sekitar tahun 9 H atau 631 M, nabi mengutus Khaled bin Walid dan Ali bin Abi Thalib menemui pimpinan di Najran agar mau masuk Islam. Mereka tidak bersedia. Kemudian, Nabi mengirim Al-Mughirah bin Syu’bah.
Craig Considine dalam Pluralism and the Najran Christian: How Prophet Muhammad Went Beyond Tolerance (Huffington Post, 2016), menyebutkan bahwa pengiriman utusan-utusan ke Najran yang dilakukan oleh Nabi kemudian dibalas dengan pengiriman 60 utusan dari Najran termasuk 45 diantaranya ialah para pendeta. Mereka diketuai oleh Abdul Masih bin Kinda dan Abdul Harith. Di Madinah, mereka dijamu oleh Nabi dan bahkan diizinkan oleh Nabi untuk beribadah di Masjid Nabawi meski mendapat penentangan dari beberapa Sahabat.
Sesudah itu, delegasi Najran kemudian melakukan perbincangan dengan Nabi. Saat itu, Nabi ditemani oleh keluarga beliau, yakni Ali, Fatimah, dan kedua putera mereka, Hasan-Husein. Lama kelamaan perbincangan tersebut berubah menjadi sebuah perdebatan. Akhirnya, terjadilah sebuah peristiwa yang kemudian dikenal dengan nama “Mubahalah”.
Mubahalah ialah salah satu bentuk penyelesaian ketika perdebatan antara kedua belah pihak tidak bisa lagi terelakkan. Perdebatan dimulai ketika utusan Najran mengaku bahwa mereka sudah menjadi muslim (orang yang berserah diri kepada Allah) sebelum Nabi Muhammad ada. Nabi menjawab bahwa ada tiga kesalahan yang mereka lakukan, yakni menyembah salib, memakan babi dan mengklaim bahwa Tuhan memiliki anak. Nabi menjelaskan bahwa Isa adalah hamba dan utusan Allah. Ia adalah kalimat-Nya yang ditiupkan pada Maryam yang perawan. Mereka yang emosi kemudian membantah dan mengatakan bahwa tidak mungkin seorang manusia lahir tanpa ayah.
Nabi kemudian membacakan QS. Ali Imran: 59-60:
إِنَّ مَثَلَ عِيسَىٰ عِندَ ٱللَّهِ كَمَثَلِ ءَادَمَ ۖ خَلَقَهُۥ مِن تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ. ٱلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلَا تَكُن مِّنَ ٱلْمُمْتَرِينَ
Inna maṡala ‘īsā ‘indallāhi kamaṡali ādam, khalaqahụ min turābin ṡumma qāla lahụ kun fa yakụn. Al-ḥaqqu mir rabbika fa lā takum minal-mumtarīn
Artinya: “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi AllAh, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia. (Apa yang telah Kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu”.
Nabi lantas mengajak mereka bermubahalah. Prosesi mubahalah itu sendiri tergambarkan dalam QS. Ali Imran: 61:
فَمَنْ حَآجَّكَ فِيهِ مِنۢ بَعْدِ مَا جَآءَكَ مِنَ ٱلْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا۟ نَدْعُ أَبْنَآءَنَا وَأَبْنَآءَكُمْ وَنِسَآءَنَا وَنِسَآءَكُمْ وَأَنفُسَنَا وَأَنفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَل لَّعْنَتَ ٱللَّهِ عَلَى ٱلْكَٰذِبِينَ
Fa man ḥājjaka fīhi mim ba’di mā jā`aka minal-‘ilmi fa qul ta’ālau nad’u abnā`anā wa abnā`akum wa nisā`anā wa nisā`akum wa anfusanā wa anfusakum, ṡumma nabtahil fa naj’al la’natallāhi ‘alal-kāżibīn
Artinya: “Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.
Saat menantang bermubahalah, Nabi memegang tangan Ali, menggendong Hasan-Husein dalam selimut, dan Fatimah berjalan di belakang. Kepada mereka Nabi meminta agar mengamini doa yang akan dibacakan Nabi.
Utusan Najran ciut dengan tantangan mubahalah Nabi. Mereka lantas meminta agar Nabi tetap mengizinkan mereka memeluk keyakinan mereka. Nabi memenuhi permintaan mereka dengan syarat mereka mau membayar jizyah, persyaratan yang langsung mereka sanggupi mengingat jizyah sama sekali tak memberatkan bagi mereka jika dibandingkan dengan penindasan yang sudah pernah dilakukan oleh Dzu Nuwas terhadap mereka.
Nabi lantas menuliskan perjanjian bersama mereka yang disebut dengan Perjanjian Najran. John L. Esposito dalam The Oxford History of Islam menyebutkan pokok perjanjian tersebut diantaranya ialah memberikan keamanan bagi umat Nasrani atas hidup, agama, dan harta benda mereka, tidak akan ada gangguan dalam praktik keagamaan mereka dan tidak akan ada salib apalagi gereja yang dihancurkan. Nabi Muhammad juga berjanji bahwa umat Islam tidak akan meninggalkan mereka karena kini mereka adalah saudara yang diikat dalam perjanjian selama mereka membayar jizyah.