Sejarah kepemimpinan umat Islam pasca wafatnya Rasulullah, meninggalkan jejak konflik berkepanjangan dalamperadaban umat Muslim. Konflik para pemimpin Islam terus terulang dan menjadi perdebatan internal akibat perebutan tahta kekuasaan. Sejak dinasti Umayyah (661-750 M) hingga Abbasiyah (747-842 M) berdiri, banyak para pemimpin Islam (khalifah) selalu bersikap otoritatif demi kepentingan pribadi ketimbangan kesejahteraan umat. Bertahun-tahun lamanya peradaban dinasti Islam itu dibangun dengan sistem pemerintahan monarki (turun-temurun). Sistem pemerintahan monarki ini sebenarnya tidak sejalan dengan apa yang diajarkan Rasulullah tatkala berdakwah politik dan Islam.
Pada masa Rasulullah, pemerintahan Islam dibangun dengan sistem musyawarah dan demokrasi bersama para Sahabat (Khulafaur Rasyidin). Penentuan penerus pemimpin Islam dipilih berdasarkan ketakwaan, kealiman, kebijaksana,dan mampu mengayomi masyarakat (umat). Di masa itu, demokrasi Islam benar-benar berhasil menjadi sistem pemerintahan Islam yang tidak berpihak pada pemimpin, melainkan pada umat manusia. Maka, pasca sistem musyawarah (demokrasi Islam) itu terganti oleh sistem monarki, tujuan dakwah politik umat Islam mengalami pergeseran secara universal.
Peristiwa pergeseran nilai-nilai dakwah politik Islam ini dapat dipahami dari penelitian Benson Bobrick dalam buku Kejayaan Harun Ar-Rasyid (2019). Dari penelitian ini, Benson tidak sekadar mengisahkan keberhasilan pemimpin Islam di masa dinasti Abbasiyah, tetapi juga memaparkan kegagalan para pemimpin Islam saat berkuasa. Dari hasil penelitian itu, Benson sebenarnya menekankan pada hal-hal yang berkaitan kegagalan kepemimpinan Islam secara gamblang ketimbang kemajuan Islam.
Sebagai contoh kegagalan di masa lalu adalah para pemimpin Islam lebih mengedepankan hawa nafsu, pemerintahan Islam tidak memiliki keterbukaan dan kebebasan berpendapat, serta tidak adanya penegakkan hukum berasas keadilan, dan lain-lain. Kegagalan sistem pemerintahan Islam (monarki) dan kefanatikan mazhab ini menjadi latar belakang yang membuat umat Muslim sering berperang atas anjuranpara pemimpin sebagai dakwah (politik-militeristik). Keberhasilan penelitian dan argumentasi Benson memiliki titik temu secara komprehensif tatkala menjelaskan konflik sosial-politik yang disebabkan tradisi kefanatikan dan dendam antar masyarakat Arab (etnis).
Genealogi konflik sosial-politik ini dapat dipahami dari dendam berkepanjangan antara pemimpin Islam yang menganut mazhab Sunni-Syiah. Pada akhir masa dinasti Umayyah berkuasa, dendam pemimpin Islamsampai menyebabkanpembantaian secara massal. Pembantaian itu pernah terjadi pada masa Al-Mahdi (775-785 M) saat memimpin tahta kekuasaan dinasti Abbasiyah. Peristiwa peperangan dan pembantaian itu disebabkan para khalifah ingin memperluas kekuasaan, mengulang tradisi balas dendam, dan terlalu fanatik terhadap mazhab yang berbeda.
Tradisi
Sejarah konflik pemimpin Islam kembali terulang pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid (786-809 M). Pada masa kepemimpinan Harun Ar-Rasyid, penentuan pemilihan pemimpin Islam masih berlangsung secara turun-temurun dan bersifat subjektif. Hal ini disebabkan para pemimpin Islam memang masih menjunjung tradisi sistem monarki yang acapkali menimbulkan polemik dan egoistik.
Sikap otoritatif dan subjektifitas Harun begitu terasa ketika menobatkan putra-putranya sebagai penerus pemimpin Islam di masa dinasti Abbasiyah. Namun pasca penentuan regenerasi kepemimpinan, Harun merasa dilematis dalam mempertimbangkan karakteristik pemimpin sebelum menduduki tahta kekuasaan.
Pada 809 M, regenerasi dinasti Abbasiyah pun berlangsung dan mulai dipimpin oleh putra-putra Harun yang bernama Al-Amin (809-813 M) dan Al-Ma’mun (813-833 M). Kedua putranya itu besar dan tumbuh dari asuhan dan status berbeda. Al-Amin merupakan putra Harun yang terlahir dari status sosial ningrat. Lain halnya Al-Ma’mun yang hanya dilahirkan dari selir kerajaan. Perbedaan status sosial ini cukup mempengaruhi penentuan kredibilitas dari sudut pandang khalifah Harun.
