Sedang Membaca
Mengoreksi Islam Mazhab Jihadis
M. Taufik Kustiawan
Penulis Kolom

Mahasiswa IAIN Surakarta, Santri Ponpes Nurussalman, Laweyan, Solo.

Mengoreksi Islam Mazhab Jihadis

Dari penelitian Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Mohamad Nasir memerintahkan kepada seluruh rektor Perguruan Tinggi di Indonesia untuk memantau dan melaporkan kegiatan pengajaran dosen atau kampus yang mengandung unsur radikalisme. Upaya tersebut untuk menjauhkan paham radikal dari ranah akademis yang akhir-akhir ini marak terjadi di Perguruan Tinggi.

Perguruan Tinggi sebagai pusat pengembangan keilmuan  patut dicurigai sebagai sarana penyebaran teologi radikal yang seringkali mengatasnamakan agama oleh kelompok-kelompok tertentu (Solopos, 17 Mei 2018). Pada penghujung 1960-an gejala paham radikal tersebut sudah mulai timbul sebagai aktivitas dakwah. Kekalahan partai-partai Islam di kancah perpolitikan pada masa Orde Baru telah membuat penyebaran paham Islam fundamental menyusup di berbagai kampus di Indonesia.

Sejak tumbangnya kekuasaan Orde Baru pada 1998, begitu menandai pesatnya perkembangan paham Islam fundamental. Penjaminan kebebasan pada masa Reformasi telah mempercepat laju pergerakan corak pembaharuan Islam yang keras dan tekstual. Gerakan Islam radikal ikut mewarnai keberagamaan di negeri ini tentu dengan membawa misi. Pasca-Orde Baru, gerakan Islam fundamental secara terang-terangan masuk  ke dalam ruang civitas akademik untuk menyebarkan doktrin tentang sistem pemerintahan.

Gerakan Islam jihadis yang diusung oleh sebagian penceramah atau ustaz adalah bentuk protes ketidakpercayaan terhadap sistem pemerintahan berkonstitusi demokrasi.

Di kampus, perkembangan Islam radikal dapat kita temukan di berbagai masjid kampus dari aktivitas ceramah sebagai  bentuk gerakan dakwah. Pergolakan dakwah di masjid kampus seakan menjadi ruang kebebasan dalam memainkan peran organisasi demi mewujudkan ideologi. Hal itu terjadi lantaran sebagian organisasi  menganggap masjid kampus mampu menjadi ruang pengajaran kajian Islam secara rutin untuk menyebarkan doktrin Islam konservatif. Kampus yang semestinya berfungsi sebagai ruang kajian ilmu pengetahuan, kini menjadi ruang legitimasi kepentingan kelompok Islam tertentu untuk mencari massa melalui dakwah agama.

Baca juga:  Mengenang Gus Dur: Meneladani Pemikiran, Nilai, dan Melanjutkan Perjuangannya

Di majalah Tempo edisi 19-25 Juni 2017, melacak gerakan Islam konservatif yang terus berkembang di Universitas di Indonesia untuk menyebarkan paham Islam radikal. Salah satunya di Universitas Padjadjaran, adalah kampus yang menyebarkan pemahaman Islam “Gema Pembebasan” hingga tumbuh subur. Gerakan Islam tersebut diketahui oleh Raihan, salah seorang mahasiswa yang sedang mengikuti kegiatan pelatihan jurnalistik. Ia menjelaskan secara gamblang bahwa Dakwahpos.com adalah media internal Islam konservatif untuk menyebarkan doktrin terhadap para mahasiswa. Organisasi Islam tersebut adalah afiliasi dari kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Dari pengamatannya, ia mengatakan bahwa semua pengurus dari lembaga tersebut merupakan aktivis HTI yang sekaligus merangkap Lembaga Studi Pemikiran Islam (LSPI). LSPI adalah sayap resmi dari kelompok Islam (HTI) yang sengaja dikhususkan untuk menyasarkan doktrin agama kepada para pembelajar. Pertarungan doktrin HTI dengan konstitusi negera demokrasi adalah menyebarkan pemahaman “khilafah islamiyah” sebagai tujuan merubah konstitusi negara. Doktrin teologi tersebut jelas bertentangan dengan nilai-nilai pancasila dalam menjalani kehidupan plural, beragama, dan bernegara.

