Sedang Membaca
Karna (2): Mencari Jatidiri

Lahir di Subang, 22 Juli 1981. Lulusan pesantren Lirboyo dan ma'had aly Sukorejo, Situbondo. Ayah dua orang anak ini sekarang sedang menempuh pendidikan s3 di SPS UIN Jakarta.

Karna (2): Mencari Jatidiri

Whatsapp Image 2020 11 24 At 22.12.52 (1)

Ibu telah merenggut segala hak kelahiranku sebagai ksatria dengan melemparkan aku, bayi yang tidak berdaya, ke sungai. Mengapa sekarang engkau bicara tentang tugasku sebagai ksatria?”Ucapan Karna pada Kunthi di Tepi Sungai Gangga.

Jika ada tokoh yang memiliki cerita paling kompleks pada jagat pewayangan Mahabharata, maka tokoh tersebut ialah Karna. Ia yang kelahirannya tak diharapkan, dibuang oleh ibunya, Kunthi, ke sungai. Sesungguhnya ibunya adalah seorang putri kerajaan yang kelak akan menjadi Ratu. Di sebuah masyarakat yang terikat sistem kasta, hak lahirnya direnggut bahkan sebelum ia mengenal namanya sendiri. Ibu yang ia kenal nyatanya bukanlah ibunya. Orang yang ia anggap sebagai ayah ternyata bukanlah ayahnya. Sesungguhnya ia adalah anak Bhatara Surya yang memberinya baju zirah, anting, dan kalung yang selalu dipakainya hingga ia dikenal dengan nama Basusena.

Adirata dan Radha yang menemukannya di sungai kemudian merawat dan menganggapnya sebagai anak sendiri. Tumbuh sebagai anak kusir yang notabenenya berada pada kasta terendah membuat Karna bingung. Jika kusir kereta kuda adalah nasibnya, maka mengapa ada baju zirah sakti melekat di tubuhnya yang mengembang seiring perkembangan tubuhnya dari kecil hingga dewasa.

Sebagai anak kusir kereta kuda milik Bhisma, Karna menjadikan Sesepuh Hastina itu sebagai pujaan hatinya. Suatu hari ia tunjukkan bakatnya pada beliau. Berharap menemukan jalan, berharap diberi kesempatan. Bukannya mendapatkan pujian, Bhisma malah mengingatkan Anak kusir kereta hanya boleh belajar mengurus kereta, membawa panah untuk tuannya dan bukan memegang busur sebagai senjata. Meski tanpa emosi, namun Bhisma juga mengingatkan agar Karna tak boleh menunjukkan bakatnya pada seorangpun di negeri ini. Meski Bhisma bisa mengampuni, adat dan masyarakat tidak akan mengampuninya. Mempelajari ilmu yang bukan hak kastanya, dianggap sebagai sebuah pelanggaran adat dan diganjar hukuman mati. Dalam ragu Karna mempertanyakan nasibnya mengapa Dewata memberikannya bakat yang tak boleh ia salurkan. Bhisma pujaan hatinya membuatnya patah hati.

Ia juga mendambakan agar Drona menjadi gurunya. Dengan harapan agar kesaktiannya mendapatkan pengakuan. Namun Drona justru membuang ludah, mempertanyakan keturunan, kasta dan menghinakan niatnya. Drona mengingatkan Karna agar ia tahu dimana tempatnya berada. Drona bahkan menyatakan bahwa ia telah menemukan murid terbaiknya, yakni Arjuna yang selama ini ia puji-puji. Dambaannya berubah menjadi dendam. Ia dendam pada Drona sekaligus Arjuna. Ia berjanji kelak akan membalaskan dendamnya untuk membuktikan siapa pemanah terbaik di dunia.

Tak patah semangat, ia kemudian mencari Guru dari Guru Drona dan Bhisma, yaitu Parasurama, seorang Brahmana sakti. Ia tahu bahwa Parasurama telah kecewa dengan kasta Ksatria dan hanya mau mengajar Brahmana. Ia pun menyamar sebagai Brahmana muda agar bisa mendapatkan ilmu dari Parasurama.

Baca juga:  Mengapa Izrail yang Menjadi Malaikat Maut?

Suatu hari, Parasurama meminta bantal kepada Karna. Karna malah menawarkan agar Parasurama tidur di atas pangkuannya. Tiba-tiba seekor serangga beracun menggigit paha Karna. Agar Parasurama tidak terbangun, Karna membiarkan pahanya terluka sementara dirinya tidak bergerak sedikit pun. Ketika Parasurama bangun dari tidurnya, ia terkejut melihat Karna telah berlumuran darah. Kemampuan Karna menahan rasa sakit telah menyadarkan Parasurama bahwa muridnya itu bukan dari golongan brahmana, melainkan seorang kesatria asli.

