Keteladanan KH Maimoen Zubair seolah tak ada habisnya diceritakan. Ulama kharismatik ini memang dikenal dekat dengan semua kalangan. Dari masyarakat biasa, polisi, tentara, politisi, sampai
Kisah ini disampaikan KH Musthofa Bisri dalam peringatan 100 hari wafatnya Mbah Moen. Gus Mus begitu biasa disapa mengungkapkan, Mbah Moen sosok paripurna, bukan hanya alim. Memandang Mbah Moen segala problem yang ingin disampaikan, langsung hilang. Dai di Indonesia cukup banyak. Namun, pendakwah dengan pribadi dakwah tak banyak. Diantara yang seperti itu ialah Mbah Moen
“Melihat wajahnya menarik,” katanya.
Mbah Moen, kata Gus Mus, diantara yang dikagumi adalah sosok ulama yang begitu memuliakan tamu. Siapapun datang diterima.
“Seneng tamu niku mawon, sampeyan sampun susah nirune.(Senang tamu saja anda susah menirunya),” kata Pengasuh Ponpes Raudlatut Thalibin, Leteh Rembang ini.
“Seneng tamu, padahal tamu niku ngerepoti. Wong Gus Baha mawon boten purun ditamoni. (Suka tamu, padahal tamu itu merepotkan. Gus Baha (KH Bahauddin Nursalim) saja tidak mau kedatangan tamu),” sambungnya disambut tawa jamaah.
“Sampeyan takoni tiyange niki tasih urip. Kulo dilapori santri kulo.(Anda tanyakan (Gus Baha) orangnya masih hidup. Saya dilapori santri saya),” kata Kiai Musthofa lagi.
Gus Baha yang menjadi objek dari cerita seolah tak bisa menyembunyikan tawa. Posisinya memang tepat ada di bagian depan.
“Terose santri kulo, bade sowan boten angsal. Jek enom galak’e ngene.(Kata santri saya tidak boleh ziarah. Masih muda galak begitu,” ucapnya disambung derai tawa dari jamaah.
Gus Mus melanjutkan, Mbah Moen tak pernah menolak tamu. Hal ini kadang membuat Gus Mus bertanya-tanya.
“Ya Allah, mbok wong-wong iki nduwe sa’ake sitik sama Kiai Maimoen. Nemoni tamu jam-jaman.(Ya Allah, orang-orang ini harusnya sedikit kasihan dengan Kiai Maimoen. Menemui tamu berjam-jam),” terangnya.
Cerita Gus Mus ini dibenarkan oleh khadim Mbah Moen, Haji Asyrofi Zain. Santri yang akrab disapa Kang Asyrofi ini menyebut meski lelah didatangi banyak tamu, almaghfurlah KH Maimoen Zubair tak pernah menampakkannya.
“Mbah tetap menerima tamu, mengajak bicara dan berbincang,” ceritanya.
Disebutkan, kadang saking banyaknya tamu membuatnya kurang fokus. Tak memperhatikan ada beberapa tamu yang telah menanti.
“Kulo pernah ditimbali, Cung ngendi tamuku iku mau. (Saya pernah dipanggil, Nak mana tamuku tadi),” ujarnya.
“Saya saat itu kondisinya kurang fokus,” sambungnya.
Para santri, masyarakat umum, dan elemen lainnya yang pernah sowan ke Mbah Moen seolah dibuat bernostalgia. Cerita dari Gus Mus di acara 100 hari wafatnya Mbah Moen seolah merefresh ingatan.
Penulis beberapa kali sowan ke Kiai Maimoen. Kang Asyrofi yang menjadi jalur komunikasi. Kala itu, pertengahan Juli 2018 penulis datang bersama sahabat dari Lombok, Mas Yayat namanya. Tamu yang datang cukup banyak. Sembari menunggu giliran, penulis ngopi di warung sebelah ndalem Mbah Moen.
Tak berapa lama Kang Asyrofi meminta kami masuk. Mbah Moen langsung mempersilahkan kami duduk. Ramah dan hangat. Minuman dan ragam suguhan ditawarkan Mbah Moen kepada kami. Cerita pun meluncur dari kiai sepuh ini. Beberapa yang penulis ingat adalah pesan-pesan nasionalisme. Kata Mbah Moen, apapun perbedaan pendapat yang terjadi di Indonesia, tak boleh sampai merusak persaudaraan. Apalagi hingga memicu perpecahan.
“Ora kabeh iso diceritakno. Opo maneh sampai nggarai ribut.(Tidak semua hal bisa diceritakan. Apalagi sampai membuat ribut),” kata Mbah Moen.
Mbah Moen kemudian berkisah mengenai ramainya Islam di tanah Jawa karena adanya pesantren. Cikal bakal pondok pesantren tak bisa dilepaskan dari Sunan Ampel atau Raden Rahmat. Dari Sunan Ampel kemudian hadir ribath atau pondok pesantren.
Kisah-kisah Mbah Moen akan sejarah Islam mengalir deras. Santri-santri yang hendak bersalaman tetap diberi ruang. Bergiliran mereka mencium tangan kiai sepuh ini. Kami sendiri belum diizinkan kembali. Malah disiapkan makan. Rasa segan menyeruak, sebabnya tentu saja menganggu istirahat pengasuh Pondok Pesantren Al Anwar.
“Mbah Yai, pangapunten bade pamit, dalem ngelanjutaken perjalanan.(Mbah Yai, mohon maaf hendak pamit, saya melanjutkan perjalanan),” kata penulis.
“Arep neng endi? Kene disek! (Hendak kemana? Nanti dulu),” jawab Mbah Moen.
Obrolan pun kembali berlanjut. Kali ini sasarannya tamu setelah kami, ada sekitar lima orang. Sama seperti kepada kami, kepada lima orang ini pun Mbah Moen ramah menanyakan asalnya. Satu persatu diajak bicara. Para tamu ini juga begitu antusias mendengarkan kisah-kisah dari Kiai Maimoen. Tak terasa, penulis tiga jam lebih di ndalem Mbah Moen.
Tak berkebihan kalau KH Musthofa Bisri mengatakan, untuk urusan peduli kepada tamu saja barangkali kita semua susah mengikuti Mbah Moen. Kiai yang oleh Gus Mus disebut sudah melewati berbagai fase serta jabatan.
Bergaul dengan masyarakat biasa hingga presiden. Namun, ketika ada tamu datang Kiai Maimoen begitu menyenangkan. Orang Jawa biasa menyebut grapyak. Dan tentu, banyak sekali pengalaman-pengalaman santri atau masyarakat umum yang bertamu ke Mbah Moen.
Bagi penulis, ngalap barakah kepada Mbah Moen bukan sekadar mendapat wejangan dan doa-doa. Lebih dari itu, bisa melihat langsung adab dan prilaku ulama panutan umat. (RM)