Sedang Membaca
Tradisi Natal dan Catatan Toleransi Umat Beragama (1): Mengucapkan Selamat Natal
Mifta Kharisma
Penulis Kolom

Peneliti ISAIs (Institute of Southeast Asian Islam), aktif dalam forum lintas iman, isu kemanusiaan dan minoritas.

Tradisi Natal dan Catatan Toleransi Umat Beragama (1): Mengucapkan Selamat Natal

Whatsapp Image 2021 12 22 At 04.01.20

Menjadi kemerdekaan bagi kaum Muslimin untuk turut menghormati hari kelahiran Nabi Isa, yang sekarang disebut hari Natal. Mereka bebas merayakannya atau tidak, karena itu sesuatu yang dibolehkan oleh agama.” Gus Dur

Banyak orang Islam Indonesia belakangan ini (terutama ketika ada medsos) meributkan hari raya umat agama lain. Setiap sekitar mendekati Natal terutama. Bukan karena perbedaan tanggal kapan perayaan itu dimulai, namun lebih ke perdebatan halal-haram, boleh dan tidak boleh mengucapkan “Selamat Natal” kepada umat Nasrani. Muslim yang mengucapkan dan merayakan Natal dituduh kafir dan membahayakan aqidah Islam. Jadi, ini bukanlah perkara yang sepele.

Catatan yang menarik, banyak pendukung dalam pengharaman mengucapkan natal ini mengacu pada fatwa Buya Hamka yang secara eksplisit menyatakan bahwa mengucapkan “Selamat Natal” sebagai ungkapan menghargai dan toleransi beragama boleh-boleh saja. Sebaliknya orang Kristen juga sudah biasa mengucapkan “Selamat Idul Fitri” kepada umat Islam.

Natal dalam kitab suci Al-quran disebut Yauma Wulida (hari kelahiran, yang secara historis oleh para ahli tafsir dijelaskan sebagai kelahiran Nabi Isa seperti yang dikutip “kedamaian atas orang yang dilahirkan hari ini” (salamun yauma wulid) yang dapat dipakaikan pada beliau atau kepada Nabi Daud”. Hal tersebut dijelaskan dalam tulisan Gusdur yang berjudul “Harlah, Natal, dan Maulid” yang ia tuliskan di Yerussalem.

Baca juga:  Intoleransi: Hak atau Identitas?

Bahwa, hari kelahiran memang harus dirayakan dengan peringatan yang berbeda-beda, atau dalam bentuk yang sama dengan tujuan yang berbeda, adalah hal yang tak perlu dipersoalkan. Dan jika penulis merayakan natal adalah sebagai bentuk penghormatan untuk beliau dalam pengertian yang penulis yakini, sebagai utusan Allah SWT, sah-sah saja bukan?

Sebagai bentuk penghormatan, penulis pernah turut duduk bersama ketika kaum Kristiani sedang merayakannya bersama-sama. Dalam literatur fikih, jika kita duduk bersama-sama dengan orang lian yang sedang melaksanakan peribadatan mereka, seorang Muslim diperkenankan turut serta duduk dengan mereka asalkan ia tidak turut melakukan ritual kebaktian. Namun ganjalan bagi mayoritas muslim diperkenankan turut serta duduk dalam peribadatan mereka, karena kekhawatiran mereka akan dianggap mengikuti kegiatan ritual mereka.

Masih mengenai Gus Dur, ia dikenal sebagai tokoh yang moderat. Pasalnya, beliau mengeluarkan pernyataan bahwa kemeredekaan bagi kaum Muslimin untuk turut menghormati hari kelahiran Nabi Isa, yang sekarang disebut dengan istilah Natal. Hal ini menunjukkan di dalam Al-qur’an juga terdapat penjelasan mengenai Natal sebagai kata petunjuk atas hari kelahiran Nabi Isa, yang harus dihormati oleh kaum Muslim.

Kata Natal yang menurut arti bahasanya adalah sama dengan kata harlah, yang hanya dipakai untuk Nabi Isa saja, yaitu ketika Isa dilahirkan kedua oleh Virgin Birth. Karena itulah mereka memiliki arti sendiri, yaitu saat anak manusia bernama Yesus Kristus untuk menebus dosa manusia. Karena kaum Kristiani mempercayai adanya dosa asal muasal.

Baca juga:  Mengurai Kata 'Al-Muhaimin' dalam Alquran

Tentu perayaan natal adalah penghormatan atas kelahiran Nabi Isa dalam pengertian sebagai nabi Allah Swt semata, bukan sebagai anak Tuhan, yang semua itu jelas tersurat di dalam Al-qur’an itu sendiri.

Yang menjadi perhatian bersama adalah, pengakuan dan penghormatan terhadap eksistensi agama, bukan berarti mengakui kebenaran agama tersebut. Kita dapat meyakini kebenaran masing-masing, seraya menghormati orang lain. Tanpa harus mencampuradukkannya, seperti halnya Umar bin Khattab ketika membebaskan Yerussalem, Palestina, beliau menjamin kebebasan umat beragama sesuai dengan agamanya masing-masing, dan tidak pula menghalangi ibadahnya, dan jaminan keamanan diberikan dengan syarat mereka membayar pajak kepada umat muslim.

Tentu, kisah itu memberikan pembelajaran bagi bangsa Indonesia yang multikulturalisme, dengan menjalin keharmonisan sesama manusia, hubungan baik tentu dalam batas muamalah, bukan dalam akidah. Karena masing-masing agama pasti memiliki ajaran akidahnya masing-masing, maka tidak perlu dikaburkan dalam amsalah akidah, dan tentu menjalankan akidahnya masing-masing dengan hidup berdampingam dengan damai antar agama.

Dengan demikian, perbedaan pendapat natal mesti dibingkai dalam persatuan dan toleransi, yang dapat mewujudkan harmoni dan saling menghormati. Dengan memperkuat keimanan masing-masing, namun tetap bertegur sapa dan berinteraksi secara toleran, bekerjasama dalam ranah sosial dan menjaga keberagaman bersamam, karena Indonesia rumah bersama.

Baca juga:  Kaum Santri dan Kesadaran Ekonomi

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top