Penamaan tokoh dalam sastra begitu penting sebagai identitas karya yang mesti dipertimbangkan oleh pengarang. Dari beberapa pengarang sastra Indonesia, nama bukan sekedar menjadi formalitas semata tapi juga sebagai keberhasilan mengungkapkan gagasan dan makna bagi pembaca.
Mempersoalkan nama dalam sastra inilah yang tampaknya sedang diteliti dan diulas oleh Widyanuari Eko Putra dalam bukunya berjudul Perihal Nama (2018). Buku yang diterbitkan oleh komunitas diskusi Kelab Buku Semarang, menjadi data penting untuk melihat kejelian para sastrawan tatkala memberi alasan pada nama (tokoh) dalam karya sastranya.
Di antara beberapa sastrawan kondang seperti, Mas Marco Kartodikromo, Kuntowijoyo, dan Trianto Triwikromo, tampaknya memiliki kesamaan perihal pemilihan nama lebih mengacu kepada urusan agama. Peran nama (tokoh) yang memiliki identitas religius menjadi pertanda bagi pembaca untuk mencermati konteks kultur sosial beragama di Indonesia.
Kita bisa melihat cerita yang dikisahkan Mas Marco Kartodikromo dalam novel Student Hidjo. Widyanuari menafsirkan nama tokoh “Hidjo” sebagai simbol warna keagamaan di Indonesia.
Warna hijau memiliki keakraban dengan corak Islam, terutama Islam nasionalistis. Seperti yang Widyanuari ungkapkan “Sampai hari ini saja, kita tak terlalu sulit menunjukan partai atau ormas Islam mana saja yang mengusung warna hijau sebagai latar warna lambang organisasinya” (hlm.21).
Demi menguatkan argumentasi, Widyanuari juga mengutip Rudolf Mrazek, seorang indonesianis untuk menegaskan nama, warna, dan agama. Mrazek menjelaskan bahwa nama “Hidjo” yang digunakan Mas Marco mengacu pada sebuah ideologi dan simbol Islam. Kita tentu mengetahui pada 1919 pergulatan aktivitas Mas Masco di Sarekat Islam seringkali menebarkan kritikan di surat kabar.
Hal tersebut membuat ia menjadi tokoh penting pergerakan Islam di masa kolonial. Maka Mrazek menjelaskan perihal warna “Hidjo” itu dapat dimaknai “iman yang kuat, keteguhan, dan kemurnian.”
Kita menduga, Mas Marco sengaja menamai tokoh dalam karyanya untuk menunjukan keberagamaan, rasa ketidakbebasan, dan perjuangan di masa kolonialisme. Nama tokoh dalam karya sastra tampak menentukan keberhasilan dalam menceritakan kesejarahan meski melulu melalui sebuah roman.
Selain Mas Marco, Kuntowijoyo juga menamai tokoh dalam karya sastranya tidak lepas dari nama-nama Islam yang berkembang di Indonesia.
Di novel Mantra Penjinak Ular, Kuntowijiyo memilih menamai tokoh utamanya Abu Hasan Sapari. Nama itu dianggap menjiwai kultur sosial di masyarakat Jawa lereng Gunung Lawu. Masyarakat yang masih menjunjung kepercayaaan ritual budaya adat (sinkretisme), menjadi penentu adanya upacara pemberian nama sebagai corak agama Islam yang berkembang di Jawa.
Kuntowijoyo lantas mengisahkan alasan keluarga memilih nama untuk si jabang bayi: “Dengan bangga kakek itu mengumumkan bahwa cucunya diberi nama Abu Kasan Sapari. Abu diambil dari sahabat Nabi Abu Bakar, Kasan adalah nama cucu Nabi, dan Sapar adalah bulan pernikahan kedua orangtuanya (hlm. 37).”
Annemarie Schimmel dalam bukunya berjudul Kekuatan Nama-Nama Islam menunjukan bahwa nama memiliki kekuatan, doa, harapan dari orangtua. Buku itu semacam referensi bagi para orangtua untuk menentukan nama bagi keturunannya.
Dari penelitian Schimmel, perkembangan nama-nama Islam bermula dari Jazirah Islam dan terus mengalami penyebaran diseluruh dunia seiring perkembangan dakwah Islam. Nama itu menjadi makna filosofis yang memiliki arti penting bagi keberlangsungan kehidupan. Seperti halnya nama tokoh Abu Kasan Sapari yang ada dalam novel Kuntowijoyo, tampak begitu menjiwai percampuran “nama” dari kultur sosial dan agama.
Mafhum, nama-nama dalam Islam terasa memiliki kemistikan agar para keturunan dapat mencotoh sikap keteladanan Nabi, sahabat Nabi, ataupun ulama-ulama yang memiliki nama dan sifat berkarismatik.
Nama ulama di Indonesia yang berkarismatik tampaknya juga digunakan sebagai nama penokohan oleh Trianto Triwikromo. Dalam kumpulan cerpennya berjudul Surga Sungsang, Trianto memberikan nama tokoh seperti nama beberapa ulama di Indonesia yang malah kontroversial. Nama-nama Islami itu seperti, Kiai Siti, Kufah, Syekh Muso, Zaenab, dan Pangeran Langit Abu Jenar.
Dari pembacaan cerpen yang cukup rumit tersebut, Widyanuari begitu mencermati nama-nama tersebut untuk ditafsirkan dengan melihat kisah sejarah perkembangan Islam di Indonesia atas dakwah Wali Songgo.
Widyanuari menggambarkan penokohan Pangeran Langit Abu Jenar dan Kiai Siti sama halnya sosok kontroversi agama Islam di Jawa, Syekh Siti Jenar. Gelagat itu terasa tatkala watak Pangeran Langit Abu Jenar dan Kiai Siti memiliki kesamaan begitu sensitif dalam perkara syariat Islam.
Tentu dalam puncak konflik persoalan agama, Trianto tidak luput menghadirkan tokoh protagonis yaitu bernama Syekh Muso. Nama itu malah bergerak ke Timur Tengah lantaran tokoh tersebut mirip dengan cerita kisah Nabi Musa. Dalam cerpen Trianto, Syekh Muso seorang pendakwah bijak memiliki banyak mukjizat dan sering melakukan pembaharuan dalam hal keberagamaan.
Tafsiran-tafsiran atas nama dalam sastra inilah yang digeluti Widyanuari sebagai seorang membaca sastra. Nama tidak hanya sebagai tanda pengenal, atau identitas yang dapat disepelekan. Kisah nama dalam sastra dan agama tentu seringkali mengandung hal-hal yang tak terduga.
Karya dari Mas Marko Kartodikromo, Kuntowijoyo dan Trianto Triwikromo dapat kita pahami mengenai nama sebagai lakon sastra yang sanggup memberikan gejolak kisah agama, sejarah, dan budaya di Indonesia.
Judul Buku : Perihal Nama
Penulis : Widyanuari Eko Putra
Penerbit : Kelab Buku Semarang
Tebal Buku : 170 halaman
Cetakan I : Mei 2018
ISBN : 978-602-6694-43-0