Sedang Membaca
Ayyamul ‘Arab: Sejarah Perang Syair Masyarakat Arab
Muhamad Hafizh
Penulis Kolom

Sedang menempuh studi di Fakultas Ushuluddin UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten.

Ayyamul ‘Arab: Sejarah Perang Syair Masyarakat Arab

Ayyamul ‘Arab: Sejarah Perang Syair Masyarakat Arab

Pada awalnya orang yang memiliki kemampuan dalam menyingkap pengetahuan yang tersembunyi dari kebanyakan manusia dianggap mendapatkan pengetahuannya dari setan atau syaithan (Bahasa Arab), yang apabila ditilik dari bahasanya sesuai dengan ejaan Indonesia: syair (sya’ir) dan sihir (sihr). Kala itu penyair dianggap memiliki hubungan dengan makhluk astral atau memiliki kekuatan kasat mata, bahkan dari kutukannya yang keluar secara lisan maupun teks dianggap dapat membuat celaka seseorang. Karena itulah bentuk syair dan puisi Arab pertama kali berkembang dengan tema hija’ atau puisi yang berisi sindiran.

Pada perkembangannya, syair memiliki karisma dalam memainkan berbagai peran sosial. Misalkan orang-orang Arab berada di peperangan, keberanian lidahnya sama dengan keberanian tangannya. Seorang penyair dapat membuat peperangan antar suku, karena dipengaruhi oleh ungkapan puitis yang mirip dengan demagog atau netizen penyebar hoax yang mengadu domba dan menimbulkan fitnah. Syairnya yang dilestarikan melalui ingatan dan adanya transmisi secara lisan, menjadikannya sarana publisitas yang tidak ternilai.

Ayyamul ‘Arab dan Halalnya “Sihir”

Ayyamul ‘Arab merupakan salah satu di antara gejala dalam fenomena sosial di Arab menjelang kelahiran Islam, term dalam Bahasa Arab tersebut memiliki arti “Hari-hari orang Arab” (ayyam al-‘Arab). Fenomena sosial yang dinamakan Ayyamul ‘Arab berisi permusuhan– peperangan antar suku yang disebabkan karena persengketaan hewan ternak dan mata air. Setelah terjadinya persengkataan, lalu terjadi perampokan dan penyerangan. Berangkat dari itu, munculnya nama seseorang sebagai pahlawan lokal dan munculnya perang syair yang dipenuhi dengan kecaman penyair sebagai juru bicara dari masing-masing pihak yang bersengketa.

Masyarakat Arab menjelang era Islam memang orang-orangnya selalu siap untuk berperang, tetapi bukan berarti berani untuk mati. Dengan kata lain, mereka bukan orang-orang yang “haus darah” seperti kisah-kisah yang beredar dalam menggambarkan bangsa Arab jahiliyah. Tidak salah kalau dikatakan demikian, berkat Ayyamul ‘Arab itulah pertarungan dan perselisihan antarsuku menjadi salah satu institusi socio-keagamaan dalam kehidupan mereka.

Baca juga:  Kejayaan dan Kemunduran Sains dalam Dunia Islam

Peperangan antar suku Banu Bakr dengan Banu Taghlib menjadi yang paling awal dan terkenal atau bahkan dikenang oleh negeri-negeri berbahasa Arab. Kedua suku tersebut beragama Kristen, penyebab peperangannya karena seekor unta milik seorang wanita lansia yang bernama Basus, unta miliknya dilukai oleh kepala suku Taghlib. Hal ini, menjadikan peperangan yang terjadi bernama perang Basus, diambil dari nama seorang wanita lansia sebagai pemicunya.

Menurut legenda Ayyamul ‘Arab, perang Basus berlangsung selama 40 tahun. Sementara itu peperangan terus berkobar diiringi ungkapan-ungkaapan puitis dan kalimat syair. Selesainya peperangan tersebut setelah adanya proses mediasi atau arbitrase atau melalui perantara pihak ketiga untuk mencapai kesepakatan bersama. Selain itu, selesainya perang Basus karena lelahnya kedua belah pihak dalam berperang.

Fenomena sosial yang terjadi mempengaruhi perkembangan sastra Arab, misalnya mempengaruhi genre dan tema yang populer di kalangan penyair Arab pada masa menjelang kelahiran Islam. Beberapa tema syair yang populer seperti ritsa (syair ratapan), hamasah (syair kepahlawanan), fakhr (syair membanggakan diri), hija’ (syair sindiran dan ejekan), dan ghazal (syair cinta). Berangkat dari hal ini menunjukkan tidak ada satu pun bangsa di dunia yang memberikan apresiasi begitu besar terhadap ungkapan bernuansa puitis dan sangat tersentuh oleh kata-kata, secara lisan maupun teks, selain bangsa Arab. Bait syair, irama bahasa, dan ritme itu memberikan dampak psikologis kepada orang-orang Arab, selayaknya hembusan “sihr halal” (sihir yang halal).

