Sedang Membaca
Selir dalam Islam (2): Harem dalam Catatan Lady Mary Mortley Montagu
Maria Fauzi
Penulis Kolom

Alumni Al Azhar Cairo, CRCS UGM. Tinggal di Jogjakarta

Selir dalam Islam (2): Harem dalam Catatan Lady Mary Mortley Montagu

Whatsapp Image 2020 03 03 At 4.36.00 Pm

Masjid Para Kasim Di Istana Hareem, Istanbul (1)

Bilik-bilik harem ini mengingatkan saya akan kisah seorang istri diplomat Inggris yang menuliskan catatan awal tentang kehidupan perempuan di istana harem. Tahun 1717, Lady Mary Mortley Montagu, menuliskan kisahnya dalam Letters from Turkey tentang perjalanan perempuan-perempuan Turki, khususnya yang ada dalam institusi harem. Kisah yang ditulis Lady Mary jauh berbeda dari apa yang kerap diperbincangkan di dunia Barat. Harem, dalam catatan Lady Mary, bukanlah sebuah institusi dimana sistem perbudakan dan keliaran seksualitas menjadi kelayakan. Ia mencoba untuk membuka tabir atas ketidaklaziman relasi dalam harem.

Selain sebagai seorang aristokrat, Lady Mary Montagu juga seorang penulis, penyair, dan penulis catatan perjalanan ketika ditugaskan pada kesultanan Usmani. Ia dikenal sebagai perempuan Barat, dan juga penulis sekuler pertama yang mengulas tentang kehidupan perempuan Muslim di dunia Timur. Sebagai seorang perempuan dari kelas sosial yang terhormat, Mary Montagu cukup mudah mendapatkan akses untuk bertemu, berbincang dan berhubungan langsung dengan perempuan-perempuan Turki saat itu. Kerapkali dalam catatannya ia memberikan perspektif baru tentang dunia Timur baik dalam hal keagamaan, tradisi, dan isu perempuan.

Sebelumnya, harus dipahami, hubungan Barat dan Timur tepat sebelum jatuhnya Konstantinopel oleh Turki Usmani. Barat menganggap dunia Timur (Turks, Arab, Islam) sebagai ancaman Kristus dan otoritas gereja. Gambaran tentang dunia Timur tak lebih dari bayangan tentang manusia keras, tiran, kejam, barbar, yang menganggap bahwa wanita, dan istri-istri mereka dapat diperlakukan dengan sewenang-wenang.

Baca juga:  Selir dalam Islam (6): Harem dan Modern Iran

Potret itu lambat laun bergeser seiring maraknya kepentingan baru Eropa terhadap perdagangan dunia. Penemuan rute perdagangan baru yang menghubungkan Timur dan Barat abad 18 membuka diskursus baru tentang dunia Timur. Sebagai konsekuensi, interaksi dan komunikasi antar pedagang, pelancong, para duta besar, dan pegawai utusan pemerintahan semakin dekat.

Lady Mary memulai perjalanannya dari London tahun 1716 melalui Vienna, Adrianoppel hingga akhirnya sampai di Konstantinopel. Ia terus mencatat tentang seluk beluk perjalanannya, termasuk deskripsi yang detail perihal perempuan-perempuan dalam harem, dan juga di hampir seluruh hamam di Konstantinopel. Kedatangan Lady Mary bertepatan dengan musim tulip, dimana kesultanan Ottoman sangat terbuka dengan kehadiran serta hubungannya dengan kerajaan-kerajaan Eropa. Kesempatan emas inilah yang membuat Lady Mary mendapatkan keutamaan sehingga mendapatkan akses yang mudah untuk keluar masuk istana harem dan mencatat apa saja yang dilihatnya dibandingkan dengan pengunjung pria asing lainnya saat itu.

Potret perempuan Timur digambarkan dengan sangat berbeda oleh Lady Mary dari kebanyakan catatan lainnya mengenai dunia perempuan Timur. Dalam sebuah catatannya ia bahkan menulis sebagai berikut;

“Upon the whole, I look upon the Turkish women as the only free people in the Empire”.

