Semua orang sudah tahu. Bahwa lebaran tahun ini cukup berbeda. Sholat Idul Fitri di rumah. Tak ada saling jabat tangan. Tak ada saling mengunjungi. Semua aktivitas pindah ke dunia virtual. Sontak grup whatsapp dibanjiri tulisan “Minal Aidin wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir Bathin”. Kejadian ini memang lazim terjadi. Namun, tahun ini agak berbeda.
Di grup whatsapp, ada ucapan minal aidin menggunakan gaya tulisan biasa. Ada juga pakai poster berhias foto keluarga disertai bunga-bunga centil. Grup whatsapp tiba-tiba dipenuhi emoticon. Ada emot jabat tangan. Ada emot minta maaf. Ada emot bunga. Seolah-olah, emot-emot itu ingin menerangkan eskpresi kita saat berada di dunia nyata.
Kejadian itu menunjukkan bahwa esensi Ramadhan tahun ini tak jauh beda dengan tahun- tahun sebelumnya. Alhamdulillah masih ada proses saling silaturrahmi. Meski pakai emoticon, dan lain-lain.
Semoga saja, kejadian insidentil itu tidak naik derajat menjadi sebuah tradisi di kemudian hari. Karena wabah covid-19 ini menuntut kita seolah-olah berkepribadian individualistik. Padahal kita sama-sama tahu bahwa kondisi sosiologis masyarakat kita ialah kolektivis.
Dalam ulasan ini, kolektivis di artikan sebagai gotong royong. Banyak tradisi yang mengandung nilai-nilai ke-gotong-royong-an. Ajaran Islam pun memperkuat nilai-nilai tersebut. Dalam kesempatan ini, kami ingin mengenang kembali tradisi kolektivis masyarakat Indonesia. Terkhususnya di Maluku. Agar setelah wabah covid-19 ini berakhir, kita dapat kembali mempraktikkan hal-hal yang sudah ada sebelumnya.
Di Maluku banyak tradisi kolektivis yang unik. Salah-satunya ialah tradisi silaturahmi umat Kristen ke rumah umat Muslim setelah sholat Idul Fitri. Tradisi ini sudah berlangsung sejak lama. Sebelum masuk ke inti pembahasan, terlebih dahulu kita harus memahami kondisi masyarakat Maluku. Maluku terdiri dari dua agama besar yang di yakini masyarakat yakni Islam dan Kristen.
Meskipun tampak berbeda dari segi keyakinan, namun dalam hal kemanusiaan punya spirit yang sama. Yakni, sama-sama menginginkan situasi yang terus berlangsung harmonis.
Spirit itu juga diperkuat dengan tali hubungan kekeluargaan pela-gandong di Maluku. Pela berarti hubungan kekeluargaan akibat “sumpah darah” yang pernah di lakukan para leluhur. Sedangkan gandong berarti hubungan saudara karena “ikatan darah”. Setiap desa di Maluku memiliki pela dan gandong-nya. Misalnya, desa Siri-Sori Islam berhubungan pela dengan Haria (desa Kristen). Desa-desa lain pun memiliki pertalian kekeluargaan seperti itu.
Di Maluku, setiap desa Muslim pasti berhubungan pela atau gandong dengan desa Kristen. Karena setiap masyarakat punya ikatan kekeluargaan, maka tak heran ada tradisi saling silaturrahmi setelah sholat Idul Fitri di Maluku. Silaturahmi setelah Idul Fitri tak hanya dipraktikkan umat Muslim saja. Di Maluku, uniknya, silaturahmi juga di praktikkan umat Kristiani dengan mengunjungi rumah umat Muslim.
Tradisi silaturrahmi yang khas ini sangat terasa di pulau Saparua, Maluku Tengah, dan juga di tempat lain. Biasanya, setelah sholat Idul Fitri, kira-kira lewat dari satu atau dua hari, umat Kristen akan berkunjung ke rumah umat Muslim.
Uniknya, di setiap kunjungan, umat Kristen akan membawa tas kresek. Nantinya, setelah silaturahmi, umat Kristen akan minta kue ke tuan rumah. Kue itu lalu dimasukin ke dalam tas kresek yang telah dibawa tadi. Adakalanya, umat Kristen berkunjung bersama keluarganya, dan ada juga melakukan kunjungan personal. Kunjungan umat Kristiani tentu sangat di terima baik umat Muslim.
Menurut kami, tradisi ini memiliki esensi kemanusiaan yang sangat luar biasa dan khas sekali. Tradisi yang mengandung spirit kesatuan dalam perbedaan. Untuk mencapai kemajuan maka di perlukan kesatuan. Maluku sudah punya perangkat kesatuan untuk mencapai kemajuan. Yakni, melalui tradisi saling silaturrahmi tersebut di atas. Semoga tradisi ini tetap dan terus dipertahankan sampai anak cucu kelak. Aamiin.