Sedang Membaca
122 Tahun Tebuireng dan Gus Dur (5): Membangun Relasi Antar Umat Beragama

Dosen di Ma'had Aly KH Hasyim Asy'ari, Tebuireng, Jombang. Selain menulis di jurnal dan buku, Anang aktif menulis esai-esai populer di berbagai media. Buku yang sudah terbit antara lain, Karomah Sang Wali; Biografi KH. M. Adlan Aly Jombang (Pustaka Tebuireng), Aswaja dan KeNUan Pesantren Tebuireng (team) (Pustaka Tebuireng, 2020), dan مختصر جامعة المقاصد للعالمة الشيخ محمد هاشم أشعري (Turats Tebuireng, Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Jombang). Aktif di pusat kajian pemikiran KH. M. Hasyim Asy'ari.

122 Tahun Tebuireng dan Gus Dur (5): Membangun Relasi Antar Umat Beragama

Whatsapp Image 2021 08 10 At 23.47.25

Sebelum Gus Miftah mengguncang jagad dunia maya, jauh sebelum itu Gus Dur juga pernah “berinteraksi” dengan umat kristiani. Bahkan bisa dibilang, seorang santri yang pertama kali ceramah di hadapan umat kristiani adalah Gus Dur. Begitu Pak Muhsin membuka obrolan.

Tahun 1976 Gus Dur turut diundang dalam acara seminar yang diadakan oleh umat kristiani di Manado. Pak Muhsin yang diminta Gus Dur untuk mengetikkan makalah yang telah dikonsep sebelumnya. Di sini dapat kita simpulkan bahwa sejak muda, Gus Dur telah benar-benar menjadi manusia pluralis yang mampu merangkul semua golongan.

Selain itu, Gus Dur juga membuka Kerjasama antara Pesantren Tebuireng dengan Institut Pastoral Indonesia di Malang. sebuah lembaga pendidikan milik katolik yang mempunyai konsentrasi di bidang teologi dalam upaya mengkader seorang pastur atau seorang ahli di bidang pendidikan katolik. Lembaga pendidikan pastur ini dipimpin oleh Prof. Dr. Paul Janssen, atau yang akrab dipanggil Romo Janssen.

Kedua Lembaga pendidikan itu sepakat bekerjasama di bidang pendidikan dan ekonomi. Hanya saja pemikiran yang dianggap “meloncat pagar” oleh para Kiai Sepuh itu tidak sepenuhnya diterima oleh orang-orang Tebuireng. Jangankan saat itu, mungkin jika wacana kerjasama itu dilontarkan sekarang (tahun 2021) pasti banyak dari kalangan pesantren yang juga akan sulit untuk menerima pendapat yang “tidak populer” dari Gus Dur itu.

Padahal dalam pandangan Gus Dur, Islam tidak akan dapat meningkat tanpa melakukan kerjasama dengan kelompok non muslim, terutama dalam masalah ekonomi, budaya, dan politik. Walaupun bagaimana bentuk Kerjasama yang dibangun, Islam pasti akan menang, karena mereka lah yang mayoritas.

Baca juga:  Gus Dur: Bapak Sosialisme dari Pesantren Abad ke-21 (1)

Sebagai kelompok mayoritas, maka Islamlah yang justru harus lebih aktif, menjalin hubungan dengan mereka. Bukan sebaliknya, jika umat Islam menutup diri dari kalangan luar, atau bahkan memusuhi kelompok non muslim, maka Islam justru akan semakin kecil. Pemikiran ini memang tidak mendapat dukungan dari sebagian kiai sepuh.

Sekilas, pola pikir Gus Dur ini sama seperti teori Hagemoni milik Antonio Gramsci, yang menyimpulkan bahwa hagemoni dapat difungsikan sebagai sarana kultural maupun ideologis dari kelompok-kelompok yang dominan dalam masyarakat. Untuk melestarikan dominasinya dapat dilakukan dengan cara mengamankan “persetujuan spontan” atau pengakuan dari kelompok-kelompok subordinat.

Teori dalam ilmu sosiologi ini jelas bukanlah “asupan” para kiai sepuh, atau bahkan orang pesantren pada umumnya. Gus Dur dengan segudang sumber bacaannya yang lintas (trans) disipliner mampu berpikir secara empirik yang terkadang dianggap nyeleneh bagi orang pesantren.

Kenyelenehan Gus Dur soal membangun relasi antar agama ini dapat kita lihat saat Gus Dur masih menjadi Sekretaris Umum Pesantren Tebuireng. Gus Dur pernah dimarahi oleh KH. Syansuri Badawi, salah seorang kiai sepuh, murid Hadratussyaikh. Alasannya, Gus Dur mengundang para pastor dari Malang untuk keliling melihat-lihat Pesantren Tebuireng. Usai mengantar teman-temannya itu, Gus Dur dipanggil Kiai Syansuri yang memang terkenal saklek dalam pandangan keagamaannya.