Gerakan Islam radikal yang melulu menginginkan perubahan dasar negara menjadi negara Islam telah menjadi ancaman keberlangsungan kesejahteraan kehidupan bangsa dan agama. Kegagalan memaknai konsep teologi inilah yang semestinya menjadi koreksi bahwa  mempelajari dan mengamalkan  tuntunan agama bukan untuk saling melukai, menghujat, atau memprovokatori tindakan radikalisasi. Semestinya dalam memaknai agama haruslah saling menghargai dan menjunjung sikap toleransi.

Baca juga:  Anjing dalam Masyarakat Arab: Dipelihara Istri Nabi hingga Menjadi Teman Sufi

Literatur Islam

Pengaruh pertarungan penyebaran doktrin teologi dan ilmu pengetahuan abad ke-XXI di Indonesia,  dipengaruhi oleh literatur Islam sebagai sarana bacaan generasi Muslim milenial. Selain ceramah-ceramah agama dari kegiatan mentoring di kampus, sumber bacaan juga sangat mempengaruhi pola pemikiran Islam pada generasi milenial. Seperti yang dipaparkan dalam penelitiannya  Noorhaidi Hasan dkk, yang berjudul Literatur Keislaman Generasi Milenial: Transmisi, Apropriasi, dan Kontestasi (2018).

Penelitian tersebut berisi tentang pemetaan buku-buku yang dibaca dan disukai pelajar generasi millenial tatkala mempelajari agama. Buku yang dihasilkan dari riset di beberapa kota-kota metropolitan di Indonesia telah menjelaskan keterpengaruhan perilaku para pelajar pada literatur agama yang terlalu takfirisme terhadap berbagai doktrin pemikiran Islam.

Seperti salah satu penelitiannya Hilman Latief, yang memetakan literatur keislaman yang dipakai dan dibaca generasi millenial di lima universitas di Yogyakarta, UGM, UNY, UMY, UII, dan UIN Sunan Kalijaga. Hilman memetakan literatur Islam tersebut ke dalam tiga arus utama: literatur Salafi-Puritan, literatur keislaman umum, dan literatur keislaman yang berorientasi ideologi politis. Dari pengelompokan literatur itu, terdapat pula tokoh ulama Islam Timur Tengah yang memang memengaruhi kajian pemikiran Islam di Indonesia, seperti Muhammad bin Abdul Wahab, Ibnu Taimiyah, Sayyid Sabiq, Sayyid Qutb dan Yusuf Qardawi. Generasi milenial mengetahui ulama tersebut lewat  karya-karyanya yang jelas dipelajari di Universitas dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Baca juga:  Alquran, Islam (dan) Nusantara

Mahfum, literatur yang ditulis oleh ulama itu memang memiliki banyak perbedaan dalam pemahaman ideologi Islam juga  dari kultur sosial. Pemahaman generasi Muslim milenial yang sedang membaca literatur atau mendalami kajian pemikiran Islam, memang sering kali menafsirkan sumber bacaan tersebut secara kaku dan fanatik. Padahal kesalahan untuk memikirkan teologi pada abad ke-XXI di Indonesia adalah menafsirkannya secara kaku, fanatik, tekstual tanpa melihat kontekstualisasi.

Selain itu pula, paham teologi muthakir di Indonesia juga sering tidak menerima perbedaan perkembangan pendapat aliran, mazhab, atau Ormas Islam yang sebenarnya dapat sebagai bahan dialog teologi untuk menentukan kemaslahatan umat Muslim dan agama lain.

Kurangnya kesadaran saling menghargai inilah yang menyebabkan tindakan radikalisme dan konflik agama yang terus berkelanjutan.  Seharusnya  kekayaan ilmu teologi (kalam)  dari literatur Islam tersebut dapat menjadi acuan kita untuk memilah pendapat para ulama yang relevan demi menciptakan  kemaslahatan umat beragama.

Kajian itu bukan melulu untuk diperdebatkan tapi perlu dikembangkan sebagai warisan bahan pembelajaran. Maka kesalahan menafsirkan sumber bacaan secara tidak rasional inilah yang seringkali menimbulkan paham teologi jihadis dengan mengatasnamakan agama sebagai sumber perpecahan bagi umat manusia. Masyaallah.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top