Baca juga:  Kemerdekaan Bangsa Indonesia Berkiblat pada Peristiwa Hijrah Nabi saw

Jika orang-orang Yunani berekspresi melalui seni dalam bentuk patung dan arsitektur, orang-orang Ibrani dalam bentuk lagu-lagu keagamaan yang disebut psalm, maka orang-orang Arab menuangkannya dalam bentuk syair. Menurut peribahasa Arab, “keelokan seseorang, terletak pada kefasihan lidahnya”. Hal ini memberi arti kefasihan sebagai kemampuan untuk mengungkapkan jati diri secara elegan dalam bentuk prosa dan ungkapan puitis. Bahkan muncul suatu peribahasa sebagai bentuk penggambaran dunia, “kebijakan muncul dalam tiga hal: otak orang Prancis, tangan orang Cina, dan lidah orang Arab”.

Karya Agung Suatu Syair

Literatur dalam bentuk puisi muncul sebagai literatur di berbagai bangsa, tetapi literatur Arab berbeda dengan literatur lainnya, karena berkembang secara maksimal. Penggalan puisi yang mengisahkan perang Basus ditemukan dan tampak ditulis sekitar seratus tiga puluh tahun sebelum Hijrah, serta dianggap sebagai puisi tertua yang pernah ditemukan. Ekspresi seni dan kemampuan intrinsik bahasa dalam penggalan puisi itu terkesan kaku, hal ini menunjukkan sastra Arab telah melewati proses perkembangan panjang dalam seni berekspresi dan kemampuan intrinsik bahasa.

Para dukun dan peramal yang menggunakan prosa bersajak dipandang sebagai tahap awal perkembangan bentuk puitis. Tradisi bahasa Arab para penunggang unta yang bernyanyi dengan mengikuti ritme langkah untanya dipandang sebagai tahap kedua perkembangan bentuk puitis.

Gaya puisi rajaz yang terdiri dari empat sampai enam baris sajak dipandang sebagai perkembangan lebih lanjut dari prosa bersajak dan menggeser bentuk sajak yang paling sederhana sekaligus paling tua. Terdapat penuturan dalam orang-orang Arab dalam menanggapi puisi rajaz, “rajaz adalah embrio puisi dengan prosa bersajak sebagai ayahnya dan lagu atau puisi liris (Qashidah) sebagai ibunya.”

Baca juga:  Perjalanan Maroko di Piala Dunia 2022, Sebuah Kilas Balik Peradaban Andalusia Tempo Dulu

“Tujuh Mu’allaqat” suatu penyebutan di antara puisi-puisi liris yang dihasilkan masa klasik, hal ini membawa Mu’allaqat menduduki posisi pertama sekaligus sebagai karya agung di bidang puisi dan masih dijunjung tinggi di seluruh dunia. Ada suatu legenda, setiap bagian merupakan puisi yang meraih penghargaan pada festival Ukaz dan ditulis dengan tinta emas, kemudian terpasang untuk dipajang pada dinding Ka’bah.

Festival Ukaz merupakan festival tahunan dan sejenis pertemuan para sastrawan-penyair untuk menampilkan keahlian dan memperebutkan posisi pertama. Sehingga para penyair memiliki hasrat untuk mengukir namanya pada festival Ukaz. Selain itu, festival Ukaz ini diibaratkan dalam dunia kampus, sebagai ajang pemilihan duta kampus. Maka dari itu, pada masa menjelang kelahiran era Islam, festival Ukaz adalah olimpiade-nya orang-orang Arab.

Karya syair dengan ungkapan puisi liris (Qashidah) senantiasa dijejali oleh ekspresi emosional yang menggebu-gebu, dan dalam pengungkapannya menggunakan kalimat-kalimat yang kuat serta padu. Pujian masyarakat Arab lebih sering dilontarkan kepada penyairnya, bukan syairnya. Keunikan dari syair-syair berbahasa Arab adalah akan kehilangan maknanya, bila diterjemahkan ke dalam bahasa lain.

Sumber bacaan:

  • Hitti, 2018, History of The Arabs, Jakarta: Zaman.
  • A, 2012, Syair Ratapan (Ritsa) dan Cinta (Ghazal) Dalam Budaya Perang Bangsa Jahiliyah (Kajian Sosiologi Sastra), Jurnal Online STAIN Pamekasan, Vol.9 No.2.
Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
5
Ingin Tahu
2
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
8
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top