Sebagai anak keluarga muslim, saya mengenal ada tuntutan khusyuk dalam shalat, dan yang saya pahami waktu itu, khusyuk adalah tenang, tidak pecicilan saat mengerjakan shalat. Saya berpemahaman demikian karena ketika sedang shalat dan melakukan banyak gerakan yang tidak perlu, saya ditegur, “Le, lek shalat seng khusyuk”.
Ini berlanjut hingga mondok. Pemahaman tentang khusyuk bergeser ketika saya mendengarkan keterangan salah satu guru, “Kalau shalat saya membayangkan Kyai ada dihadapan, agar shalat saya khusyuk.” Dari kalimat tersebut, saya memahami bahwa khusyuk adalah tenang dan menghadap ke bawah, karena kalau Kyai berdiri di depan saya, seketika kepala saya menunduk.
Lambat laun, pemahaman saya tentang khusyuk bergeser. Entah karena informasi dari bacaan atau materi dari guru. Akhirnya, saya menemukan makna khusyuk yang berbeda-beda dari beberapa ulama.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib misalnya, mengartikan khusyuk dengan tidak menoleh ke kanan dan kiri. Sedang Saad bin jubair, khusyuk adalah ketika seseorang tidak mengetahui siapa yang berada di kanan dan kirinya. sebagaimana keterangan dalam kitab I’anatut Thalibin.
Dari dua pendapat di atas, Imam Ramli merumuskan makna khusyuk dengan sebuah pertanyaan,
وَقَدْ اخْتَلَفُوا هَلْ الْخُشُوعُ مِنْ أَعْمَالِ الْجَوَارِحِ كَالسُّكُونِ؟ أَوْ مِنْ أَعْمَالِ الْقُلُوبِ كَالْخَوْفِ؟ أَوْ هُوَ عِبَارَةٌ عَنْ الْمَجْمُوعِ عَلَى أَقْوَالِ الْعُلَمَاءِ.
“Para ulama berbeda pendapat mengenai maksud dari khusyuk, apakah termasuk aktivitas fisik seperti diam atau aktivitas hati seperti rasa takut, atau gabungan definisi yang disampaikan ulama?”
(قَوْلُهُ: أَوْ هُوَ عِبَارَةٌ عَنْ الْمَجْمُوعِ) الَّذِي قَدَّمَهُ هُوَ الثَّالِثُ فَهُوَ الرَّاجِحُ.
Imam Syibramalisi menjawab pertanyaan Imam Ramli tersebut, “Pendapat yang unggul adalah kesimpulan dari beberapa pendapat ulama”, yakni khusyuk tidak menyibukkan hati dengan selain hal-hal yang kita lakukan saat shalat, meski berkaitan dengan akhirat, dan tidak melakukan suatu gerakan tanpa menyadarinya, misalnya karena melamun.
Untuk mencapai kondisi khusyuk, beberapa aspek harus dilakukan, yaitu senantiasa memandang ke arah bawah serta tidak memikirkan hal-hal yang bersifat duniawi dan ukhrawi.
Namun, apakah ini tidak bersinggungan dengan tuntutan bacaan dalam shalat? Sebab, bagi orang yang memahami artinya, akan terbayang apa yang terkandung dalam bacaan tersebut, baik berkaitan dengan dunia maupun akhirat.
Sayyid Bakri dalam I’anatut Thalibin mengutip dari Imam Syibromulisi,
“قال ع ش: وهذا قد يشكل عليه استحباب كثرة الدعاء في السجود والركوع والاستغفار وطلب الرحمة إذا مر بآية استغفار أو رحمة، والاستجارة من العذاب إذا مر بآية عذاب، إلى غير ذلك مما يحمل على طلب الدعاء في صلاته، فإن ذلك فرع عن التفكر في غير ما هو فيه، ولا سيما إذا كان الدعاء بطلب أمر دنيوي، اللهم إلا أن يقال إن هذا نشأ من التسبيح والدعاء المطلوبين في صلاته أو القراءة فليس أجنبيا عما هو فيه.اه.”
“Memang demikian. Namun, apabila hal tersebut muncul dari bacaan yang dituntut di dalam shalat (bukan selainnya) maka tidak termasuk hal-hal di luar shalat (yang perlu dihindari).”