Merasa telah ditipu, Parasurama pun mengutuk Karna. Kelak, pada saat pertarungan antara hidup dan mati melawan seorang musuh terhebat, Karna akan lupa terhadap semua ilmu yang telah ia ajarkan. Karna hanya menjawab bahwa ia tak tahu lagi apa yang harus ia perbuat. Ia merasa semua masyarakat menolaknya. Itulah mengapa ia datang pada Parasurama dengan menyamar.

Belum cukup nasib buruk yang diberikan oleh penulis Mahabharata pada Karna, ia pun mendapatkan kutukan berikutnya. Kutukan kedua diperoleh Karna ketika ia mengendarai keretanya dan menabrak mati seekor sapi milik brahmana yang sedang menyeberang jalan. Sang brahmana pun muncul dan mengutuk Karna, kelak roda keretanya akan terbenam ke dalam lumpur ketika ia berperang melawan musuhnya yang paling hebat.

Mengapa Karna harus hidup dalam penolakan dan kutukan? Bagi saya itu misteri besar. Apalagi jika mengingat bahwa Karna dihadirkan sebagai tokoh dalam Mahabharata adalah sebagai penanding Arjuna. Arjuna begitu disayangi oleh para Dewa. Semua wanita memujanya dan bahkan rela antri demi mendapatkan perhatian dan cinta darinya. Karna hanya beristri seorang saja, Surtikanti, sementara Arjuna tak usah ditanya berapa perempuan yang pernah bersamanya. Karna mengasihi anaknya dengan sungguh. Arjuna bahkan lupa bahwa ia punya anak. Pertemuannya dengan Abimanyu anak Subadra diawali dengan pertempuran antar keduanya yang tak saling mengenal.

Demikian pula pertemuannya dengan Wisanggeni anak Bidadari Dresanala. Sebelum menikah dengan Duryudhana, Banowati menjalani masa pingit bersama dengan Arjuna, dan semesta tak boleh marah atas apa yang Arjuna lakukan. Bahkan pernikahannya dengan Dresanala menyalahi aturan semesta, namun bukan dia yang menerima akibatnya, melainkan anaknya Wisanggeni yang harus rela moksa sebelum Bharatayudha digelar. Jagat yang aneh.

Apa sesungguhnya dosa Karna? Mengapa ia harus dihukum dengan nasib buruk sedemikian rupa? Ia tak seperti Puntadewa yang mengorbankan anak, saudara, dan bahkan istrinya di meja judi. Ia hanya pernah bersama kurawa yang lain mengeroyok Abimanyu hingga tewas secara mengenaskan. Namun apakah itu setimpal dengan kelakuan Bima yang mencabik-cabik tubuh Dursasana hingga meminum darahnya? Puntadewa dan Bima tidak pernah dikutuk dewa atau Resi manapun? Mengapa Karna yang selalu dikutuk?

Baca juga:  Sawala Kehadiran Cadar di Masyarakat: Polemik di UIN Antasari

Karna bahkan tak pernah diberikan kesempatan serta harapan. Saat Pandawa dan Kurawa selesai berguru kepada Drona, Drona mewisuda mereka dengan syarat agar mereka menyerang kerajaan milik Raja Draupada, mantan kawan yang kini menjadi musuh Drona. Siapa yang bisa menawan Raja Draupada, dialah ksatria murid terbaik Drona.

Adalah Arjuna yang mampu melakukan hal itu. Dihadapan para bangsawan dan rakyat Hastinapura, Drona sesumbar bahwa Arjuna adalah ksatria terbaik di dunia. Hal yang membuat Drestarasta dan Putranya, yakni Duryudhana menjadi gusar. Mendengar ucapan Drona, Karna maju dan menantang Arjuna. Ia dihalangi oleh aturan perang bahwa ksatria hanya boleh melawan ksatria. Sadar bahwa ia hanya anak kusir kereta, ia pun tertunduk malu. Duryudhana yang melihat kesempatan mengalahkan Arjuna kemudian mengangkat Karna sebagai Saudara dan meminta pada ayahnya agar memberikan kerajaan Angga kepada Karna. Saat penobatan sebagai Raja, datanglah ayah Karna, Adirata. Bima mengejek Karna sebagai anak kusir yang tak sebanding dengan Arjuna yang anak Raja Pandu.

