Sedang Membaca
Gus Irwan: Pejuang Inklusivitas dan Toleransi dari Mlangi
Mifta Kharisma
Penulis Kolom

Peneliti ISAIs (Institute of Southeast Asian Islam), aktif dalam forum lintas iman, isu kemanusiaan dan minoritas.

Gus Irwan: Pejuang Inklusivitas dan Toleransi dari Mlangi

Img 20210122 Wa0001

Bukankah dengan saling pengertian mendasar antaragama, masing-masing agama akan memperkaya diri dalam mencari bekal perjuangan menegakkan moralitas, keadilan dan kasih sayang?”

–KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Kiai-kiai muda mumpuni yang muncul dari didikan pesantren menjadi “aset” penting, tidak hanya bagi pesantren itu sendiri, namun juga bagi bangsa. Satu di antaranya adalah kiai asal Bumi Mataram, tepatnya daerah Mlangi, Sleman, Yogyakarta. Ia Irwan Masduqi atau disapa Gus Irwan.

Gus Irwan lahir pada 18 Maret 1983 di Mlangi, Yogyakarta.  Ayahnya, KH. Suja’i Masduki, dan ibunya, Hj Nasyiah, mendidik putranya dengan cukup keras. Mereka menerapkan pola kedisiplinan dalam pembelajaran, khususnya untuk tujuan pembacaan serta pemahaman kitab kuning.

Gus Irwan pun memiliki semangat belajar yang tinggi. Ia nyantri di Pesantren Tegalrejo, Magelang (1994-1997). Di sana, banyak rutinitas serta takziran yang berkesan serta memperkuat mental, misalnya takziran karena disiram air comberan.

Selepas dari Tegalrejo, Gus Irwan melanjutkan ke Pesantren Liboyo, Kediri (1998-2004). Rasa haus belajar membawanya terbang ke Mesir untuk mendapatkan gelar sarjana. Ia memilih Fakultas Ushuluddin di Universitas Al-Azhar, Kairo,  pada tahun 2005 hingga 2009.

Menjadi sarjana agama lulusan Mesir belum memuaskan keinginannya untuk terus menggali ilmu. Magisternya di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta ia tamatkan tepat waktu, dalam dua tahun (2010-2012). Kini ia tengah berkutat dengan disertasinya untuk meraih gelar doktor di Universitas Islam Indonesia.

Aktif dalam organisasi menjadi penyeimbang aktivitas akademik Gus Irwan. Ia pernah menjadi Ketua Bahtsul Masail Aliyah Lirboyo (2003) dan Koordinator Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PCINU Mesir ( 2005-2009).

Ia juga menjadi Pemimpin Umum Jurnal Quranic Studies PCINU Mesir (2008) dan anggota Center for Moderate Moslem (CMM) Kairo (2007-2008). Saat ini ia aktif di Badan Pembina Pesantren Assalafiyah Mlangi Yogyakarta.

Tentang Mlangi

Secara nasab, Gus Irwan adalah keturunan Sri Sultan I dari Kyai Nur Iman. Saat ditemui di rumahnya, Gus Irwan menjelaskan sejarah Desa Mlangi, juga tentang banyaknya pesantren yang di Mlangi.

Mlangi berasal dari kata “Mulangi” yang berarti mengajar. Dipilihnya kata Mlangi karena para pendahulu dari keturunan kesultanan Yogyakarta sangat suka belajar agama, mengajar, serta mendirikan majelis-majelis ilmu.

Keberadaan Pondok Pesantren Salafiyyah II tak pernah lepas dari sejarah berharga tersebut. Pesantren tempat Gus Irwan mengajar itu pun turut ikut serta membangun Desa Mlangi menjadi desa yang islami penuh toleransi.

Ketawaduan Gus Irwan dan para kiai lain di Mlangi menginspirasi warga di sana. Meski sejarah keluarga Gus Irwan terhubung dengan Kesultanan Yogyakarta, mereka enggan disapa raden. Gelar kebangsawanan itu tidak lebih berarti ketimbang menjadi menusia bermanfaat melalui pengajaran.

“Pendamlah bumi dari keterasingannya,” ucap Gus Irwan dengan senyum tipis, mengutip kitab Al-Hikam-nya Ibnu Athoillah.

Gelar kebangsawanan itu bagai tanaman yang subur yang mengubur dirinya. Kebangsawanan raden-raden di Mlangi, darah biru itu, sebaiknya “dikubur”.

