Pak Mawar adalah seorang penghayat: ia menghayati kehidupan. Dari sekian juta manusia Indonesia hari ini, saya kira cukup sulit untuk menemukan sosok lain sepertinya. Meskipun masih sekedar spekulasi, tidak berlebihan untuk menyimpulkan demikian. Salah satu bukti bahwa ia adalah seorang penghayat dapat ditemukan dalam bukunya berjudul Datang dan Pulang (2023).
Buku tersebut kecil dan sederhana. Buku layaknya catatan harian. Peritiwa tercatat mulai Rabu, 21 Desember 2022 hingga Ahad, 8 Januari 2023. Buku terdiri dari 6 cerita dalam rentang waktu 19 hari. Pak Mawar menuliskan biografinya dalam 39 halaman. Rumah, Mushola Al Mubarakah, rumah Pak Bandung Gundai-Bu Rukini, warung bakmi, dan RS Kustati Solo hadir dalam kisah hidup Pak Mawar.
Pada mulanya, baiklah kita membaca “Pengumuman (Tidak) Penting” yang membuka buku Datang dan Pulang ini: “Tulisan-tulisan wagu memang tidak penting tapi berharap suatu hari nanti mengingatkan anak dan cucu yang sudah lahir atau yang belum lahir. Mereka akan sedikit mengetahui siapa-siapa dan apa-apa yang terjadi di Mushola Al Mubarokah, dari hari ke hari” (h. 4).
Pengumuman ini ditulis untuk mengabarkan niat buku ditulis dan diterbitkan: “…merekam yang dialami bersama berkaitan acara-acara di Mushola Al Mubarokah, yang beralamat di Tanon Lor, Gedongan, Colomadu, Karanganyar, Jawa Tengah” (h. 4). Pak Mawar tidak tega jika peristiwa-peristiwa dalam hidupnya berlalu begitu saja. Ia ingin berbagi kebahagiaan kepada saudara, anak-cucu, para jamaah mushola, dan para pembaca. Pada suatu kesempatan, ia mengatakan buku ini bukan untuk pamrih intelektual, juga bukan pamrih ekonomi. Ia ingin berbagi.
Pak Mawar selalu mengatakan “dolan ke mushola”. Saya kira ia ingin mengabarkan betapa mushola adalah tempat yang menyenangkan dan membahagiakan. Kesenangan ini misalnya kita temukan dalam kisah berjudul “Mushola dan Ayam”. Pada Ahad, 25 Desember 2022, Pak Mawar mengikuti pengajian ba’da subuh di Mushola Al Mubarokah. Selepas shalat dan mendengarkan pengajian, para jemaah berkumpul di depan mushola untuk sarapan bersama.
Simaklah: “Berdiri di depan meja. Di piring, ada nasi dan rica-rica ayam. Sarapan yang bakal memberi kekuatan untuk melakukan peristiwa-peristiwa di pagi hari. Duduk menikmati sarapan. Mata melihat campuran seimbang: ayam dan kubis. Belum genap lima menit, sarapan habis. Segelas teh hangat ikut masuk perut. Dingin tak lagi terlalu terasa” (h. 18). Demikianlah Pak Mawar menceritakan betapa bersahajanya kehidupan masyarakat jamaah mushola. Pada bagian lain, ia menceritakan betapa ayam pun turut bergembira dolan di Mushola Al Mubarokah: mereka dapat sarapan enak sisa para jemaah (h. 19).
Pada kisah tersebut kita akan dibuat berimajinasi kejadian-kejadian di Mushola Al Mubarokah: salat subuh berjamaah, pengajian, sarapan, dan ayam.
Lain lagi ketika Pak Mawar menulis kisah “Sandal dan Payung”. Kembali ia bercerita tentang Mushola Al Mubarokah, salat berjamaah, pengajian, dan makan bersama. Dalam kisah ini sandal dan payung tidak hadir “sementereng” ayam di kisah sebelumnya. Pak Mawar merekam kehadiran sandal dan payung di Mushola Al Mubarokah di hari yang gerimis.
