Dalam tradisi Yahudi-Nashrani ada keyakinan bahwa putra Nabi Ibrahim yang dijadikan korban adalah Nabi Ishaq. Sementara dalam Islam adalah Nabi Ismail. Sebagai muslim, kita sepenuhnya yakin pada yang disebut kedua. Pertanyaannya, bagaimana bisa terjadi dua pendapat?
Ada kompetisi hebat di antara tiga agama Samawi tersebut dalam memperebutkan simbol-simbol Tuhan. Meskipun tiga agama ini berakar pada tradisi moneteisme Ibrahim, namun ketiganya dipeluk dan ditafsirkan oleh para pengikut dengan warisan peradaban yang berbeda.
Judeo-Kristen berkembang dan tumbuh dalam peradaban Yunani-Romawi dengan seluruh kekayaan filsafat yang membentuknya. Sementara Islam berkembang ke wilayah Asia-Afrika-Eropa Timur. Pernah masuk ke Spanyol dan nyaris ke Prancis tapi terhadang.
Di Spanyol Islam sempat bersentuhan dengan filsafat dan akhirnya lenyap terdepak ke Timur. Apa dampak ikutan dari pola sejarah semacam itu?
Dampaknya adalah cara agama ditafsirkan dan bekerja memengaruhi laju peradaban.
Tapi sesungguhnya, persaingan Barat vs Timur terjadi sudah sejak zaman “kuno jauh”, yakni, persaingan antara Athena vs Yerusalem.
Athena di Yunani melahirkan banyak filosof. Sementara Yerusalem di Palestina melahirkan para Nabi. Yang disebut pertama sepenuhnya akal dan yang disebut kedua didominasi Kitab Suci atau wahyu. Ketika Judeo-Kristen berkembang di Barat (Yunani-Romawi), penafsiran Kitab Suci dilakukan secara hibrida.
Menurut Ernest Renan, sistem hukumnya mengikuti romawi dan sistem teologinya sepenuhnya Yunani. Sementara Islam adalah garis kontinum dari Yahudi dan Kristen.
Sampai di sini, ada pertanyaan mengemuka: apakah Islam adalah penerus Ibrahim versi baru?
Seorang tokoh muslim pernah menjelaskan bahwa jika Yahudi adalah versi 2.1 dan Kristen versi 2.2, maka Islam adalah kelanjutan agama Ibrahim versi terbaru yakni 2. 3. Islam adalah penyempurna dan penutup dua agama sebelumnya.
Penjelasan sang tokoh itu tampak masuk akal. Tapi ada kelemahan, misalnya, dengan munculnya pertanyaan: jika ada versi 2.3 maka akan muncul versi 2.4, versi 2.5, dan seterusnya. Bukankah hal itu sangat dimungkinkan?
Saya kira versi-versi baru terjadi dalam bentuk pemikiran, tafsiran, dan pemahaman. Bukan sama sekali baru. Kita menyaksikan saat ini betapa banyak pikiran-pikiran besar di berbagai bidang melalui riset-riset.
Dalam segi-segi tertentu, telah menguak misteri dan membongkar mitos-mitos. Perpaduan antara sains dan agama di beberapa aspek bisa terjadi tapi pada sebagian besar lainnya saling bertentangan. Kompetisi saat ini terjadi bukan hanya dengan sesama agama samawi, tetapi sudah agama versus sains. Rasionalitas telah memenangkan diskursus peradaban modern dan agama-agama besar dunia sedang “kepayahan” mempertahankannya.
Sains telah menunjukkan keunggulannya dengan berbagai temuan ilmiah yang mencengangkan. Sementara agama-agama sedang bertikai satu sama lain; mempertontonkan “konflik-konflik tanpa ujung” dan tidak menampilkan keteladanan. Inilah tantangan besar umat beragama, tidak hanya Islam. Apakah sains harus dibiarkan berjalan sendiri tanpa agama? Akan lebih berbahaya.
Tanpa nilai-nilai ketuhanan, sains hanya akan menghancurkan dan menjadi alat untuk menguasai yang lemah. Jika orang-orang beragama hanya sibuk dengan ritual-ritualnya dan lupa sains, maka umat beragama hanya menjadi obyek pasar tanpa jaminan keselamatan.
Mengamati situasi dunia saat ini, semua agama harus bersatu menyusun langkah bersama untuk menjaga perdamaian dunia. Mengabaikan perbedaan-perbedaan. Tidak ada perdamaian dunia tanpa dialog. Dan tidak ada dialog dapat terjadi tanpa dialog antar-agama. Ini ide lama, menjadi klasik, tapi belum dianggap urgen oleh kelompok-kelompok agama. Mereka masih mengepalkan tangan dengan mengutamakan kekerasan atas nama Tuhan.
Ibadah haji mestinya menyadarkan ini, karena haji pada dasarnya napak tilas ajaran Nabi Ibrahim. Ajaran Nabi Ibrahim dalam ibadah haji yang terpenting menurut saya adalah ide tentang persamaan, persaudaraan, pengorbanan, kerendahhatian, komitmen, kejujuran, harmoni antara Allah-manusia-alam, dan perdamaian dunia. Semoga nilai-nilai itu dapat menginspirasi semangat perdamaian. (aa)