Sudah barang tentu manusia diciptakan untuk tidak menjalani kehidupan di dunia ini dengan sendiri-sendiri, atas dasar hal tersebutlah sebuah relasi dengan sesamanya sebagai manusia harus dimiliki yang juga di dalam relasi tersebut tentu harus disertai dengan rasa cinta, karena cinta bagi makhluk bernama manusia merupakan sumber kebahagiaan dan sekaligus menjadi sumber kesedihannya. Cinta ialah sebuah kekaguman seseorang kepada sesuatau yang ia kagumi, cinta sebagai sebuah sikap dan rasa yang dimiliki oleh manusia tentunya menjadi hal sangat bisa mempengaruhi manusia itu sendiri.
Sebelum kita membicarakan, mengetahuai, atau pun merasakan cinta pada masa sekarang ini. Jauh-jauh hari sebelumnya seorang filosof kenamaan yang sekaligus menjadi pelopor idealisme yang bernama Plato dalam bukunya yang bertajuk Symposium sudah lebih dulu membicarakan perihal cinta. Dalam bukunya tersebut Plato menyoal perihal cinta dalam kalimatnya yang kira-kira berbunyi seperti ini; yang siapakah yang tidak terharu oleh cinta, dan siapa yang tidak terharu oleh cinta berarti ia sedang berjalan dalam jalan yang gelap gulita.
Satu hal yang harus kita tekankan bahwa kita hurus mengakuai bahwa cinta itu penting dan menjadi sesuatu yang vital dalam kehidupan kita. Hal demikian disebabkan karena perihal cinta merupakan problem yang serius dalam kehidupan sosial kita, banyak dari kita melakukan hal yang seharusnya tidak patut untuk kita lakuka dengan mengatas namakan cinta. Cinta yang seharusnya menjadi sumber kebahagiaan bagi kita justru mendatagkan malapetaka. Cinta dalam kerangka yang ideal, dilihat sebagai dasar dalam terjadinya sebuah perdamaian, ketentraman, keharmonisan, dan bahkan menjadi suatu pendorong terjadinya suatu kemajuan. Entah itu terjadinya suatu kemajuan dalam diri seseorang atau pun dalam kehidupan sosial di sekitarnya.
Dalam tulisan yang sederhana ini, penulis hendak menyuarakan ataupun mengajak para pembaca untuk menjadikan cinta sebagai sebuah semangat untuk melakukan hal-hal yang mungkin bermanfaat bagi khalayak banyak, yang dalam hal ini penuli membahasakan dengan kalimat Jatuh Cinta Lalu Menulisklah. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh sang sufi besar dalam khazanah peradaban Islam, yang telah bertemu dengan seorang perempuan yang selanjutnya dijadikan sebagai pionir dalam tulisan-tulisannya.
Tokoh ulama’ sufi yang dimaksud di atas adalah seorang keturunan suku Arab Ta’i, lahir dengan nama Abu Muhammad ibn al-Arabi al-Hatimi al-Ta’i yang selanjutnya lebih deikenal dengan sebutan Ibn Arabi. Dalam perjalanan kehidupannya Ibn Arabi merupakan sesorang yang tidak hanya mendiami atau bermukim di satu tempat, ia telah menjalani hidup berpindah-pindah dari satu tempat menuju tempat yang lain. Satu hal yang harus kita ketahui di sini, Ibn Arabi melakukan hal tersebut bukan karena ia tidak suka, betah, atau pun tidak cinta dengan tanah kelahirannya (Mursiah, Andalusia). Hal demikian dilakukannya bukan tanpa alasan, salah satunya ialah terkait dengan kondisi sosial dan pemerintahan tanah kelahirannya.
Dari Mursia, Ibn Arabi dan keluarganya melakukan perjalanan untuk pindah ke Sevilla dan menetap di sana sekitar 30 tahun. Hal demikian disebabkan karena tanah kelahirannya telah ditaklukkan oleh Dinasti al-Muwahhidin. Di Sevilla Ibn Arabi mulai mempelajari ilmu-ilmu Islam klasik di bawah bimbingan sarjana-sarjana yang terkenal, karena pada saat itu Sevilla menjadi kota pusat kebudayaan dan pengajaran Islam di bagian barat. Selai itu, Sevilla juga merupakan kota pusat sufisme yang ditandai dengan terdapatnta para guru sufi yang terkemuka yang bermukim di sana.
Selama menetap di Sevilla, Arabi sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Spanyol dan Afrika Utara. Kesempatan itu digunakannya untuk menemui para sufi dan sarjana terkemuka. Salah satu kunjungannya yang sangat mengesankan ialah ketika ia berjumpa dengan Ibn Rusyd di Kordova. Setelah lama melakukan kehidupan di negeri Spanyol, lagi dan lagi Ibn Arabi harus dipaksakan pindah karena Situasi religio-politis. Kemudian setelah itu, Ibn Arabi selanjutnya memilih melakukan perjalanan ke Timur setelah ia mengalami penyingkapan pertamanya. Perjalanannya ke bagain Timur merupakan akhir bagi Ibn Arabi untuk menginjakan kaki kembali ke Barat, dari sanalah perjalananya berawal dan tak pernah lagi kembali ke Barat.
Tujuan perjalanan Ibn Arabi selanjutnya ialah Makkah dan di sanalah ia mendapatkan ilham untuk menulis kitab al-Futuhat al-Makkiyyah, pada momen tersebut Ibn Arabi bertemu dengan seorang permpuan yang baginya perempuan tersebut melambangkan keindahan sejati. Perempuan tersebut bernama Nizam, seorang putri dari kalangan keluarga terkenal keturunan Iran. Bagi Ibn Arabi, Nizam ialah gadis muda yang mempunyai kecantikan yang sangat mempesonakan. Perempuan itu telah mengilhami Ibn Arabi untuk menulis sekumpulan puisi yang sangat indah yang berjudul Tarjuman al-Asyuaq.
Dari pertemuan antara Ibn Arabi dan Nizam kita dapat mengambil nilai-nilai etis sebagai penyemangat dalam menulis, jatuh cinta lalu menulislah. Ibn Arabi melukiskan kecantikan seorang perempuan yang bernama Nizam dalam puisi-puisinya yang tertuang dalam Tarjuman al-Asyuaq. Namun satu hal yang perlu kita garis bawahi di sini ialah bahwa kekagumannya pada Nizam bukan karena nafsunya semata, akan tetapi kekagumannya kepada Allah yang telah menciptakan perempuan secantik Nizam.