Keturunan dari Kiai Nur Iman merupakan kakak dari Sri Sultan Hamengkubuwono I. Kiai Nur Iman memilih mengajar dan dakwah mengajar agama di wilayah Mlangi. Gus Irwan menuturkan, semua wilayah Mlangi memang banyak ditempati keturunan Kraton Yogyakarta.

Mereka lebih sibuk belajar agama dan berdakwah. Tak heran jika sebutan Mlangi sebagai desa islami, desa religi, dan desa yang banyak melahirkan ahli agama, itu melekat kuat.

Baca juga:  Kiai Masjkur, Sebelum Berjuang di Medan Perang, Menampa Dirinya dengan Ilmu

Saya sekilas mengamati tingkat religiusitas masyarakat Mlangi, terutama saat datangnya jam-jam salat. Mereka berduyun-suyun mendatangi masjid dan meninggalkan aktivitas mereka.

Kaum perempuan di Mlangi (saya kira juga di banyak daerah) tidak lazim salat di masjid, dan memilih salat di rumah atau langgar yang di dekat rumah-rumah. Langgar terasa lebih intim dengan jamaah terbatas.

Suasana religius itu berbanding terbalik dengan tingkat toleransi masyarakat Mlangi yang dulu sangat kurang, atau tidak semasif ibadahnya. Padahal, toleransi adalah nilai fundamental dalam beragama.

Kondisi seperti itu membuat Gus Irwan mempelopori pondok pesantren yang inklusif serta toleran, meski masih penuh pro dan kontra di masyarakat.

Problem Intoleransi

Berbagai problematika intoleransi itu, menurut Gus Irwan, karena masyarakat Mlangi mengkonstruksi serta melanggengkan sikap intoleran itu sendiri. Maka itu, Gus Irwan tampil menjadi tokoh muda NU yang terus memperkenalkan toleransi dan sikap terbuka dalam menerima perbedaan.

Gus Irwan menggambarkan masa kecilnya yang sarat kasus intoleransi di tanah perdikan (tanah tanpa pajak) Mlangi. Masa kecilnya diwarnai pertikaian antarpartai Golongan Karya dan PPP. Selain itu, banyak alim ulama di Mlangi justru terlibat konflik horisontal dengan sesama pemuka agama.

Konflik “politis”  otoritas masjid pun lazim, dan para ahli agama terlibat. Ketidakharmonisan dalam masyarakat yang seharusnya adem ayem itu jelas mempengaruhi Gus Irwan, yang selama ini mengusung pemikiran mengenai toleransi dan inklusivitas.

“Saya memandang masalah tasamuh baina al-adyan atau toleransi antaragama itu, mengacu pada kitab-kitab kuning yang dipelajari di pesantren. Nah, kalau kita mempelajari tafsir, itu kita bisa melihat banyak sekali ayat Al-Qur’an maupun Hadis yang spiritnya adalah menghargai perbedaan. Rasulullah dalam tugasnya juga memberikan kabar baik dan peringatan dari Allah SWT. Tidak pernah beliau memaksa orang-orang untuk beragama Islam. Jadi dalam konsep Islam, saya kita itu sudah jelas,” papar Gus Irwan.

Rujukan Hadis, misalnya dalam kitab Shahih Bukhari, diterangkan bahwa suatu hari Rasulullah Saw. berdiri menghormati jenazah seorang Yahudi yang lewat di hadapannya. Para sahabat  lantas bertanya kepada Rasulullah. Nabi kemudian menjawab, “Bukankah ia juga manusia?”

Tegasnya, sesama manusia harus saling menghormati, apalagi orang itu telah meninggal dunia. Yang ditonjolkan oleh Nabi Saw. adalah aspek kemanusiaan, bukan aspek keyakinannya.

Narasi Hadis tersebut jelas sekali. Islam itu sangat humanis, menghargai kemanusiaan. Namun, yang menjadi persoalan, kitab-kitab fikih juga memuat pendapat ulama yang intoleran.

Intinya, Gus Irwan menambahkan, prinsip Islam itu rahmatan lil ‘alamin, menghormati perbedaan dan keyakinan orang lain. Nah ini prinsip dasar yang diyakini para kiai dan ulama di pesantren. Oleh karenanya, kalangan pesantren sejauh ini cukup terbuka dengan keragaman pendapat dan kebinekaan. Itu yang harus dijunjung tinggi dan dilanggengkan.