Persoalan status sosial (ningrat) masih menjadi acuan Harun dalam menentukan pemimpin masa depan dinasti Islam. Sejak Harun memimpin wilayah Timur Tengah dan Eropa, ia selalu mencermati perkembangan perilaku dan etika kedua putranya saat mereka tumbuh hingga menjadi khalifah.Di masa itu, Harun merasatakut serta gelisah yang amat mendalam ketika kekuasan telah diserahkan sepenuhnya pada Al-Amin.
Antisipasi untuk menghindari konflik saudara pernah Harun upayakan dalam perjanjian kekuasaan. Perjanjian itu pernah disaksikan seluruh masyarakat Arab dan dipajang di mimbar kabah sebagai bukti janji tanggungjawab Harun serta kedua putranya saat memimpin umat. Namun setelah kekuasaan kepemimpinan telah terbagi, Al-Amin selalu bersikap otoriter dan memaksa untuk menjadi khalifah tunggal dari seluruh kekuasaan dinasti Abbasiyah.
Mafhum, etika Al-Amin sebenarnya memang tidak lebih baik daripada Al-Ma’mun. Ia sering menyia-yiakan masa kepemimpinanya hanya demi kesenangan dunia dengan berfoya-foya bersama para wanita. Sikap dan perilakunya memang tidak menunjukan kewibawaan sebagai seorang pemimpin Islam yang layak untuk disegani pada masa itu. Pasca konflik saudara Al-Amin dan Al-Ma’mun terjadi, dinasti Abbasiyah mulai mengalami kemunduran dari berbagai aspek sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan.
Peristiwa kemunduran itu tidak bertahan lama, keberhasilan Al-Ma’mun merebut tahta kekuasaan dinasti Abbasiyah, telah menandai kebangkitan kebudayaan intelektual Islam dalam mempelajari pendidikan sains. Pasalnya Al-Ma’mun memiliki kesadaran untuk meneruskan perjuangan Harun. Ia membangun peradaban umat Islam dengan menelaah dan mempelajari kembali ilmu-ilmu pengetahuan (filsafat Yunani). Kesadaran revolusioner pemimpin Islam membuat peradaban Muslim mengalami kemajuan dan kejayaan ketika berhasil menemukan berbagai teori-teori dan disiplin ilmu.
Tradisi menerjemahkan literatur klasik dan mempelajari ilmu pengetahuan (sains) memang sudah dibangun sejak kepemimpinan Harun. Para intelektual Muslim sudah berhasil mempelajari ilmu batoni, kimia, matematika, arsitektur, navigasi, geografi, dan astronomi. Puncak penggalian keilmuan pada masa dinasti Abbasiyah terjadi di Baghdad. Para ilmuwan (pemikir teologi) berkumpul demi bertukar gagasan. Orang Muslim, Yahudi, Manikaen, Kristen, Zoroaster, Buddha,dan Hindu memiliki kesadaran bersama menerjemahkan karya Aristoteles, Plato, Hippocrates, Galen, Ptolemaeus, Antiochus, dan Dorotheus.
Hasil dari terjemahan literatur klasik itu telah membuat peradaban umat Muslim mengalami kemajuan pemikiran ilmu-ilmu sains. Usaha perjuangan membangun pusat kajian intelektual mencapai keberhasilan pada masa Al-Ma’mun. Kesadaran Al-Ma’mun terhadap pendidikan Islam merupakan upaya pemimpin Islam bertanggungjawab terhadap umat untuk menciptakan sarjana-sarjana Muslim yang mumpuni. Realisasi pengembangan pendidikan itu terjadi pada 830 M di Baghdad.
Al-Ma’mun mendirikan Baitul Hikmah (Wisma Kebijaksanaan) yang terkenal memadukan perpustakaan, akademi, dan biro penerjemahan ke dalam sebuah lembaga pendidikan paling penting sejak pendirian perpustakaan Alexandria di paruh abad ke-3 (hlm. 308). Para sarjana dari berbagai agama membanjiri lembaga tersebut demi melakukan riset-riset terhadap manuskrip. keberhasilan riset itu telah melahirkan berbagai bidang ilmu geometri, astronomi, zoologi, geografi, kimia, mineralogi, optika dan lain-lain.
Dari keberhasilan Al-Ma’mun sebagai pemimpin dinasti Abbasiyah menghantarkan Islam mengalami kemajuan dan kejayaan. Peristiwa ini telah menandai bahwa penentuan pemimpin tidak dapat diukur dengan melihat kedudukan strata sosial dan sistem monarki yang menjadi tradisi. Penentuan pemimpin akan lebih bijaksana apabila dilaksanakan secara musyawarah sebagai bentuk kesadaran menjunjung sistem demokrasi. (RM)
Identitas Buku:
Judul Buku : Kejayaan Harun Ar-Rasyid
Penulis : Benson Bobrick
Penerbit : PT Pustaka Alvabet
Tebal Buku : 401 halaman
Cetakan I : Januari 2019
ISBN : 978-602-657-750-4