Kini dunia sedang diambang kedaruratan. Berbagai polemik dan problem menghantui umat manusia. Konflik antara Rusia dengan Ukraina, Palestina dengan Israel, pandemi, dan krisis lingkungan adalah indikatornya. Setiap hari berbagai nasional maupun internasional, selalu mengupdate perkembangan tersebut. Hal ini lantaran berdampak pada banyak aspek kehidupan, khususnya kemanusiaan. Maka, kita sebagai umat manusia, sedikit banyak perlu berharap ada kemukjizatan bagi ketentraman dunia.
Mukjizat bisa kita baca sebagai peristiwa-peristiwa yang tidak masuk akal. Misalnya, orang yang didiagnosis menderita sakit berat, tidak masuk akal untuk sembuh, akan tetapi sesuatu peristiwa menyebabkan seorang itu sembuh dari penyakitnya. Mukjizat dalam pengertian modern, juga bisa dibaca sebagai fenomena-fenomena yang melanggar hukum alam. Idris pergi ke Surga, Sulaiman bisa berkomunikasi dengan hewan, Musa membelah laut, Muhammad melakukan Isra Miraj, peristiwa tersebut dalam ilmu modern melanggar hukum alam.
Ada perlakuan khusus bagi umat beriman terhadap mukjizat. Adalah tidak seperti cerita dongeng, fiksi, mitos, dan legenda, meski di dalamnya terdapat kisah-kisah fantastis, akan tetapi hal itu tampaknya tidak bersifat spirit. Hal ini berbeda dengan mukjizat, peristiwa mujizat menyangkut masalah keimanan, di dalamnya terkandung spiritualitas. Agama tanpa mukjizat, hanyalah doktrin-doktrin yang kering.
Meninjau Pemahaman Mukjizat
Secara eksplisit agama-agama dunia memiliki konsepsi akan mukjizat. Mukjizat dalam agama-agama jelas berbeda dalam arti tradisinya. Namun, dalam arti lain mempunyai kesamaan bahwa mukjizat bisa dipahami sebagai sesuatu yang luar biasa. Dalam Islam, mukjizat mengandung pengertian sebagai keajaiban (sesuatu yang luar biasa) yang diberikan oleh Allah kepada Nabi dan Rasul.
Umumnya peristiwa-peristiwa mukjizat itu dikisahkan dalam kitab suci. Kitab suci di era Modern dijadikan sumber ilmu pengetahuan dan sains. Mukjizat kerap diperlakukan sebagai data historis, karena cerita-cerita fantastis itu adalah bagian dari sejarah masa lalu. Konsekuensinya ialah munculnya pertanyaan tentang fakta kebenaran historisnya. Namun, untuk membuktikan faktualitas mukjizat, sebetulnya tidak cukup dengan ilmu kesejarahan.
Sudah menjadi rahasia umum kita yang hidup di era sekarang, tidak masuk akal apabila tidak terpengaruh sejarah. Pemahaman dan pengetahuan kita akan sesuatu terpengaruh oleh generasi sebelumnya. Maka amat wajar jikalau pengetahuan kita sekarang berada dalam konteks kekinian. Karena kita tidak punya mata Tuhan untuk lepas dari sejarah pengaruh. Betul kita bisa mempercayai mukjizat di masa lalu itu benar adanya. Akan tetapi, mustahil kita bisa mengetahui makna objektif dari peristiwa mukjizat itu.
Pemahaman kita akan mukjizat dipengaruhi oleh tradisi yang kita lingkupi. Sebelum memaknai sesuatu, kita sudah mempunyai pemahaman tertentu akan mukjizat. Itulah mengapa pemahaman kita akan makna mukjizat mungkin sama dalam satu pemahaman, bahwa itu adalah fenomena yang fantastis. Namun pemaknaan lain kita tentang mukjizat bisa berbeda dengan orang lain lain, bergantung dari mana asal tradisinya.