Lady Mary menafsirkan konsep kebebasan perempuan Timur berangkat dari fantasinya sendiri. Kebebasan perempuan-perempuan di istana harem membuatnya iri, dan tidak sebandingpun dengan kebebasan perempuan di dunia Barat saat itu. Dibalik kain-kain yang menutupi hampir seluruh tubuh perempuan yang ia jumpai, sesungguhnya mereka mendapatkan kebebasan dalam bentuk lain yaitu perihal anonimitas.

Baca juga:  Film Tilik dan Titik Buta Stereotipe

Mereka bebas menyamar untuk menjadi siapa saja. Bahkan kerapkali ia melihat perempuan-perempuan itu bebas berhubungan dengan kekasih-kekasih barunya tanpa diketahui identitasnya. Hijab, dalam penafsiran Lady Mary serupa bentuk penyamaran saja. Penyamaran abadi ini memberikan mereka kebebasan yang justru tidak dimiliki perempuan Barat saat itu.

Tak terkecuali ketika Lady Mary menyambangi hamam-hamam khusus perempuan yang banyak bertebaran di seantero Konstantinopel. Ia melihat ratusan perempuan telanjang dengan berbagai warna kulit bercampur baur, chit-chat, bergosip sembari menikmati bercangkir-cangkir teh dengan sangat bebas. Tanpa ada lelaki satupun di dalam hamam. Mereka bebas berbincang apa saja dan sampai kapan saja. Dari perihal yang sangat vulgar, privat hingga masalah-masalah politik, sosial, budaya dan literatur. Catatan Lady Mary inilah yang kelak menginspirasi seorang pelukis kenamaan Jean Auguste, dalam lukisannya berjudul ‘The Turkish Bath’ (1852-1859) yang sekarang berada di museum Louvre Paris.

“Fine women naked, in different postures, some in conversations, some working, others drinking coffee or sherbets…In short, ‘tis the women’ coffee house, where all the news of the town is told, scandal invented, etc”.

Ruang publik khusus perempuan yang seperti inilah yang tidak ia temukan di belahan dunia Barat manapun saat itu. Lady Mary mengibaratkannya seperti coffee house di London abad 18. Warung kopi di London dianggap sebagai ruang publik khusus laki-laki untuk dapat bersenang-senang, bersantai, dan berbincang tentang apapun tanpa sekat. Seperti halnya hamam yang ia temui di Konstantinopel. Terlebih khusus untuk perempuan. Perempuan Barat saat itu bahkan tak mempunyai ruang-ruang publik khusus perempuan, namun ia justru menemukannya di belahan dunia Timur.

Baca juga:  Kho Ping Hoo, Kebudayaan, dan Kita

Anggapan bahwa perempuan Timur berada dalam dominasi lelaki, mendapatkan perlakuan subversif, tidak bebas, dan merdeka dipersepsikan lain dalam catatan Lady Mary. Ia menuliskan dan mendeskripsikan perempuan Timur saat itu dari pengalaman dan perspektif yang secara umum berbeda dari kebanyakan penulis pria lainnya. Letters from Turkey, akhirnya dapat memberikan kontribusi baru dalam memberikan pandangan lain tentang dunia Timur dari kaca mata dunia Barat saat itu.

***

Saya kembali memandangi dinding-dinding istana harem yang tentunya menyimpan banyak kisah perempuan-perempuan dalam kurun waktu ratusan tahun, hingga kemudian cerita itu lenyap di balik ornamen dan kubah-kubah besar istana. Dan, cerita-cerita itu sekarang kerapkali mengisi bilik-bilik ruangan harem dari mulut para pemandu wisata yang diulang berkali-kali.

Sesekali saya turut mendengarkan kisah-kisah dan sejarah istana harem, hingga tak sadarkan diri sinar matahari perlahan mulai redup dan mengharuskan langkah kaki ini untuk hengkang dari komplek istana Topkapi. Di senja itu, saya kembali dapat menikmati kubah-kubah kecil berwarna biru istana harem dari seberang selat sembari menikmati beberapa kapal-kapal pesiar nan gigantis melintasi kota berjuta wajah, Istanbul.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top