Dosen di Ma'had Aly KH Hasyim Asy'ari, Tebuireng, Jombang. Selain menulis di jurnal dan buku, Anang aktif menulis esai-esai populer di berbagai media. Buku yang sudah terbit antara lain, Karomah Sang Wali; Biografi KH. M. Adlan Aly Jombang (Pustaka Tebuireng), Aswaja dan KeNUan Pesantren Tebuireng (team) (Pustaka Tebuireng, 2020), dan مختصر جامعة المقاصد للعالمة الشيخ محمد هاشم أشعري (Turats Tebuireng, Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Jombang). Aktif di pusat kajian pemikiran KH. M. Hasyim Asy'ari.

Beginilah Hadratussyaikh Mencintai Al-Qur’an (1): Falsafah Cinta al-Qur’an

Beginilah Hadratussyaikh Mencintai Al-Qur'an

Cinta al-Qur’an mungkin telah menjadi hal yang sudah maklum bagi seorang muslim. Bahkan semua orang yang beriman akan mengatakan ia pasti mencintai al-Qur’an tanpa perlu mengetahui alasan dan bagaimana cara untuk mengekspresikan kecintaannya. Karena sebab inilah seringkali kita menjumpai banyak orang di kalangan umat muslim dengan “cinta semu” mereka terhadap al-Qur’an.

Betapa kecintaan mereka hanya sebatas terujar tanpa tahu alasan dan cara mencintai. Ungkapan mereka mungkin hanya sebatas pengakuan tanpa bukti. Oleh karenanya, Hadratussyaikh memberikan panduan terkait mengapa dan bagaimana hendaknya kita mencintai al-Qur’an. Hingga kita dapat mengukur sendiri seberapa besar cinta kita kepada al-Qur’an.

Secara teoritik, Hadratussyaikh mempunyai pandangan epistemologis bahwa cinta al-Qur’an adalah salah satu tanda kecintaan seorang muslim kepada Nabi Muhammad Saw. Pandangan epistemologis ini tertulis dalam kitabnya yang berjudul al-Nur al-Mubin. Hadratussyaikh menyampaikan beberapa alasan mengapa seorang muslim perlu untuk mencintai al-Qur’an.

ومن علامات محبته عليه الصلاة والسلام أن يحب القرآن الذي أتى به وهدى به واهتدى وتخلق به حتى قالت عائشة رضي الله عنها: كان خلقه القرآن

“Di antara tanda cinta kepada Nabi Saw. adalah mencintai al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi Saw, yang dipakai oleh Nabi Saw untuk memberi petunjuk, dan mengambil petunjuk dari al-Qur’an, serta berakhlak dengan al-Qur’an. Sayyidah A’isyah Ra berkata :” Akhlak Nabi itu adalah al-Qur’an”.

Dikarenakan Nabi Muhammad Saw diutus kepada segenap umat manusia dengan dibekali al-Qur’an sebagai pedoman hidup (an yuhibba al-Qur’an alladzi ataa bihi). Melalui al-Qur’an pula Nabi Muhammad menyampaikan petunjuk, dan dengan lantaran al-Qur’an pula seseorang mendapatkan petunjuk (wa hadaa bihi wahtadaa). Selain itu al-Qur’an adalah manifestasi dari budi luhur dan akhlak mulia yang menghiasi diri Nabi Muhammad Saw (wa takhallaqa bihi). Pada poin terakhir ini, Hadratussyaikh mengutip perkataan sayyidah Aisyah Ra bahwa akhlak Nabi Muhammad adalah al-Qur’an (Kaana Khuluquhu al-Qur’an). Karenanya maka dapat dipahami bahwa Nabi Muhammad Saw adalah penyambung firman Allah kepada segenap makhluknya.

Baca juga:  Filsuf Suhrawardi dan Teori Iluminasi

Al-Qur’an yang turun sebagai sebuah kalam yang lantas ditulis dalam mushaf. Keterbatasan sebuah teks yang hanya memuat pesan dan gagasan tanpa disertai ekspresi dan implementasi praktis, menjadi hidup. Teks yang “mati” itu dapat terucap melalui lisan secara berantai. Pesan dan gagasan dalam al-Qur’an dapat didemonstrasikan secara nyata dalam sebuah tindakan manusia dalam kesehariannya, sehingga dengan mudah dapat dipahami oleh kalangan awam dari golongan sahabat yang tidak mampu mencerna pesan al-Qur’an. Untuk itu Hadratussyaikh juga menukil Hadis riwayat Imam Abu Nu’aim bahwa, Nabi Saw bersabda :

اَلْقُرْآنُ صَعْـبٌ مُسْتَصْعَـبٌ عَلَى مَنْ كَرِهَهُ،

Al Qur’an itu sulit dan dipandang sulit bagi orang yang tidak menyukainya.

