Sedang Membaca
Berjomblo dalam Politik?

Dosen Psikologi IAIN Ambon.

Berjomblo dalam Politik?

Istilah jomblo berasal dari bahasa Sunda dengan arti negatif yaitu seorang perempuan tua yang belum memiliki pasangan hidup.

Dalam bahasa Inggris, istilah jomblo disebut single. Kedua istilah itu memiliki arti dan maksud yang sama. Belakangan ini istilah itu tidak hanya berlaku bagi para perempuan tapi juga bagi pria. Istilah ini sangat familiar di telinga anak muda masa kini.

Jika istilah jomblo kita letakkan dalam dinamika politik yang terjadi belakangan ini, maka saya memandang bahwa peran aktif dari masing-masing individu yang sudah menentukan pilihan capresnya ialah mereka yang telah melepaskan masa jomblonya.

Maka dalam hal itu, saya layak mengangkat topi untuk sikap tersebut. Namun, bagaimana dengan mereka yang belum menentukan pilihan terhadap salah-satu capres tertentu? Yaitu mereka yang masih bertahan dengan status jomblonya? Mengenai pertanyaan itu akan kami jelaskan dibawah ini.

Kenapa Menjadi Jomblo?

Saya melihat bahwa gejala jomblo ini disebabkan oleh dua hal yaitu sikap tertutup dan adanya bangunan attachment dari pihak lain dengan sifatnya yang overprotective. Pertama, individu akan mengalami jomblo apabila dia menutup diri untuk tidak mau mencari dan mengenal siapa pasangan hidupnya.

Kedua, individu yang lahir dengan pola kelekatan overprotective akan merasa sulit untuk mencari dan menentukan siapa pasangannya.

Baca juga:  Science Diplomacy, Nahdlatul Ulama dan Prioritas Riset Nasional

Artinya, individu tidak diberikan kebebasan untuk bergerak mencari pasangan karena ada tekanan dari pihak lain. Kedua hal inilah yang mengakibatkan seseorang menjadi jomblo.

Dampak dari Jomblo

Gejala jomblo ini sangat berdampak negatif yaitu terciptanya pola agresi-protektif baik ketika dirinya belum mempunyai pasangan maupun setelah memiliki pasangan hidup. Hal ini disebabkan oleh sikap tertutup serta tidak ada ruang kebebasan bagi dirinya untuk menentukan siapa pasangannya.

Pola agresi-protektif ini tertuang dalam sikap memutlakan pasangan yang telah dipilihnya, serta berusaha untuk melindungi secara berlebihan terhadap pasangannya. Di sisi lainnya, pola ini juga melahirkan gejala pertikaian sosial selama si jomblo berproses mencari pasangannya.

Secara pribadi, saya melihat bahwa dampak dari gejala-gejala itu sangat terasa dalam dinamika politik di Tanah Air. Puncaknya yaitu situasi sosial terpecah menjadi dua kubu. Hal ini tidak lain ialah bermula dari gejala jomblo yang sudah dan atau baru mulai menentukan pilihannya.

Lalu bagaimana mengatasinya? Saya melihat bahwa akar masalah dari status jomblo ini ialah persoalan cinta.

Cinta merupakan suatu hal yang suci. Karena kesucian itulah maka cinta tidak bisa dipaksakan oleh siapapun itu.

Seperti yang diulas sebelumnya bahwa jomblo disebabkan oleh tidak adanya ruang kebebasan dengan sifatnya yang overprotective dari pihak lain, sehingga membuat si jomblo merasa terkekang dan memuncak ketika dirinya memprokteksi secara agresi terhadap pilihannya.

Baca juga:  Fatwa Ulama: Muslim Mengucapkan Selamat Natal adalah Kebaikan

Mengatasi hal ini harus ditanamkan sebuah argumentasi bahwa biarkanlah cinta itu tumbuh dan bergerak bebas dalam menentukan siapa pun pilihannya, dalam hal ini yaitu calon presiden.

Sebab cinta yang berangkat dari kebebasan akan lebih bertanggungjawab terhadap siapa pun pilihannya, serta ikut terlibat menjaga nilai-nilai harmoni di dalam semesta berbangsa-bernegara.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top