Sebuah gerbang kayu menyambut saat memasuki kompleks pemakaman Aulia Tambak, Mojo, Kediri. Terdapat deret baris kuburan di sebelah kiri dan para penjual kerajinan di sebelah kanan. Siang sangat terik, zuhur telah menjelang usai.
Para jama’ah telah kembali ke rumah masing-masing. Ada seorang laki-laki yang masih duduk di teras masjid. Penulis pun bercakap-cakap dengan peziarah dari Blitar itu. Telah sepuluh tahun, ia rutin berkunjung ke pekuburan ini.
Adalah Gus Miek yang ia ziarahi, ulama kharismatik yang dikenal aneh dan nyentrik. Gus Miek bernama lengkap Hamim Tohari Djazuli dan dilahirkan pada 17 Agustus 1940. Ia adalah putra pendiri pesantren Ploso Kediri; KH Jazuli Usman. Ia wafat pada 5 Juni 1993 dan dikuburkan di pemakaman Aulia Tambak ini.
Di makam Aulia Tambak, ada pula makam KH. Ahmad Shiddiq dari Jember, seorang Rais Aam NU pada tahun 1984-1991. Kiai yang terkenal lewat ide penerimaan hubungan Pancasila dan Islam di Muktamar 1984 Situbondo.
Semenjak meninggalnya, Makam Gus Miek banyak diziarahi oleh para jama’ah yang tersebar dari berbagai daerah, terutama Jawa Timur (seperti yang penulis temui di teras masjid). Hal ini tidak terlepas dari apa yang telah ia lakukan selama hidupnya.
Gus Miek dikenal karena metode dakwahnya yang unik, nampak kontradiktif dan terkadang mengundang polemik. Pertama, ia berdakwah melalui laku dzikir dan baca Alquran yang kental akan nuansa pesantren dan islam tradisional. Hal ini termanifestasikan ke dalam dua jam’iyah yang diinisiasi olehnya, yaitu “Jam’iyyah Semaan Alquran” yang diberi nama “Jantiko Mantab” dan “Jam’iyyah Dzikrul Ghofilin; sebuah jam’iyyah amalan dzikir”.
Jama’ahnya adalah para santri, para penghafal Alquran dan rakyat kebanyakan. Kedua jam’iyyah ini digelar rutin di berbagai tempat dengan ratusan umat.
Kedua, di sisi lain, Gus Miek juga berdakwah di tempat-tempat hiburan seperti diskotik, night club, coffee, bar dan bahkan di kampung PSK. Di pos-pos kemaksiatan dan dunia glamor inilah, ia mencuri perhatian dengan menyelipkan nilai dan pesan agama untuk para penikmat duniawi ini. Bahkan, artis seperti Dorce Gamalama juga mendaku Gus Miek sebagai gurunya.
Dalam penelitian “Gus Miek dan Perdebatan Dzikr Al-Ghafilin”, Makinudin Ali menulis tentang hal mendasar yang menjadi prinsip dakwah Gus Miek yang dinukil dari wawancaranya dengan K.H. Agus Sabut Panoto Projo (putra Gus Miek). Gus Miek pernah berpesan:
“Kita tidak boleh memandang buruk terhadap kesalahan dan perbedaan pada orang lain, sebab manusia semua sama, mereka memiliki potensi untuk menjadi lebih baik.”
Sebuah pesan yang sangat relevan terhadap konteks keberagamaan saat ini yang mana seseorang atau kelompok merasa benar sendiri, meminjam nama Tuhan untuk kepentingannya sendiri dan menyusutnya penghargaan terhadap perbedaan dengan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.
Tentang kiai satu ini, Gus Dur menulis obrituari yang berjudul “Gus Miek: Wajah Sebuah Kerinduan” di Kompas 13 Juni 1993. Ia menyatakan bahwa Gus Miek adalah kiai yang memberikan kesejukan kepada jiwa yang gersang, menghibur mereka yang bersedih, menyantuni mereka yang lemah dan mengajak semua kepada kebaikan.
Gus Dur menyitir tentang iman Gus Miek yang transenden karena Gus Miek melihat pada kebaikan seseorang bukan pada keyakinan agama atau kepercayaannya. Hal ini terlihat bagaimana ia memperlakukan Ayu Wedayanti yang Hindu, Neno Warisman yang muslimah dan orang-orang Katolik yang mendengarkan petuah-petuahnya.
Gus Dur begitu jeli dalam menggambarkan sosok kiai ini. Ia menulis bahwa Gus Miek mengidolakan ulama yang membunyikan lonceng harapan dan genta kebaikan, bukan hardikan dan kemarahan kepada hal-hal yang buruk.
Sosok-sosok ulama panutan seperti Gus Miek inilah yang semakin jarang di zaman sekarang ini. Para pewaris nabi inilah yang menafsir bagaimana agama hidup di masyarakat.
Namun, akhir-akhir ini wajah agama di ruang-ruang publik perlahan berubah. Alih-alih dijadikan sebagai lentera penerang hidup, agama malah dijadikan alasan untuk menghina dan mencaci. Merasa paling beragama hingga menuduh lainnya sebagai sesat, kafir atau kurang islami. Agama menjadi kering kerontang bukan malah menjadi oase penyejuk dari hiruk pikuk.
Ulama seperti Gus Miek inilah yang perlu diziarahi pemikirannya, dihadirkan kembali dan diteladani nilai hidupnya, karena ia, meminjam istilah Gus Dur, selalu rindu dalam upaya perbaikan dalam diri manusia karena manusia mempunyai potensi memperbaiki keadaannya sendiri.