Romo KH. Muhammad Anwar Manshur, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, memiliki keakraban yang begitu erat dengan sebatang pena. Di setiap kesempatan, sebatang pena tak pernah luput berada di saku baju yang beliau kenakan.
Pena adalah sebuah perantara untuk mengabadikan ilmu dan pelajaran. Dalam kitab tata krama belajar dan mengajar yang sangat masyhur di kalangan pondok pesantren, yakni Ta’limul Muta’allim, Imam az-Zarnuji menekankan begitu pentingnya bagi para pencari ilmu untuk selalu membawa pena agar tidak pernah ketinggalan mencatat ilmu dan pelajaran yang didengar.
Imam az-Zarnuji berkata:
من حفظ فر ومن كتب شيئا قر
“Barangsiapa yang menghafal, maka hafalan bisa hilang. Dan barangsiapa yang mencatat, maka catatan akan abadi.”
Dalam sebuah syairnya, Imam Syafi’i berkata:
العلم صيد و الكتابة قيده#قيد صيودك بالحبال الواثقة
فمن الحماقة أن تصيد غزالة#وتتركها بين الخلائق طالقة
“Ilmu adalah hewan buruan dan tulisan adalah tali pengikatnya. Maka ikatlah hewan buruanmu dengan tali yg kuat. Sungguh bodoh bila kau berburu kijang, setelah berhasil kau tangkap malah kau biarkan saja tanpa diikat.”
Bila seseorang tidak pernah meninggalkan pena agar selalu siap mencatat, sedia mengikat ilmu dan pelajaran, maka ia termasuk golongan ahli istifadah (ahli mengambil pelajaran). Sebuah syair di dalam kitab ta’limul muta’allim berbunyi:
وكن مستفيدا كل يوم زيادة#من العلم واسبح في بحور الفوائد
“Jadilah orang yang setiap hari mengambil faidah sebagai tambahan ilmu pengetahuan! Dan selamilah lautan faidah!”
Ahli istifadah adalah orang-orang yang mampu memanfaatkan waktu yang sedikit untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya ilmu pengetahuan. Mereka inilah penerus kelestarian ilmu pengetahuan. Sebab banyak sekali guru yang hebat dalam ilmu pengetahuan dan kebaikan, tetapi tidak dilestarikan oleh murid-muridnya.
Saya memiliki pengalaman terkait pena, Ta’limul Muta’allim, dan Romo Yai Anwar. Suatu ketika, saya dan kakak saya pernah sowan kepada Romo Yai Anwar untuk silaturrahim dan tentunya minta didoakan. Tanpa kami duga, pada kesempatan itu beliau hendak mengijazahkan doa untuk kami. Saat beliau mendikte, kami berdua kelabakan karena sama-sama lupa membawa pena. Akhirnya beliau menegur sambil sedikit tertawa karena melihat kebingungan kami berdua, “Bukankah sudah diberi tahu oleh Ta’limul Muta’allim untuk selalu membawa pena?”
Ta’limul Muta’allim sepertinya begitu diistimewakan oleh Romo Yai Anwar. Buktinya, kitab yang tergolong tipis ini selalu beliau bacakan kepada para santri meskipun sudah khatam berulang kali. Beliau aktif mengaji kitab Ta’limul Muta’allim setiap ba’da Shubuh di hari aktif pesantren. Jika sudah khatam, diulang kembali dari sebermula. Sedangkan saat bulan Ramadhan, kitab ini beliau khatamkan tidak lebih dari dua puluh hari.
Di dalam proses mencari ilmu, terdapat jalan-jalan yang harus ditempuh oleh para pencari ilmu. Pada pengantar kitab Ta’limul Muta’allim, Imam az-Zarnuji mengungkapkan bahwa banyak para pencari ilmu yang telah bersungguh-sungguh tetapi gagal untuk mendapat manfaat dan buah dari ilmu, yakni amal dan syi’ar. Alasan kegagalan tersebut adalah karena para pencari ilmu tidak menempuh jalan-jalan mencari ilmu yang benar. Padahal salah jalan dapat menyebabkan tersesat. Dan kitab Ta’limul Muta’allim telah memaparkan jalan-jalan tersebut. Meski sudah berusia sepuh, kitab ini masih sangat relevan untuk dipraktekkan saat ini.
Kedisiplinan merupakan salah satu pembahasan di dalam kitab Ta’limul Muta’allim. Soal mengamalkannya, Romo Yai Anwar tidak perlu diragukan lagi. Menurut banyak sumber, ketika menghadiri acara atau rapat, beliau biasa hadir lebih cepat daripada jadwal yang tertera di undangan.
Romo Yai Anwar memang betul-betul representasi kitab Ta’limul Muta’allim di kehidupan nyata. Beliau adalah Ta’limul Muta’allim berjalan. (RM)