Logika pada dasarnya merupakan hal fundamental mendahului estetik dan etika. Logika secara umum identik dengan alur berpikir, runtutan dalam memahami sesuatu ataupun cara dalam berpikir. Pada ranah kesusastraan atau karya sastra beberapa karya acap kali memainkan nalar berpikir (baca: logika) guna menjadi kreasi awal sebuah karya.
Sebut saja beberapa Novel Jostein Gaarder, cerpen karangan Putu Wijaya, atau puisi-puisi Afrizal Malna. Beberapa karya sastra yang mengurus logika dikatakan pula bergaya abstrak, artinya butuh pemahaman lebih dalam menginterpretasinya. Tidak cukup hanya sekali teguk, sekali duduk, dan sekali baca. Butuh pembacaan secara cermat, pemahaman mendalam akan sebuah karya.
Bahasa Indonesia, mengenal yang namanya logika bahasa. Bahasa perlu logis, atau dengan kata lain berbahasa dengan memakai logika. Patokan dari logika bahasa adalah nalar berpikir, sejauh mana kemasukakalan sebuah kalimat, atau paragraf.
Sastra lain lagi, terkhusus puisi sesuatu yang tidak logis terkadang bisa jadi sangat logis. Sebaliknya sesuatu yang sangat logis bisa tidak logis sama sekali, dengan pengolahan diksi, majas, atau permainan kata dari penyairnya. Setidaknya itu menjadi pintu masuk yang perlu dimiliki saat berusaha memahami kumpulan puisi karya Tri Syafaan ini.
Keseluruhan puisi ini saya ibaratkan seperti fragmen film. Saya menduga puisi itu membentuk semacam lembaran film yang diputar menjadi realitas puisi. Ada sekitar 61, sub penamaan. Satu kesatuan puisi utuh, yang jika dibaca sekali akan terbaca seperti patahan.
‘Untuk Perempuan yang Menghapus Suara di Muka Bumi,’ ditulis dengan cukup serius oleh Tri Syafaan. Proses panjang dengan penuh kehati-hatian. Jika dikorelasikan dengan seorang penyair, barangkali ilham puisi panjang ini datang almarhum Sapardi, dalam buku puisinya berjudul Perihal Gendis (Gramedia, 2018).
Seperti halnya Gendis yang secara utuh membahas satu sosok yaitu seorang anak kecil berusia 12 tahun ‘Gendis’ dalam rumah 15 puisi panjang. Tri Syafaan memilih untuk merangkum rekaman peristiwa dalam satu puisi, dengan 61 sub-nya.
Kesamaan tentu bukan dari segi puisi secara konkrit, kesamaan hanya pada asumsi saya secara personal. Bahwa satu puisi panjang, untuk satu buku dengan aku lirik perempuan. Tetapi, Tri Syafaan justru dengan cerdasnya meluaskan aku lirik pada banyak hal.
Saya menduga ini justru bukan hanya dimaksudkan sebagai sebuah puisi. Lebih dari itu, ini dimaksudkan sebagai catatan penting, atau peristiwa yang diinginkan penulis ada dalam memori kenangannya.
Buku yang lahir tahun juni 2021 didedikasikan penulisnya untuk merayakan 10 tahun belajar menulis. Semacam euforia dengan bumbu logika yang amat padat. Tri Syafaan, mensinyalirkan ide pada kompleksitas puisi. Logika yang dipadatkan dalam satu kalimat, permainan bunyi menghantarkan pemahaman sulit, dugaan yang bisa jadi bersifat spekulatif bila puisi ini dibaca sekali
Jauhnya kepekaan penulis itu misalnya bisa terlihat pada sub-puisi ke 17: ada petani tebu di Bululawang/ ia menanam pada/ tapi yang tumbuh beri. Ini menjadi pertanyaan kritis sekaligus sulit dicerna secara makna. Bululawang memang salah satu kawasan di kabupaten Malang yang banyak menghasilkan padi. Lalu mengapa kemudian yang tumbuh justru beri. Tri Syafaan (Aan) dalam hal ini memasukkan sebuah ketidakmungkinan atas respon yang dilihat dari lingkungan. Bisa dikatakan beri ini menjadi simbol dari ketidakbergunaan tanaman padi yang ditanam petani Bululawang, itu hanya interpretasi luaran semata.
Senyampang puisi gubahan Aan itu mirip dengan salah satu permainan bunyi di kumpulan puisi Perihal Gendis. di rumah sendirian: ayahnya pamit pergi ke selatan/ibunya bilang menyusul ke utara. Kesamaan hanya terlihat dari segi permainan bunyi, bukan pada ide utuh puisi pak Sapardi. Sastra telah mengakui keberadaan karya saat ini memang tidak terlepas dari karya terdahulu, dan itu sah-sah saja. Aan tidak masuk pada ranah plagiat, atau copy-paste ide, sebab ini hanya berusaha mengkreasikan idenya sendiri dengan landasan dari pak Sapardi.
Buku puisi ini, bagi saya tetap mengandung originalitas ide yang baik. Perjalanan hidup penyairnya yang barangkali cukup rumit, telah sampai pada saya sebagai pembacanya. Aan berhasil membuat pembaca terpukau untuk larut dalam rumitnya isi kepala yang dimilikinya.
Rangkaian ketidaklogisan yang terdapat dalam bagian bagian puisi, tidak menuntut untuk di logisasi. Jawaban ketidaklogisan lalu datang dari aku lirik, dengan berbicara pada keakuannya sebagai penyair yang berada di luar puisi. Ada seorang penyair yang bertanya/ kepada seorang perempuan: apakah ini sesuatu yang tidak logis/ atau aku yang tidak bisa membaca pikiranmu?
Puisi yang sengaja ditulis secara tidak logis, karena memang puisi tidak meminta untuk di logisasi. Bahkan puisi bisa saja sangat jauh dari realitas namun sebenarnya begitu dengan dengan realitas itu sendiri. Itulah puisi dengan padatnya kata selalu ada makna tersembunyi. Seperti pemikiran, atau imajinasi, atau isi otak kita puisi Aan berserakan, menerawang jauh pada lika-liku kehidupan.
Judul Buku: Untuk Perempuan yang Menghapus Suara di Muka Bumi
Penulis: Tri Syafaan
Penerbit: Kali Pustaka
Tahun Terbit: 2021
Tebal; 90 Halaman (12 x 18 cm)
ISBN: 978-623-3839-22-9