Perempuan selalu dicitrakan dengan sosok yang menakutkan. Ibu yang galak, suka mengatur suami, memarahi suami, melarang suami, ngamukan, bahkan ada yang namanya PSTI (Persatuan Suami Takut Istri). Marah ke anak, baper, mudah tersinggung, dan penghuni neraka.
Padahal faktanya kebanyakan pelaku KDRT baik emotional, verbal, physical abuse adalah laki-laki. Tapi tak pernah ada istilah PITS (Persatuan Istri Takut Suami). Artinya, istri takut suami itu wajar! Suami takut istri itu aneh hingga dibikin lelucon. Artinya dunia ini menghalalkan kekerasan oleh laki-laki.
Laki-laki digambarkan sebagai sosok yang harus ditakuti dan disegani istri, boleh mengancam, marah, membentak, bahkan memukul. Kalau ada suami KDRT, istri dinasehati untuk sabar meski nyawanya terancam. Tapi kalau istri galak, suka ngatur, gak ingin suaminya pergi lama-lama disuruh cerai. “Ceraikan aja istri yang suka ngatur kaya gitu!” Begitu kata mereka yang patriarki, seolah menuruti istri adalah hal yang memalukan.
Baiklah saya akan jelaskan kenapa perempuan itu sering marah, galak, ngamukan, dan menakutkan. Kenapa ia selalu ‘mengatur’ dan ‘melarang’ suami. Perempuan sejak lahir harus sudah berkutat dengan dapur dan sumur. Keahliannya memasak sering dipertanyakan oleh orang-orang, perempuan identik dengan pekerjaan domestik.
Perempuan tidak pernah ditanyakan akan profesionalitasnya sebagai pribadi, tidak akan ditanya apakah cerdas atau tidak, mandiri atau tidak, punya pekerjaan atau tidak. Tapi perempuan hanya akan ditanya bisa masak, bisa ngurus suami, bisa ngurus rumah, bisa ngurus anak?
Ketika dewasa perempuan dan laki-laki mengerjakan pekerjaan domestik sendiri. Namun ketika menikah pekerjaan domestik diambil alih perempuan. Kenapa? Karena sistem patriarki. Sistem ini membuat tekanan bagi perempuan. Kami tidak bisa bebas berekspresi dan mengaktualisasikan diri.
Perempuan punya rahim dengan konsekuensi menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui. Semua hal itu menyaktikan dan tidak enak. Dalam kondisi sakit apakah seseorang bisa selalu baik-baik saja? Dalam kondisi perut sakit saat menstruasi sambil masih harus mengurus rumah dan suami apakah ia bisa baik-baik saja?
Apakah ia bisa bersabar ketika suaminya harus selalu dilayani? Suami yang hanya kerja di luar dan tidak mengurus rumah masih harus dilayani ketika pulang. Dimasakkan, dicucikan bajunya, diurus segala keperluannya?
Perempuan yang hamil dengan perut yang besar, badan yang letih, mual setiap hari, sakit perut, pinggul, dada. Kadang ada yang hiperemesis gravidarum, pendarahan, keguguran. Dalam kondisi seperti itu masih harus mengurus rumah dan melayani suami? Memasak, mencuci, membersihkan rumah, mengurus suami. Belum lagi jika ia juga bekerja di luar, ia harus memikirkan pekerjaan, dirinya, rumah, dan suami.
Perempuan yang melahirkan dengan penuh perjuangan, kontraksi berhari-hari, vaginanya luka, perutnya sakit, nifas, harus begadang tiap malam menyusui dan mengganti popok anaknya. Menyusui disertai lecet dan badan yang remuk setelah melahirkan. Mengganti popok hingga 30 kali satu hari, memandikan, mengganti pakaian, menidurkan, mengajak bermain, mengurus rumah, dan melayani suami. Banyak sekali yang tak pernah sempat mengurus diri, tidak makan teratur, kurang tidur, kurang istirahat.
Ini jika anaknya baru lahir dan hanya satu. Kalau anaknya banyak, ia harus mengurus segala keperluan anak, mulai dari kepala sampai kaki. Belum mengontrol tumbuh kembang anak, membuat variasi makanan sehat, melatih berjalan, mengajari membaca, menulis, dan mendampingi belajar.
Semua ini hanya dirasakan dan dikerjakan oleh para perempuan dalam budaya patriarki. Banyak pula laki-laki yang masih minta dilayani, dibuatkan teh saat pulang kerja, dipijit, dan disiapkan makanannya hanya karena sudah bekerja.
Banyak laki-laki yang tidak peduli terhadap tumbuh kembang anak, pengasuhan, dan pendidikan anak. Tidak peduli terhadap kebutuhan dan keinginan istri. Istri hanya hanya harus patuh, nurut, dan tunduk pada suami.
Dalam kondisi kelelahan seperti itu, pekerjaan dan tanggung jawab yang tiada habisnya, apakah perempuan tidak tertekan? Ia berteriak ketika anaknya tidak paham perintahnya. Ia berteriak ketika anak menumpahkan makanan dimana ia sudah memperingatkan sebelumnya. Ia berteriak karena begitu lelah membereskan rumah dan ia hanya ingin istirahat.
Ia marah pada suami yang meletakkan barang sembarangan karena ia sangat lelah merapikan rumah. Ia marah pada suami yang pulang terlambat karena ia sangat kelelahan mengurus anak-anak seharian. Ia melarang suaminya pergi-pergi karena ia ingin anak-anak mendapat banyak waktu bersama ayahnya.
Ia menyuruh suami cepat pulang karena ia khawatir, ia juga ingin bercerita, menghabiskan waktu berdua. Ia marah-marah dalam banyak kondisi karena fisik dan mentalnya benar-benar lelah. Ia tak ada waktu untuk dirinya sendiri. Ia tak pernah tidur cukup dengan tenang. Ia tak pernah mandi dengan leluasa, makan dengan tenang.
Ia tak pernah bisa melakukan apa yang ia inginkan. Ia jarang bertemu teman-temannya karena repot membawa anak-anak. Ketika bepergian ia sibuk menyiapkan anaknya, makan sibuk menyuapi anaknya, mengganti popok atau mengantar ke kamar mandi.
Dalam kondisi seperti itu sangat wajar jika seorang perempuan lepas kendali. Ia harus memikirkan segalanya sendiri. Ia mengerjakan segalanya hingga melupakan dirinya. Ia kehilangan jati dirinya, kehidupannya, kebahagiannya.
Jika tidak ingin mendengar perempuan marah-marah, kita perlu menjadi perempuan agar bisa memahami. Kebutuhannya harus dicukupi (fisik dan mental), dcarikan bala bantuan (ART, baby sitter), kerja sama dalam pengasuhan anak. Pekerjaannya perlu diambil alih, ia juga perlu me time. Keinginannya dipenuhi, jadilah temannya, gantikan teman yang telah lama hilang karena kesibukannya, hadir penuh utuh di sampingnya.
Jadilah teman, sahabat, suami, kakak, dan bala bantuan versi terbaik. Jangan beri ia beban berlebih. Dengarkan segala keluhan dan kelelahan buktikan dengan tindakan. Ambilah inisiatif, pandailah membaca situasi, belajarlah untuk memahami.