Peritiwa intoleransi yang terjadi di Mlangi, misalnya pada Idul Adha, akhir Oktober 2012. Para santri Gus Irwan mengikuti lomba teater dengan menampilkan berbagai peristiwa pengorbanan  dari berbagai agama. Ada santri yang berperan sebagai ulama, pendeta, dan rabi. Ada pula yang menjadi Presiden Abdurrahman Wahid serta partisipan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Pementasan tersebut ingin memperlihatkan dan menyampaikan pesan bahwa sejarah kurban juga ada pada agama-agama selain Islam. Namun, konflik pun terjadi ketika foto seorang santri membawa salib tersebar di media sosial.

Baca juga:  Humor Pesantren: Ajengan Ilyas Cipasung dan Tiga Istri

Akibat peristiwa tersebut, Pesantren Assalafiyah Mlangi didatangi sekelompok orang. Papan nama pondok dilempari dengan batu hingga rusak. Masyarakat desa Mlangi yang tidak terima pun memelesetkan nama Assalafiyah menjadi “Asalibiyah”. Warga Mlangi ikut tersulut kemarahan dan penolakan secara frontal.

Kejadian tersebut juga membawa Gus Irwan berhadapan dengan sidang yang dilakukan oleh para ulama tua maupun muda di satu pesantren di Sleman. Ia menjelaskan bahwa pementasan tersebut sebagai bentuk sikap toleransi antarumat beragama serta membawa pesan sebagai kerukunan antar umat beragama.

Peristiwa-peristiwa itu tak membuat gus Irwan gentar untuk menyebarkan nilai-nilai toleransi, tak hanya di pesantren. Pengurus Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu juga rajin keluar-masuk kampung untuk mengajarkan sikap toleransi.

Dalam beberapa ceramahnya Gus Irwan beberapa kali menyelipkan surat Al-Kafirun yang membicarakan toleransi. Ia membacanya di lapangan, bahwa surat tersebut sering dijadikan pembenaran untuk mendiskriminasi orang lain. Padahal, surat tersebut justru menerangkan mengenai keberagaman.

“Toleransi bukan berarti mencampuradukkan keyakinan agama, tapi mengakui kebinekaan,” ujar Gus Irwan.

Kasus yang sama juga terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Menurut Gus Irwan, persoalan itu terjadi karena terdapat perbedaan antara konsep Islam dengan realitas yang ada. Persoalan lain, sebagian umat Islam masih mewarisi penafsiran dan pendapat ulama klasik yang intoleran.

Hingga hari ini, sebagian ulama masih meyakini bahwa orang munafik itu harus dibunuh, sebab –menurut mereka– dalam hadis ada keterangannya.

Kelompok-kelompok toleran jelas mengambil rujukan dari ulama-ulama yang memang toleran. Misalnya dalam ayat-ayat jihad. Dalam satu ayat dijelaskan, ketika umat Islam dianiaya, maka harus mereka harus memaafkan, lalu menyingkir dan berhijrah. Namun, jika setelah berhijrah tetap diperangi terus, barulah berjihad untuk membebaskan keyakinan kita.

Jadi jihad itu sebenarnya adalah dalam rangka mempertahankan keyakinan dan kebebasan kita. Ketika umat Islam disuruh untuk keluar dari Islam, barulah kita berjihad. Jadi, bukan untuk memaksakan orang agar masuk Islam secara paksaan.

Narasi yang melekat pada Gus Irwan mengenai toleransi agar kerukunan dapat terjaga.  Beberapa konsep yang ia tawarkan, misalnya, ulama-ulama yang memiliki pandangan terbuka atau pemikiran luas harus lebih terbuka dan bersuara lagi. Utamanya dalam memberikan pencerahan di masyarakat. Sebab selama ini ulama yang moderat  dan toleran itu banyak yang diam.

Paradoks terjadi. Kelompok yang intoleran justru lebih bersuara lantang. Bahkan yang terlihat menonjol di media sosial adalah suara-suara yang dikuasai kelompok intoleran.

“Kita bersyukur, sekarang sudah banyak kiai yang menggelar pengajian online. Kalangan ustaz kelompok moderat juga banyak yang melakukan live streaming YouTube. Ini nanti akan terus berdinamika, sehingga suara lantang toleransi mudah didengar masyarakat,” ujarnya.

Gus Irwan juga aktif menulis mengenai isu-isu toleransi. Satu di antaranya adalah Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama, Ketika Non Muslim Membaca Al-Quran. Kegiatan lain adalah menggandeng pemuda dan tokoh lintas agama untuk menyuarakan toleransi, dengan menggagas The City of Tolerance atau Kota Toleransi, pada 2012.