Dalam kitab Nasim al-Riyadl, syarah dari kitab al-Syifa karangan Qadli ‘Iyadl dijelaskan bahwa maksud dari orang yang tidak menyukai al-Qur’an adalah orang yang enggan menghafal dan mentadabburi al-Qur’an. Maka telah jelas, bahwa dari akhlak Nabi Muhammad Saw yang berfungsi sebagai “alat peraga” al-Qur’an, akan memudahkan untuk sampainya makna al-Qur’an kepada para sahabat yang tidak mempunyai perangkat untuk mentadabburi al-Qur’an.

Selain itu, beberapa ayat yang mempunyai setting sosial (asbab al-nuzul) dijelaskan oleh Nabi Muhammad. Sehingga keterbatasan teks al-Qur’an dalam mushaf tidak lantas dibiarkan “mati”.

Baca juga:  Ulama Banjar (131): Prof. Drs. M Asywadie Syukur, Lc

Dengan demikian, sesungguhnya Nabi Muhammad tidak hanya mengajarkan al-Qur’an sebagai sebuah teori, namun juga diteladankan beliau sebagai sebuah akhlak. Akhlak di sini tentu dapat kita pahami bersama sebagai sebuah sunnah, sebuah tindakan luhur yang ditradisikan oleh Nabi Muhammad Saw secara nyata.

Untuk memangkas jarak antara perasaan dan ekspresi, atau teori dan akhlak dan tindakan, maka setelah memaparkan alasan mengapa seorang muslim haruslah mencintai al-Qur’an, Hadratussyaikh lantas menjelaskan beberapa tuntunan dalam mengekspresikan kecintaan kita kepada Nabi Muhammad Saw melalui al-Qur’an, Hadratussyaikh berkata:

وحبه للقرآن تلاوته والعمل به وتفهمه، وأن يحب سنته ويقف عند حدودها،

Dan kecintaan seorang muslim kepada al-Qur’an adalah dengan membacanya, mengamalkannya, dan berusaha untuk memahaminya, mencintai sunnah Nabi Saw dan berhenti pada batas-batas sunnah beliau Saw

dengan cara gemar membacanya (تلاوته), mengamalkan isi kandungannya (العمل به), mengkaji dan mendalami dogma agama dalam al-Qur’an (تفهمه), mencintai sunnah dan tradisi kenabian (وأن يحب سنته), serta berdiri atau menetapi batasan-batasan etika dan hukum yang telah dijelaskan dalam sunnahnya (ويقف عند حدودها).

Paparan pandangan epistemologis Hadratussyaikh yang berusaha menghilangkan kesemuan dalam mencintai al-Qur’an melalui tuntunan dalam mengekspresikan kecintaan kepada al-Qur’an secara praktis ini dapat dilihat dari kutipan Hadratussyaikh yang diambil dari perkataan Sahal bin Abdullah al-Tustari yang dinukil dari kitab al-Syifa bi Ta’rif Huquqi al-Musthafa karya Qadli ‘Iyad, salah satu referensi favorit Hadratussyaikh.

Baca juga:  Kiai Wahab Chasbullah dan Julukan En Boeiend Spreker Bekende

قال سهل بن عبد الله التستري رحمه الله تعالى: علامة حب الله حب القرآن، وعلامة حب القرآن حب النبي صلى الله عليه وسلم، وعلامة حب النبي صلى الله عليه وسلم حب السنة، وعلامة حب السنة حب الآخرة، وعلامة حب الآخرة بغض الدنيا، وعلامة بغض الدنيا أن لا يدخر منها إلا زادا وبلغة إلى الدار الآخرة.

Sahal bin Abdullah Al-Tustari, rahimahullah, berkata :

Tanda cinta kepada Allah adalah cinta kepada al-Qur’an, tanda cinta kepada al-Qur’an adalah cinta kepada Nabi Saw, tanda cinta kepada Nabi Saw adalah cinta kepada sunnah Nabi Saw, tanda cinta kepada sunnah Nabi Saw adalah cinta kepada akhirat, tanda cinta kepada akhirat adalah membenci dunia, dan tanda benci dunia adalah jika seseorang tidaklah menyimpan dunia kecuali hanya bekal untuk menghantarkannya kepada rumah akhirat”.

Dari pendapat al-Tustari di atas, secara mantiq dapat dirumuskan sebuah poin (natijah) bahwa jika mencintai Allah pada ditempuh dengan menghindari nafsu duniawi. Namun jika kita ambil hasil dari spirit cinta al-Qur’an, maka poin yang bisa disimpulkan bahwa cinta al-Qur’an ditempuh dengan mencintai tradisi (sunnah) dari tindakan Nabi Muhammad Saw. Inilah alasan mengapa Hadratussyaikh menegaskan dalam al-Nur al-Mubin bahwa mencintai al-Qur’an adalah salah satu bukti kecintaan kita kepada Nabi Muhammad Saw.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top