Kehadiran para jamaah yang cukup ramai dibantu oleh sandal dan payung mereka. Kehadiran keduanya seringkali hanya seremonial. Kehadiran sandal dan payung bagi Pak Mawar merupakan kejadian. Ia mengamati: perkumpulan sandal dan payung. Hasil pengamatan: “Di mataku, sandal-sandal itu menceritakan jati diri penggunanya. Sandal mungkin ikut berpahala yang dibuktikan dengan menjadi alas bagi orang-orang yang melangkahkan kaki ke mushola. Selama ini, aku belum tahu jika para tetangga datang ke mushola bersepatu” (h. 38).
Keenam kisah dalam buku ini mengingatkan saya pada dua buku lain, yakni Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (2017) karya Kuntowijoyo dan Kemelut Pandemi: Narasi Sains Islam, Dakwah, dan Masjid (2022) karya Andika Saputra.
Dalam Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (2017), kita melihat betapa sedihnya Kuntowijoyo melihat masjid tak ubahnya seperti stanplat bus. Para jamaah begitu saja masuk masjid, salat, duduk sebentar, lalu pulang tanpa ada keinginan untuk berinteraksi dengan jemaah lainnya (h. 160).
Berbagai ruang kehidupan yang meliputi kehidupan manusia modern, membuat masjid mulai tidak fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Masjid seolah-olah “hanya menjadi tempat berteduh sekali seminggu di hari Jum’at, atau barangkali setiap shalat berjama’ah; tetapi tidak mempunyai arti sosial apa-apa, kecuali sebagai penghibur dan tempat bertemu secara santai” (h. 176). Kuntowijoyo serius untuk bertanya: apakah hanya itu peranan masjid dalam masyarakat? Ia melihat umat Islam telah menjadi umat yang terapung: umat tidak mempunyai basis paling bawah (h. 160).
Kekhawatiran ini dirasakan kembali oleh Andika Saputra dalam bukunya Kemelut Pandemi: Narasi Sains Islam, Dakwah, dan Masjid (2022). Andika Saputra cukup jeli melihat masalah akibat fenomena penutupan masjid di masa pandemi Covid-19. Selama masa pandemi ada masjid yang ditutup sepenuhnya dan dihentikan seluruh kegiatannya, hingga masjid yang tetap dibuka dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat (h. 125-126).
Terdapat 4 pola sikap umat Islam terhadap fenomena tersebut, dan dua di antaranya menurut Andika Saputra menyebabkan masjid mengalami stagnansi sejak awal pandemi hingga kini. Keduanya ialah (1) umat Islam yang masih sangat ketat menerapkan protokol kesehatan hingga mendorongnya melakukan pembatasan kontak dan kegiatan di luar rumah dan (2) umat Islam yang telah mengalami pembiasaan berkegiatan di luar rumah, tetapi belum kembali melibatkan diri dalam kegiatan di masjid (h. 129). Hal ini terjadi karena masjid mengalami penyempitan fungsi dan ruang: masjid hanya terdiri dari ruang untuk shalat. Pusat kehidupan umat Islam telah bergeser ke ruang-ruang produktif (ekonomis) dan menepikan masjid sebagai salah satu ruang saja (h. 139-141). Kehidupan manusia modern telah kehilangan ruang spiritual-sosialnya.
Setelah menimbang kekhawatiran dalam dua buku tadi, membaca buku Datang dan Pulang (2023) membuat nafas sedikit lega. Mushola Al Mubarokah tidak sekedar tempat jamaah untuk shalat fardu, malainkan juga ada pengajian, makan-makan, dan rasan-rasan (seperti dalam kisah “Jamaah Lawang”). Mushola sebagai salah satu pusat ibadah umat Islam mampu mengikat hubungan sosial jamaahnya setelah dihantam pandemi selama 2 tahun lebih. Pak Mawar (dan para jamaah lainnya) masih bisa bergembira melangkahkan kaki ke Mushola Al Mubarokah, shalat berjamaah, mengikuti pengajian, makan bersama, bercerita, dan menghayati kehidupan. Mereka tak kehilangan basis sosial dan spiritualnya. Mereka berbahagia mengawali kehidupan menyambut matahari terbit dari Mushola Al Mubarokah. Wallahu a’lam.