Sedang Membaca
Kiai Maimoen Zubair, Sejarah Lisan, dan Riwayat Syair Ya Lal Wathon
Avatar
Penulis Kolom

Peneliti di STAI Al-Anwar Sarang, dan sekarang menjadi ketua Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat di kampus yang sama. Tinggal di Rembang. Saat ini sedang melakukan penelitian tentang jaringan intelektual pesanten Sarang abd ke 20-21.

Kiai Maimoen Zubair, Sejarah Lisan, dan Riwayat Syair Ya Lal Wathon

Kiai Maimoen Zubair di kalangan masyarakat pesantren dikenal sebagai muarrikh (seorang ahli sejarah) di samping tentu ahli tafsir dan ahli fikih yang disegani. Namun di sini penulis hanya akan menyoal tentang kiai Maimoen dalam kaitannya dengan ilmu sejarah.

Beliau dikenal sangat fasih ketika berbicara tentang sejarah Islam di Nusantara. Kiai Maimoen juga dikenal sebagai orang yang sangat paham dan hafal nasab para kiai di berbagai pesantren di Jawa. Di bidang sejarah setidaknya Kiai Maimoen menulis tiga kitab: Tarajim Masyayikh al-Ma’ahid al-Diniyyah bi Sarang al-Qudama’; Risalah Shaghirah Wadha’tuha li al-Ma’had al-Dini bi Sarang; serta Manakib Shahib al-Khaul al-Adhim fi Qaryati Saidan.

Karya pertama mengupas tentang sejarah dan biografi para ulama peletak dasar pesantren Sarang. Karya kedua membahas tentang sejarah ringkas perkembangan Islam di Sarang dan perkembangan pondok pesantren Sarang, sedangkan karya ketiga tentang biografi Sayyid Hamzah as-Syatho seorang pendakwah di daerah Rembang bagian Timur di awal abad ke 20 yang berasal dari Mekkah.

Di samping ketiga karya itu sebetulnya ada beberapa artikel atau kata pengantarnya dalam sebuah buku tentang sejarah. Dalam berbagai ceramahnya Kiai Maimoen juga selalu menyelipkan dan mengaitkan materi mauidhohnya dengan cerita atau peristiwa-peristiwa sejarah.

Materi-materi sejarah yang sering diceritakan Kiai Maimoen menurut hemat penulis bisa dibagi menjadi tiga kategori: pertama berasal dari buku-buku sejarah yang beliau pernah baca. Dalam beberapa tulisannya misalnya beliau merujuk catatan Ibnu Batutah, Marcopolo, Ibnu Khaldun dan beberapa karya sejarawan lainnya. Yang kedua besumber dari tradisi lisan yang beliau terima secara turun-temurun. Termasuk kategori ini adalah kisah-kisah tentang sejarah Nusantaa atau Islam di Nusantara, sejarah Walisongo, sejarah Jawa, serta sejarah kiai-kiai masa lampau di pesanten yang sering beliau ceritakan dalam bebagai ceramahnya.

Baca juga:  Ulama Banjar (172): Drs. H. Ahmad Zamani, M.Ag

Tradisi lisan ini tampaknya diperoleh dari kakek-kakeknya, serta guru-gurunya. Yang ketiga sejarah lisan, besumber dari apa yang pernah direkam, dialami ataupun disaksikannya. Ini terutama terkait dengan sejarah Indonesia, sejarah Islam dan terutama sekali tentang sejarah pesantren di Indonesia abad ke 20. Kiai Maimoen Zubair hidup melewati era di Indonesia, mulai dari era sebelum kemerdekaan, era orde lama, era orde baru dan pasca reformasi. Beliau juga aktif di dunia perpolitikan dengan menjadi anggota DPR mulai dari tingkat kabupaten hingga tingkat nasional. Yang terkait dengan sejarah pesanten atau sejarah Islam lokal Kiai Maimoen Zubair selama puluhan tahun telah mengunjungi berbagai pelosok di wilayah Indonesia untuk menyampaikan ceramahnya. Dari sana beliau tentu mengalami, menerima, merekam seta menyaksikan berbagai peristiwa.

Sejarawan Jan Vansina membedakan antara tradisi lisan dengan sejarah lisan. Ia mendefinisikan tradisi lisan (oral tradition): oral testimony transmitted verbally from one generation to the next one or more “Cerita atau testimoni lisan yang secara oral ditularkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya”. Namun demikian, di masyarakat dalam hal ini tidak termasuk ke dalam tradisi lisan.

Menurut Kuntowijoyo, tradisi lisan sama halnya dokumen dalam masyarakat yang sudah mengenal tulisan, bisa menjadi sumber sejarah yang merekam masa lampau. Dengan demikian tradisi lisan juga menjadi sumber penulisan bagi antropolog maupun sejarawan (Kuntowijoyo, Metodologi Ilmu Sejarah, 2003: 25).

