Sedang Membaca
Konsistensi Gus Dur dan Tuan Guru Faisal

Lahir di Toro Penujak, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Mei 1991. Saat ini tengah merampungkan kuliah di program Magister Studi Agama dan Resolusi Konflik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mengelola Kelompok Studi Sosial dan Kebudayaan (KlaSiKa). Menulis puisi dan esai kebudayaan di banyak media massa. Puisinya tersimpan dalam Buku Antologi 22 Penyair NTB, Dari Takhalli sampai Temaram (2012), Antologi Penyair Nusantara, Indonesia dalam Titik 13 (2013). Negeri Langit (2015). Lelaki Purnama dan Wanita Penunggu Taman (2012). Terpilih dalam Makassar International Writers Festival (MIWF) 2018. Bukunya, Tuan Guru Menulis, Masyarakat Membaca (2014).

Konsistensi Gus Dur dan Tuan Guru Faisal

Gus Dur pernah menulis Esai di Harian Kompas; “ Tuan Guru Faisal, Potret Kepribadian NU” (Jum’at, 23 Februari 1998), beberapa hari setelah Tuan Guru Faisal (70) Wafat pada 3 Februari 1995.  Gus Dur, dalam tulisannya itu mengakui bagaimana konsistensi Tuan Guru Faisal. 

Diceritakan oleh Gus Dur, saat Muktamar NU di Situbondo tahun 1984. Gus Dur dan Tuan Guru Faisal berdebat mengenai pandangan kedua tokoh tersebut kembalinya NU kepada khittah pada tahun 1926. Kedua tokoh itu berbeda tafsiran pada kata khittah. Gus Dur memahami Khittah sebagai jalan di mana NU tak memiliki dukungan secara organisatoris dengan kekuatan sosial politik mana pun. 

Dalam forum tersebut, Gus Dur menegaskan bahwasanya ia tidak mau memilih apa pun, siapa pun, atau memberikan dukungan secara transparan dan terbuka. “Itu urusan saya dan asasi,” kata Gus Dur, “tidak harus mengajak orang lain dan tidak akan memberitahukan kepada orang lain: mana yang saya pilih dalam pemilu dan mana yang tidak,” lanjutnya.

Sementara Tuan Guru Faisal punya perspektif yang berbeda dalam memahami khittah NU. Tuan Guru Faisal menafsirkan khittah hanya sebatas tidak boleh merangkap kepengurusan. Bila hanya  menunjukkan simpati, kata Tuan Guru Faisal, itu boleh-boleh saja. Tuan Guru Faisal menguatkan pendapatnya dengan argumen bahwa realitas di lapangan menunjukkan para pimpinan NU berpihak kepada partai politik tertentu.

Baca juga:  Majalah Arena dan Pesantren

Perdebatan berlangsung hingga pagi, kata Gus Dur dalam tulisannya. Kedua tokoh tersebut tidak menemui titik temu. Meski demikian, kedua NU tersebut sebenarnya ingin mewujudkan keinginan bersama, yakni mencintai jama’ah dan mengabdi pada cita-cita organisasi. 

Sebab itulah, Gus Dur menjadikan Tuan Guru Faisal sebagai platform bagi pemimpin NU. Pemimpin NU menurutnya harus saling menghormati dalam perbedaan pandangan, terlebih di internal organisasi. “Tuan Guru Faisal adalah contoh dan potret dari keperibadian NU sejati, yang sangat mengutamakan persaudaraan,” tulis Gus Dur.

Dalam NU, ada tiga asas dasar persaudaraan atau disebut Gus Dur sebagai “Trilogi Persaudaraan”; Ukhuwah Islamiyah (Hubungan persaudaraan antar umat Islam), Ukhuwah Basyariyah/Insaniyah (persaudaraan antar umat manusia), Ukhuwah wathaniyah (persaudaraan antar negara dan bangsa). 

Tuan Guru Faisal telah mempraktikkannya, mencoba bersepakat untuk tidak sepakat. Berbeda, tetapi tetap bersaudara, seperti yang pernah dikatakan oleh K.H Wahab Hasbullah, salah satu tokoh pendiri NU.

Gus Dur semakin kagum pada Tuan Guru Faisal ketika Ulama Lombok tersebut berwasiat kepada keluarganya, kalau dirinya wafat maka orang pertama yang harus dihubungi dan diberitahu di Jakarta adalah Abdurrahman Wahid. Bukan PBNU-nya, tulis Gus Dur. Gus Dur pun merasa kehilangan tokoh yang memiliki karekter dan konsistensi yang tak mudah digoyahkan. “Beliau mempunyai sikap konsisten dan menunjuukkan kecintaan mendalam pada NU sampai wafatnya,” ungkap Gus Dur.

Baca juga:  KH. Ilyas Ruhiat: Inklusif dan Menghormati Martabat Perempuan

Mungkin tulisan tersebut adalah salah satu cara Gus Dur mengangkat tokoh-tokoh lokal NU. Meski esai tersebut terbit setelah Tuan Guru Faisal wafat, namun perlu dicatat, Gus Dur dan Tuan Guru Faishal adalah dua tokoh yang pernah terlibat aktif sebagai pengurus partai. Keduanya berjuang lewat politik kebangsaan yang dibingkai dengan pandangan keislaman.

Tuan Guru Faisal seperti yang ditulis Gus Dur bertahun-tahun silam adalah sosok yang menyatu dengan masyarakatnya. Ia rela meninggalkan politik demi NU—yang baginya sebagai, suara umat, titian Jama’ah. NU diposisikannya sebagai cermin sekaligus simbol masyarakat. Baginya, NU semisal kapal yang membawa jama’ah berlayar. NU juga merepresentasikan wajah jama’ah. 

Tuan Guru Faisal konsisten dengan pilihannya. Sebagai sosok ulama yang cukup populer di kalangan masyarakat Lombok, Tuan Guru Faisal adalah contoh yang bisa dijadikan pondasi pijak. Ketika terlibat dalam politik ia konsisten berjuang demi cita-cita umat. Itu sebabnya masyarakat punya kepercayaan penuh terhadapnya.

Tuan Guru Faisal adalah representasi umat dan ter-cover dalam organisasinya.  Sebab itulah, Tuan Guru harus mempunyai satu wadah bersama, satu tujuan bersama yang kuat, tak mudah goyah oleh tawaran politis praktis. Tuan Guru butuh sebuah ikatan yang merepresentasikan suara jama’ah. Tempat berpegang atas dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Ikatan itu adalah Nahdlatul Ulama.

Baca juga:  Nu'aiman, Sahabat Rasul yang Bengal (1)

NU sebagai organisasi yang telah melewati sekian macam badai secara politik maupun secara keagamaan, akan terus melahirkan tokoh-tokoh semacam Gus Dur dan Tuan Guru Faisal. Keduanya bergulat dalam arus yang tak mudah ditempuh oleh banyak kalangan. Mereka berani demikian, karena  sudah melampui kepentingan dirinya. 

Itu sebabnya kedaunya, punya pendapat  dan sikap yang tak mudah digoyahkan. Konsistensi kedua tokoh teladan tersebut patut terus dirawat sebagai bagian dari karakter jamaah NU.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top