Dengan bahasa kromo, beliau meminta klarifikasi: “Gus…”, “Dawuh Kiai..!, jawab takzim Gus Dur,

“Wonten nopo sampean ngundangi tiyang-tiyang niku?”,

“lah wonten nopo Yai?” Gus Dur menjawab heran,

“Lah kan nanti rahasia kita bisa diketahui orang-orang itu?”,

“Yai, dari jalan depan saja, rahasia kita sudah terlihat kok, sarung berantakan, kaos ditaruh sembarangan, rahasianya kan sudah kelihatan…”.

Baca juga:  Belajar dari Almarhumah Bu Nyai Sus, Sosok Ibu Santri Kaliopak yang Wafat di Tanah Suci Berkalung Bunga

“Bukan begitu, akidahnya itu loh..!”

“Bukannya akidah kita itu harus ditularkan agar orang lain bisa meniru, kan begitu Kiai?”… jawaban Gus Dur yang jenaka itu tak mampu meyakinkan Kiai Kharismatik ini.

“Wes repot, wong kok angel kandanane…” jadi kadang kiai-kiai sepuh itu agak putus asa dengan saya.. hehe, Ucap Gus Dur di hadapan para santri Pondok Pesantren al-Hikmah Tulungagung dalam Haflah Tasyakuran Akhir Sanah 12 September 2004 silam.

Buah pemikiran Gus Dur tentang membangun relasi antar umat beragama ini mulai menemukan momentumnya ketika Ketua Umum PBNU 1984 -1999 ini menetap di Jakarta. Gus Dur memiliki akses yang leluasa untuk merekatkan bangsa dengan cara membangun toleransi antar umat beragama. KH. Said Aqil Siraj bahkan menilai bahwa Gus Dur bukan saja milik NU tapi juga milik semua golongan. Bangasa Indonesia bahkan umat manusia harusnya berbangga dengan Gus Dur. di mata Kang Said, Gus Dur sejajar dengan Mahatma Gandhi, Martin Luther, dengan pejuang-pejuang kemanusiaan lainnya.

Tebuireng berubah menjadi kian inklusif terhadap umat agama lain tatkala Gus Sholah menjadi pengasuh. Ada beberapa faktor yang menjadi latarbelakangnya. Selain karena sosok Gus Sholah yang juga seide sepemikiran dengan Gus Dur, faktor lain adalah karena Gus Dur dimakamkan di Tebuireng.

Maka para teman dan kolega Gus Dur dari lintas agama yang ingin berziarah, tentu berkunjung ke Pesantren Tebuireng. Hal ini menjadi pemandangan yang “biasa” di mata para santri, karena saking seringnya menjumpai para penziarah yang berkunjung ke makam Gus Dur dengan cara “tahlinan” menurut agama masing-masing.

Baca juga:  Mbah Rusmani, Santri Pendiri NU dari Wonogiri, Berpulang

Fakta ini secara tidak langsung membuat kelompok lintas agama ingin belajar mengenai pesantren. Misalnya di bulan Oktober 2017 lalu, sebanyak 160 siswa dari SMP Katolik Kanisius Jakarta, singgah ke pesantren Tebuireng, lalu pada 9 Agustus 2017, sebanyak dua belas Pastor Manca Negara berkunjung ke Pesantren Tebuireng. Kunjungan tersebut merupakan rangkaian acara pertemuan rutin pastor yang tergabung dalam Jesuits Among Muslims (JAM) yang tahun 2017 lalu digelar di Indonesia.

Delegasi berjumlah 12 orang pastor itu berasal dari Jerman, Perancis, Nigeria, Turki, India, Spanyol dan Roma. Rombongan yang dipimpin oleh Romo Franz Magnis-Suseno ini juga menyempatkan diri untuk berziarah ke makam Gus Dur, serta berdiskusi dengan para pengurus Pesantren Tebuireng tentang Islam dan pesantren. Bahkan pernah pula calon pastor se-Asia Tenggara pernah mondok 15 hari di Tebuireng.

Begitu pula di tahun 2019, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS) saat menjadi tuan rumah kegiatan Intercultural Student Camp Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK) 2019, membawa  101 mahasiswa dari 21 kampus yang tergabung dalam APTIK juga menyempatkan untuk kunjungan ke Pesantren Tebuireng, sebagai bentuk toleransi umat beragama dan memperkuat bhinneka tunggal ika.

Relasi antar agama ini diharapkan dapat menjadi kesan yang baik, sehingga stigma miring tentang Islam, dan pondok pesantren bisa ditepis. Mungkin para santri Tebuireng yang saat itu berkesempatan melihat atau bahkan berdialog dengan kelompok antar umat beragama ini belum tahu bahwa Gus Dur di tahun 1975/1976 telah memulainya di Pesantren Tebuireng.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top