Gerakan-gerakan ini mengedepankan keanekaragaman budaya yang memiliki tujuan di kampung-kampung Yogyakarta yang dianggap rawan terhadap kasus intoleransi dan gesekan antaragama. Beberapa rekan Gus Irwan yang terlibat adalah Pedro Indharto, aktivis keberagaman di Yogyakarta. Bagi Pedro, Gus Irwan adalah pemuda yang memiliki literasi kuat dan membawa spirit perdamaian.

Baca juga:  Rami Malek, Mesir, dan Umm Kultsum

Pada tahun 2014, Gus Irwan kerap diundang oleh pemuda Desa Banguntapan, Kabupaten Bantul, untuk mengisi acara Ramadan dengan melibatkan tokoh lintas agama. Acara tersebut menampilkan hadrah dan barongsai. Gus Irwan dalam bingkai ini benar-benar membawa semangat keterbukaan dan menghormati keberagaman.

Pesantren yang Terbuka

Gus Irwan bercerita bahwa ia juga membuka pintunya untuk siapa saja yang berkunjung dari berbagai kalangan. Termasuk tokoh-tokoh lintas agama. Pondok pesantren yang ia bina berkembang secara pesat dengan jumlah santri yang bertambah tiap tahun serta pembangunan-pembangunan fasilitas pesantren yang menunjang.

Pada tahun 2012, jumlah santri putri dan santri putra hanya 50 orang, tetapi kini sudah mencapai ribuan.

“Pondok Pesantren Irwan sangat berkembang terbukti masyarakat yang menerima dan mendukung secara kultural pondok pesantren tersebut,” ujar Idris Masudi, teman Gus Irwan sewaktu mondok di Lirboyo, via Whattsapp.

Dalam pandangan santrinya, Maratus Sholihah, Gus Irwan adalah sosok yang paling menghargai santri-santrinya. Ia menanamkan tanggung jawab serta akhlakul karimah. Tak dipungkirinya bahwa kiainya adalah tokoh yang sangat inspiratif. Pesantrennya getol mempromosikan nilai-nilai toleransi antar sesama manusia.

Dalam beberapa forum, saya kerap berdialog dengan Romo Paulus, rekan Gus Irwan.  Ia anggota komunitas persaudaraan lintas iman dan Forum Dialog Masyarakat Lintas Iman. Dalam acara ngorkes: ngobrol keseharian lintas iman masyarakat di Yogyakarta, Romo Paulus bercerita mengenai pertemannya dengan Gus Irwan.

“Gus Irwan bertemu dengan saya ketika kami mengikuti kegiatan forum lintas iman di Yogyakarta, dan di acara ngobrol keseharian lintas iman masyarakat di Yogyakarta. Pandangan saya terhadap Gus Irwan, ia merupakan “santri NU” muda, yang progresif, modern, toleran, dan menerima perbedaan agama atau keyakinan yang berbeda,” katanya.

Romo Paulus menceritakan, beberapa kali acaranya dengan Gus Irwan, seperti Forum Dialog Masyarakat Lintas Iman, dilakukan di lokasi yang berpindah-pindah.  Terkadang dilakukan di Gereja Kristen Indonesia Gejayan, Pondok Pesantren Assalafiyyah II terpadu, vihara, dan juga di kantor pemerintah DIY.

Romo Paulus menilai kiprah Gus Irwan  sangat progresif. Selain menjadi penceramah seminar dan dialog lintas iman, Gus Irwan juga menerbitkan beberapa buku dengan substansi mengenai toleransi dan keberagamaan.

Artikel Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama  mengupas mengenai toleransi antar sesama umat beragama. Gus Irwan menceritakan mengenai beberapa tokoh yang mempengaruhinya, seperti Mohammed Arkoun, Hassan Hanafi, dan pemikir seperti Sayid Qutb.

Buku yang ditulis Gus Irwan, di antaranya Suluk Sufi Ulama Keraton Yogyakarta; Ajaran Kyai Nur Iman; Kontekstualisasi Turats; Akidah Kaum Sarungan; Maqashid Syariah; Liberasi Abad Kegelapan: Potret Ulama Raksasa Skolastik yang Terlupakan; dan Rekonstruksi Disiplin Keilmuan Islam.

Di tengah kasus intoleransi yang marak hingga kini, juga di tengah masyarakat yang mudah tersulut api konflik, Gus Irwan tampil menjadi tokoh muda NU yang terus berjuang. Satu hal yang kerap ditekankan Gus Irwan adalah:  membangun paradigm terbuka, tanpa membatasi dispilin keilmuan (SI).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top