Sejak meninggalnya Nabi Muhammmad Saw, kesejarahan penafsiran Alquran mengalami perbedaan pendapat antar-golongan umat Muslim. Perbedaan penafsiran itu sering memicu adanya tindakan fundamental agama yang menyebabkan umat Islam terpecah dan mulai berkonflik demi kekuasan.
Genealogi itu bisa dilihat ketika masa Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah berseteru dalam perang Siffin. Pada peperangan itu, Mu’awiyah telah berhasil mengelabuhi Ali dengan menafsirkan Alquran sebagai kepentingan politis untuk memperoleh kekuasaan.
Ketidaksadaran itu yang menyebabkan Ali mengalami kekalahan dan umat Muslim mulai terpecah belah. Berbagai golongan dalam kesejarahan umat Muslim itu telah terangkum dalam pemikiran ilmu pengetahuan Islam (ilmu kalam).
Pengetahuan dari ilmu kalam (sekte golongan) itu memberikan pemahaman kita terhadap corak pemikiran dari berbagai golongan umat Muslim dalam menafsirkan Alquran. Mulai dari golongan Islam konservatif, tekstual, kontekstual, dan rasional memberikan paradigma penafsiran Alquran yang tentu berbeda. Perbedaan itu pula yang membentuk mazhab-mazhab pemikiran Islam semakin meluas dan berkembang.
Perkembangan mazhab Islam itu sering memicu adanya perbedaan pendapat mengenai berbagai konsep hukum (fikih) dan problematika sosial.
Secara genealogi, perbedaan pendapat dari berbagai mazhab dalam Islam merupakan hal yang wajar saja. Namun problematika umat Muslim kini memang lebih memprihatinkan. Hal itu disebabkan kurangnya umat Muslim memiliki kesadaran untuk mempelajari Islam secara historis. Ketidaksadaran paradigma itu menyebabkan umat Muslim hanya mempelajari Islam sebatas kajian teologis yang memiliki kebenaran absolut dan doktrinasi tekstual sebagai tradisi kebudayaan.
Hasil pemikiran tersebutlah yang menyebabkan pergeseran keilmuan Islam yang kian memudar dari masa kejayaan Islam. Hampir peristiwa penafsiran Alquran secara tekstual itu terjadi di Timur Tengah, tempat turunnya risalah kebenaran serta tempat turunnya wahyu (Alquran). Penafsiran Alquran yang menitikberatkan kajian teologi tanpa mempertimbangkan nilai historisitas akan hanya terasa menjadi kepentingan kelompok ketimbang menciptakan kemaslahatan sosial.
Konsep pemikiran tekstual itulah yang seringkali menyebabkan perseteruan, konflik internal, intoleransi, dan tindakan radikalisasi dengan menyalahgunakan perintah agama. Pergeseran penafsiran tersebut seringkali menjadi tradisi kebudayaan para ulama tradisional (tekstual) dalam menafsirkan Alquran tidak melihat sesuai konteks zaman muthakir.
Pemikiran seperti itu yang tampaknya ingin dikritik oleh Fazlur Rahman dalam bukunya berjudul Tema-Tema Pokok Al-Qur’an (2017). Fazlur Rahman berkeinginan merasionalisasikan pandangannya terhadap Alquran. Dalam buku tersebut, Rahman berkeinginan adanya pembaharuan untuk mengembangkan keilmuan dan penafsiran yang terkadung dalam Alquran.
Rahman mencoba memberikan perspektif pendekatan ilmu mengenai metode penafsiran Alquran secara tematis. Tema-tema yang dihadirkan Rahman menerangkan hal-hal yang banyak terkandung dalam ayat-ayat Alquran sebenarnya perlu dikembangkan demi melahirkan ilmu pengetahuan.
Maka untuk menerangkan gagasan tersebut, Rahman membagi keutamaan tema Alquran meliputi persoalan konsep tauhid, manusia sebagai individu, manusia sebagai makhluk sosial bermasyarakat, estakologi, alam semesta, kenabian dan wahyu, dan lain-lain.
Namun ijtihad Rahman dalam mengkaji Alquran dianggap bertentangan dengan pemikiran kelompok tradisonalis di Pakistan. Puncaknya pada 1960, setelah munculnya gagasan pemikiran Rahman tersebut, para ulama Pakistan seperti Maulana Yusuf Binnauri dan Allamah Anwar Syah Kashmiri menuduh paradigma Rahman sangat menyimpang dari ajaran Islam.
Mereka mendalihkan, pemikiran Rahman itu terjerumus kelembah ateisme dan kekafiran dalam menafsirkan kitab suci. Rahman dianggap ingin menciptakan sebuah Islam versi baru yang bertentangan dengan Islam versi para pendahulu. Konservatisme dan tuduran seperti ini yang seringkali terjadi di kalangan umat Muslim. Berbagai hasil ijtihad (karya) para pemikir Islam kontemporer dianggap menyimpang dari aturan Islam. Penafsiran-penafsiran yang bersifat pembaharuan terlalu digampangkan dan dinilai sebagai hal yang tidak dibenarkan.
Persoalan-persoalan inilah yang membuat umat Islam tidak mampu berkembang dalam menafsirkan Alquran tatkala masih terbelengu oleh pendapat ulama terdahulu (taklid). Namun penafsiran ini tidak terjadi diseluruh golongan umat Muslim, melainkan hanya beberapa golongan Islam konservatif seperti Khawarij, Wahabi, dan golongan islamisme yang hanya terpaku dan hanya ingin merujuk pada Alquran dan Hadis.
Padahal dalam ayat Alquran telah menjelaskan kepada umat Muslim untuk senantiasa mengedepankan pikiran demi menciptakan kemaslahatan sosial. Kemaslahatan itu bisa muncul ketika kita mampu menafsirkan Alquran demi mendalami ilmu-ilmu secara objektif tanpa niat untuk berpolitik.
Penafsiran Alquran yang kontekstual inilah yang ingin digagas oleh beberapa santri dan santriwati pondok pesantren Daarul Quran Yogyakarta tatkala sinau menulis tentang pengalamannya bersama Alquran. Mereka memberikan perspektif tentang pentingnya mempelajari ilmu-ilmu yang terkandung dalam Alquran. Mulai dari adab dan etika, toleransi, penafsiran, dan pengalaman-pengalaman sebagai penghafal Alquran mereka kemukakan sebagai bahan renungan dan pembelajaran.
Menjadi seorang mufasir tidaklah harus bersikap otoritatif dari hasil ijtihad yang dilakukannya, sehingga hal ini bila menjadikan hasil yang kita peroleh mampu diejawantahkan pada umat Muslim. Semakin banyak kritik dan tanggapan pembaharuan metode penafsiran Alquran akan menumbuhkan perkembangan keilmuan Islam semakin lebih terbuka terhadap kultur sosial.