Dalam ajaran Islam, berbagi atau bersedekah kepada sesama adalah tindakan kebaikan yang sangat dianjurkan. Di samping sebagai hal yang terpuji, tindakan ini tentunya juga sebagai bentuk kepedulian dan tolong menolong antar sesama makhluk ciptaan-Nya.
Tidak hanya di Islam, dalam ajaran agama yang lain pun saya yakin bahwa berbagi atau bersedekah juga merupakan hal kebaikan. Bisa dipastikan tidak ada suatu ajaran agama apapun yang menganggap bersedekah adalah tindakan yang buruk.
Konteks anjuran dan pentingnya bersedekah dalam Islam setidaknya telah terekam secara eksplisit dalam sebuah hadis Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:
اليد العليا خير من اليد السفلى وابدأ بمن تعول وخير الصدقة عن ظهر غني ومن يستعفف يعفه الله ومن يستغن يغنه الله (صحيح البخاري (2/ 518)
“Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah, dan mulailah dengan orang yang lebih tinggi, dan sebaik-baiknya sedekah itu adalah dari orang kaya. Barang siapa yang menjaga diri, maka Allah akan menjaganya dan barang siapa yang merasa cukup atas yang Allah berikan, maka Allah akan memberi kekayaan.” (Shohih Bukhori, 2, 518)
Hadis di atas mengindikasikan bahwa berbagi atau bersedekah merupakan hal yang baik. Sedekah juga datang dari orang yang merasa cukup atas kenikmatan yang telah Allah berikan kepadanya.
Atas dasar itulah, tak heran banyak ditemukan kearifan-kearifan lokal yang mengajarkan pentingnya berbagi kepada sesama. Di Madura misalnya, A. Dardiri Zubairi di salah satu esai dalam bukunya Rahasia Perempuan Madura menyebutkan adanya tradisi unik yaitu Ser Maleng. Menurutnya, tradisi ini lahir sebagai bentuk mewadahi keikhlasan yang memang gampang diucapkan tetapi sulit untuk dilakukan.
Selain tradisi berbagi atau bersedekah seperti Ser Maleng, ada pula tradisi Ser Ajem untuk guru ngaji. Tradisi ini lahir sebagai simbol pemasrahan anak untuk mengaji kepada seorang guru ngaji, juga sebagai simbol ucapan terima kasih ketika seorang anak yang dipasrahkan di awal telah sampai (khatam) Al-Qur’an. Meskipun dalam praktiknya berbeda, namun dua tradisi ini mempunyai nilai yang sama yaitu bersedekah.
Lebih jauh lagi Cirebon misalnya, di sana juga terdapat tradisi berbagi yang menurut saya sangat unik. Oleh masyarakat sekitar, tradisi berbagi ini dinamakan tradisi Curak.
Tradisi Curak
Curak, begitulah masyarakat Cirebon menamakan tradisi ini. Sebuah tradisi unik yang tetap dilestarikan oleh masyarakat sekitar hingga kini. Tradisi ini saya tahu berawal dari postingan video di status WhatsApp teman asal Cirebon yang memperlihatkan ibunya sedang membagi-bagikan uang logam seribuan untuk warga sekitar.
Ketika saya tanya lebih dalam, tradisi ini ternyata memang telah ada sejak dahulu kala. Sayangnya, tidak ada kepastian sejak tahun berapa tradisi ini lahir hingga akhirnya menjadi tradisi yang melekat dan lestari. Namun yang lebih penting dari itu, tradisi ini lahir sebagai bentuk rasa syukur terhadap Sang Ilahi atas limpahan kenikmatan yang telah diberikan.
Lumrahnya, tradisi ini sering diungkapkan sebagai bentuk nadzar (janji) untuk menyukuri kenikmatan atas capaian yang baru saja didapat. Ada juga dilakukan atas datang (lahirnya) orang baru dalam sebuah rumah tangga atau keluarga.
Ketika ada warga yang hendak bersedekah (baca: bercurak), para tetangga sekitar berkumpul di halaman rumahnya untuk menunggu si pemilik hajat menabur uang logam seribunan. Biasanya, si pemilik hajat perlu menyiapkan sekitar seratus lima puluh hingga dua ratus ribu uang logam untuk dibagikan, kemudian dicampur dengan kunyit atau beras.
Inilah Curak, sebuah tradisi unik masyarakat Cirebon dalam bersedekah yang tetap melekat dan lestari hingga kini. Kearifan lokal ini lahir sebagai bentuk penghayatan terhadap ajaran tentang pentingnya berbagi kepada sesama dengan dibungkus cara-cara yang bernuansa lokal