Sedang Membaca
Terkait Pemakzulan Presiden, Apakah Benar Prof. Din Syamsuddin Mengutip Imam al-Marwardi?
Muhammad Machasin
Penulis Kolom

Guru Besar di Universitas Negeri Islam Sunan Kalijaga, Jogjakarta

Terkait Pemakzulan Presiden, Apakah Benar Prof. Din Syamsuddin Mengutip Imam al-Marwardi?

Hari Santri: Bagaimana Hubungan NU dan Muhammadiyah?

Seorang tokoh di negeri ini baru-baru ini dikabarkan menyebutkan tiga syarat pemakzulan pemimpin yang diambilnya dari al-Mawardi:

Syarat pertama adalah “ketiadaan keadilan”.

Pak Din Syamsuddin menuturkan, apabila seorang pemimpin menciptakan ketidakadilan atau menciptakan kesenjangan sosial di masyarakat maka sangat mungkin untuk dimakzulkan.

“Apabila tidak adil di masyarakat, hanya menciptakan satu kelompok lebih kaya dari yang lain, ada kesenjangan sosial ekonomi, sudah dapat makzul,” katanya.

Syarat berikutnya, adalah “ketiadaan ilmu pengetahuan”; ketiadaan ilmu ini merujuk pada kerendahan visi terutama tentang cita-cita hidup bangsa.

Dalam konteks negara modern, menurut Pak Din, visi adalah cita-cita bangsa yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

“Jika tidak diwujudkan oleh pemimpin sudah bisa menjadi syarat makzul,” ucapnya.

Syarat berikutnya adalah “ketiadaan kemampuan” atau kewibawaan pemimpin dalam situasi kritis; kondisi itu kerap terjadi ketika seorang pemimpin tertekan kekuatan dari luar. Ia mengibaratkan kondisi itu seperti suatu negara yang kehilangan kedaulatan akibat kekuatan asing.

“Apabila pemimpin tertekan kekuatan lain, terdikte kekuatan lain, baik keluarga atau orang dekat, itu memenuhi syarat makzul,” ungkapnya (lihat: https://kronologi.id/2020/06/01/3-syarat-pemakzulan-pemimpin-menurut-din-syamsuddin/).

Lalu kubuka al-Aḥkām al-Sulṭānīyah, karya al-Māwardī dan kutemukan:

وَاَلَّذِي يَتَغَيَّرُ بِهِ حَالُهُ فَيَخْرُجُ بِهِ عَنِ الْإِمَامَةِ شَيْئَانِ:
أَحَدُهُمَا: جَرْحٌ فِي عَدَالَتِهِ. وَالثَّانِي: نَقْصٌ فِي بَدَنِهِ.

Artinya: Perubahan keadaan pemimpin yang menyebabkannya tidak layak lagi memimpin ada dua: (1) luka pada keadilannya, (2) kekurangan dalam fisiknya.

Baca juga:  Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi (3): Food Estate dan Peran Pesantren dalam Ketahanan Pangan

Sebelumnya disebutkan bahwa ada sepuluh hal yang menjadi kewajiban khalifah dalam kaitan dengan urusan publik:

1. Menjaga agama,
2. Menerapkan hukum di antara orang-orang yang bertikai,
3. Menjaga keamanan negara (al-baiḍah wal-ḥarīm),
4. Melaksanakan hukuman (al-ḥudūd),
5. Menjaga perbatasan,
6. Memerangi orang yang menentang Islam setelah didakwahi,
7. Menarik royalty dan pajak (al-fai’ wal-ṣadaqāt)
8. Membagi bantuan kepada yang berhak
9. Mengangkat pejabat dan pegawai serta penasehat yang layak dan terpercaya, dan mencukupi gaji mereka sehingga dapat bekerja dengan baik,
10. Melakukan pengawasan dan mengetahui keadaan umat dan tidak mengandalkan orang lain.

Dua hal catatan saya di sini:

Pertama, mengapa al-Mawardi yang menulis bukunya untuk Khilafah Islam dipakai rujukan untuk menimbang kepemimpinan Indonesia yang dibinagun tidak atas dasar satu agama tertentu, melainkan Pancasila?

Kedua, dari mana ketiga hal yang dikutip Pak Din di atas diambil? Kelihatannya bukan dari kitab al-Mawardi yang ini.
Entahlah.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top