Baca juga:  KH. Afifuddin Muhajir dan Ma’had Aly

Sedangkan sejarah lisan, berbeda dengan tradisi lisan, ia tidak didapatkan, tetapi dicari dengan kesengajaan. Sejarah lisan terkait dengan peristiwa yang dialami, dirasakan, direkam oleh para pelaku maupun saksi sejarah. Sejarah lisan tidak hanya bisa jadi sumber, tapi juga sekaligus metode sejarah. Banyak sekali permasalahan sejarah, bahkan di zaman modern ini yang tidak dapat terekam oleh dokumen-dokumen.

Sebagaimana dikatakan oleh Kuntowijoyo dokumen seingkali hanya jadi saksi dari kejadian-kejadian penting menurut kepentingan pembuat dokumen dan zamannya, tetapi tidak melestarikan kejadian-kejadian individual atau yang unik yang dialami oleh individu atau golongan tertentu. Sejarah lisan juga dapat dengan cermat melukiskan kandungan emosional dari penutur sejarah. Sebagai contoh, bagaimana seorang Kemit di istana masa yang lalu merasakan hidupnya, pekerjaannya, serta pengabdiannya kepada istana tentu tidak dapat diungkap oleh dokumen-dokumen.

Namun tentu saja sejarah lisan juga harus dipilah-pilih secara cemat dan teliti, dan jika pelu dilakukan verifikasi, kritik sumber dan lain sebagainya. Sejarah lisan dalam ilmu sosial (terutama Antropologi) dikenal dengan oral life- history atau life-history. Contoh menarik penelitian yang menggunakan life-history adalah tentang tragedi Talangsari yang ditulis oleh Wahyudi Akmaliah seorang peneliti social di LIPI atau sekarang BRIN, (lihat Akmaliah, 2016).

Kiai Maimoen Zubair, Sejarah Lisan dan Nasionalisme di Pesantren

Kiai Maimoen Zubair dalam beberapa ceramahnya pernah meriwayatkan tentang syair-syair tentang nasionalisme. Di antara syair itu adalah syair yang digubah oleh Kiai Wahab Hasbullah, Ya Lal Wathon. Gerakan pemuda Ansor menerima riwayat syair itu dari kiai Maimoen Zubair dan kemudian dipopulerkan oleh sayap organisasi kepemudaan NU itu. Syair yang kedua adalah gubahan Syaikh Abdus Syakur Swedang (ayah dari Kiai Abul Fadhol), di samping berisi tentang semangat cinta tanah air (nasionalisme) juga mengandung ramalan akan hengkangnya Belanda dan kemudian munculnya penjajah dari bangsa lain (Jepang), syair itu berbunyi

Baca juga:  Wawancara Khusus Prof. Azyumardi Azra dengan Prof. Nurcholis Madjid 37 Silam: Tentang Demokrasi, Asas Tunggal, Pembaharuan dan Sekulerisasi (1)

أَرِّخِ الْيَفَا فِيْ غِشِسَا * صَفَرٍ فَكِلْ بِالْوَاحِدِ

بِقِتَالِهِمْ وَسُيُوْفِهِمْ * وَلَجَجِهِمْ وَتَعَانُدِ

وَفِيْ رَجَبٍ تَرَى عَجَبًا * وَفِيْ الشَّهْرِ الَّذِيْ بَعْدَهْ

وَفِيْ رَمَضَانَ هَمْهَمَةٌ * وَهَدَّةْ بَعْدَهُ هَدَّةْ

وَفِيْ شَوَّالْ يَشُوْلُ الْقَوْمْ * وَيَسْكُنُ فِيْ ذَوِيْ الْقَعْدَةْ

وَفِيْهَا يَخْرُجُ الْهَادِيْ * إِمَامُ الْحَقِّ لَا بَعْدَهْ

Kiai Maimoen Zubair menerima syair itu langsung dari si empunya. Dan menurut beliau syair itu dulu diajarkan dan bahkan dihafalkan oleh para santri di pesantren-pesantren untuk menumbuhkan kecintaan terhadap tanah air. Riwayat yang disampaikan oleh Kiai Maimoen Zubair ini adalah bagian dari sejarah lisan. Dari sana kita bisa mempelajari bagaimana pesantren-pesantren di masa itu mengajarkan perasaan cinta terhadap tanah air (nasionalisme) dan bagaimana para santri menginternalisasi ajaran itu melalui syair-syair yang dihafalkan.

Kiai Maimoen Zubair memang telah tiada, namun kita masih beruntung ceramah-ceramah beliau baik berupa rekaman maupun yang beredar di Youtube maupun di media sosial lainnya, sangat melimpah sekali. Ceramah-ceramah itu seringkali mengandung berbagai tradisi lisan begitu pula sejarah lisan. Jika dipilah-pilah secara cermat tentu  bisa jadi sumber awal yang penting terumata dalam kaitannya dengan penulisan sejarah pesantren.

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top