Kemana Kunthi saat semua itu terjadi? Ia hanya terdiam dan pingsan. Ia sesungguhnya tahu bahwa itulah Karna, anaknya. Baju zirah, anting dan kalung cukuplah menjadi penanda. Saat Karna ditanya statusnya, bukan dia yang berdiri dan memberikan anugerah kepada Karna, melainkan Duryudhana. Padahal sebagai seorang Ratu, janda dari mendiang Raja Pandu, Kunthi sesungguhnya bisa memberikan apa yang Karna butuhkan. Kunthi pun hanya terdiam ketika Bima mengejek Karna, dia hanya pingsan menyadari betapa sekarang ini anak-anaknya saling bermusuhan.

Karna pun dihinakan saat mengikuti sayembara memperebutkan Draupadi putri Draupada. Sayembaranya ialah memanah mata ikan yang sedang berputar-putar di cakrawala dengan melihat bayangannya di atas permukaan air. Semua yang hadir bukan hanya tak bisa memanah. Bahkan mengangkat gandewanya pun mereka tak mampu. Sejatinya, Karna tak hendak mengikuti sayembara tersebut, karena ia telah memiliki seorang istri yang sangat ia cintai, yakni Surtikanti. Namun Duryudana memaksanya ikut. Sejak diberi anugerah, Karna memang susah menolak Duryudhana, maka ia pun maju ke gelanggang. Gendewa berhasil ia angkat. Namun tepat pada saat ia akan membidikkan anak panah, Draupadi berkata bahwa ia tak sudi diperistri anak seorang kusir kereta. Karna merasa sangat terhina sekali.

Baca juga:  Sekolah, Kenakalan dan Memanusiakan Manusia

Selanjutnya kita tahu bahwa Arjuna lah yang memenangkan sayembara. Namun Draupadi bukan hanya untuk Arjuna seorang, tetapi menjadi milik kelima Pandawa. Sebagaimana janji Kunthi bahwa semua harus membagi apa yang ia dapatkan saat berada dalam pengasingan. Pada peristiwa judi dadu, Karna membalas penghinaan Draupadi dengan mengatakan Draupadi sebagai pelacur karena harus melayani lima orang suami. Sebuah hinaan yang membuat Arjuna bersumpah akan membunuh Karna di perang Bharatayudha.

Kunthi baru muncul saat perang Bharatayudha akan dimulai. Ia yang mengkhawatirkan keselamatan anak-anaknya mendatangi Karna yang sedang bersemedi di tepi sungai Gangga di pagi hari. Kunthi ceritakan semua rahasia yang selama ini ia pendam. Tak lupa Kunthi meminta agar Karna mau berpihak kepada Pandawa. Karna menjawab mengapa baru sekarang? Mengapa Kunthi memintanya untuk mengkhianati orang-orang yang selama ini menghidupinya?

Salah satu sifat yang sesungguhnya baik pada diri Karna namun seringkali merugikan dirinya ialah kejujurannya. Ia pernah bersumpah akan memberikan derma pada siapapun yang meminta padanya. Bhatara Indra, ayah Arjuna yang mengkhawatirkan nasib anaknya memanfaatkan kejujuran itu. Ia menyamar menjadi seorang Resi, meminta baju zirah serta anting-anting dan kalung yang selama ini Karna pakai. Bhatara Surya sebenarnya sudah memperingatkan Karna, namun Karna tak bergeming, mengambil pisau untuk mengiris semua pusaka yang melekat di tubuhnya. Indra yang terharu lantas memberikan padanya pusaka Konta yang hanya bisa dipakai sekali.

Atas nama kejujuran, Karna pun pernah menolak pengangkatan Bhisma sebagai Senopati perang. Selain karena patah hati yang ia derita di masa muda. Penolakan tersebut juga beralasan karena Bhisma terlalu mencintai Pandawa. Maka ia ragu Bhisma akan bertempur sekuat hati melawan mereka. Karna juga tahu bahwa di pihak Pandawa terdapat Srikandi, titisan Amba yang menuntut balas pada Bhisma. Ia juga dengan jujur mengungkapkan sisi lemah Drona yang terlalu mencintai Arjuna. Celaka, kejujuran itu dianggap sebagai kekurangajaran.

Hal yang sama terjadi saat ia meminta Salya sebagai kusir keretanya. Karna menganggap bahwa karena di sisi lain Arjuna dikusiri oleh Krishna titisan Dewa Wisnu, maka yang bisa menandingi Krishna hanyalah Prabu Salya. Permintaan ini dianggap sebagai penghinaan oleh Salya yang notabenenya adalah mertua Karna, ayah dari Surtikanti. Satu-satunya wanita yang Karna cintai di dunia ini.

Maka, apakah salah Karna hingga kesialan selalu menghantuinya? Mengapa semesta begitu mencintai Arjuna dan tak pernah bersikap adil kepada Karna?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top