Contoh konkritnya ialah peristiwa Ibrahim yang mengorbankan putranya kepada Tuhan. Dalam tradisi Kristen, putra Ibrahim adalah Ishak, sedang dalam tradisi Islam, putra Ibrahim itu adalah Ismail. Pada intinya memiliki kesamaan, perintah tersebut sebagai bukti kesetiaan Ibrahim kepada Tuhan. Bersamaan itu, terjadilah mukjizat, putra yang hendak dikorbankan tadi, diganti dengan seekor domba. Tetapi, pesannya bisa bermacam-macam bergantung subjektifitas penafsir. Peristiwa tersebut bisa dimaknai sebagai ketulusan, ketaatan, atau bahkan ujian Tuhan.
Dalam perkembangan lanjut, fakta-fakta ilmiah akan mukjizat mulai diungkap dengan ilmu pengetahuan dan sains Modern. Para ahli berusaha menyelidiki kandungan-kandungan mukjizat dalam ranah ilmiah. Sebagai contoh penelitian akan kandungan buah Tin dan Zaitun, kemudian ada penelitian tentang angkasa luar yang dikisahkan oleh kitab suci. Kendati demikian, sekali lagi hal itu hanya menunjukkan kandungan ilmiah. Padahal, memaknai mukjizat tidaklah sebatas dari aspek itu, melainkan ada banyak aspek lainnya. Dengan arti lain, pemaknaan objektif akan mukjizat sebetulnya mustahil untuk diketahui, sebab ilmu dan pengetahuan manusia juga berkembang.
Memaknai Mukjizat
Memahami mukjizat tidak cukup dengan ilmu sejarah ataupun sains Modern. Ilmu sejarah terbatas pada aspek-aspek data historis, di samping para ahli juga terpengaruh oleh horizon kekinian. Sedang sains juga belum mampu untuk menciptakan mesin waktu. Terpenting bukanlah apakah mukjizat itu faktual ataukah tidak, tetapi bagaimana makna dari setiap mukjizat yang dikisahkan.
Kenyaataan tersebut membawa kita bahwa pesan-pesan mukjizat berlaku bukan hanya pada masa lampau, akan tetapi untuk kini dan nanti. Era sekarang ini kita dihadapkan pada berbagai macam persoalaan. Mulai dari konflik antar negara, krisis kemanusiaan, pandemi, dan krisis global lainnya. Sehingga kita perlu menengok kisah mukjizat terdahulu untuk dikontekskan dengan era sekarang.
Hal itu mengindikasikan bahwa mukjizat bukan melulu persoalan teologis. Namun, banyak dari kita kerap berpandangan bahwa mukjizat hanyalah persoalan teologis. Padahal, bila dimaknai betul sesungguhnya mengandung pesan dan hikmah yang besar bagi kehidupan. Misalnya, kisah Musa yang membelah lautan merah itu tidak hanya menunjukkan kebesaran Tuhan, melainkan bukti bahwa Tuhan hadir dalam kehidupan manusia, Tuhan menunjukkan kasih sayangnya.
Kemudian kisah tentang lebah yg terdapat QS. An-Nahl ataupun tentang tentara semut pada zaman Nabi Sulaiman. Itu bisa kita maknai bahwasanya perlunya solidaritas antar kawan, antar manusia, untuk saling tegur sapa. Dengan merenungkan hal seperti ini, sedikit banyak membantu banyak dari kita untuk menghidupkan kembali persaudaran antar sesama.
Poinnya ialah pesan-pesan mukjizat menyiratkan bahwa kita perlu menengok masa lalu, mengambil pelajaran masa lalu, untuk kita renungkan, refleksikan, dan hayati. Dengan cara seperti itu, maka kita sudah menghidupkan ajaran kitab suci.
Satu hal lagi yang tidak kalah penting, boleh betul mukjizat tidaklah harus yang fantastis dan spektakuler. Namun, bahwa hati kita tidak kaku, mau mengulurkan tangan untuk sesama, bisa berbagi, bisa peduli, mungkin itulah mukjizat yang tidak kita sadari dalam era ini.