Pada tahun terakhir Perang Dunia II, para aktivis muslim Indonesia terlibat serangkaian inisiatif untuk persiapan kemerdekaan yang tampaknya sudah di depan mata – walau bukan lagi berdasarkan janji manis Jepang, melainkan akibat perubahan situasi medan laga Pasifik dan Asia Tenggara yang membuat kekalahan Jepang tak terelakkan.
Salah satu inisiatif adalah Panitia 62 atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), di mana wakil-wakil Masyumi ikut serta “guna menyiapkan umat muslim untuk memerdekaan negara dan agama” (lihat Fogg 2012; Post dkk 2010).
Penyebutan agama penting, karena bagi para politikus muslim, kemerdekaan Indonesia tetap berkelindan erat dengan pendirian negara Islam, meski kelompok nasionalis sekuler (yang juga mencakup para politikus berlatar belakang Islam) mengampanyekan negara kesatuan di mana agama tidak terlibat dalam proses politik.
Menurut Carool Kersten, sementara kaum nasionalis sekuler sering mengambil contoh dari perkembangan di Turki, sambil menunjukkan perbedaan budaya dan demografi antara dunia Arab dan Indonesia, para pemimpin muslim mengambil contoh dari perkembangan di India Inggris dan kelahiran Pakistan. Peristiwa “Pidato Pancasila” Soekarno pada 1 Juni 1945 pun tidak menjadi pertanda juga bagi cita-cita Islamis di Indonesia (Kersten 2017: 253).
Dalam Pidato Pancasila yang terkenal ini, Bung Karno mendedahkan Pancasila, menggunakan nama yang yang berasal dari bahasa Sansekerta, bukan nama Arab berkonotasi Islam. Pancasila dalam pidato itu terdiri atas kebangsaan, perikemanusiaan, permusyawaratan, kesejahteraan, dan ketuhanan yang maha esa. Sambil menghindari menyebut “Allah”, Bung Karno mencoba meyakinkan umat muslim, bahwa prinsip demokrasi di sila ketiga (permusyawaratan) menjadi pengaman yang memadai:
Untuk pihak muslim, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama […] Dari hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan, di dalam Badan Perwakilan Rakyat … inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. […] Ibaratnya badan perwakilan rakyat 100 orang anggotanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat ini, hukum Islam pula. (Boland 1971: 22-23).
Hal ihwal itu tidak meyakinkan Partai Masyumi. Akibatnya, dalam keterlibatan mereka di panitia kecil yang bertugas merancang undang-undang dasar, wakil Masyumi seperti Kiai Wahid Hasyim dari Nadhladul Ulama (NU) dan pemimpin Muhammadiyah yang baru, Ki Bagus Hadikusumo mengampanyekan pengakuan tersurat atas Islam dan hukum Islam dalam kerangka negara Indonesia merdeka – Ki Bagus Hadikusumo telah menggantikan Mas Mansur pada 1944. Pasca Jepang kalah, Mas Mansur ditangkap atas tuduhan berkolaborasi. Dalam penjara kesehatannya memburuk, dan Mas Mansur pun wafat pada 1946 (Madinier 2015: 57).
Titimangsa Juni 1945 akhirnya tercapai “gentlemen’s agreement” di pembukaan undang-undang dasar yang masyhur sebagai “Piagam Jakarta”. Sembilan orang yang menandatangani dokumen itu terdiri atas empat nasionalis sekuler dan lima politikus muslim. Mengingat terkenalnya para peserta perundingan yang sensitif itu, tak mengherankan bahwa “kalau dilihat dalam kilas balik, pembahasan sesudahnya mengenai Negara dan Islam di Indonesia banyak ditentukan oleh beberapa kata di Piagam Jakarta” (Boland 1971: 25).
Sila Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa ditambahi tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta. Sepanjang tujuh puluh tahun sejarah Indonesia sebagai negara merdeka berpenduduk mayoritas muslim, Piagam Jakarta terus menjadi sumber perselisihan, karena pada saat-saat terakhir tujuh kata itu dihapus dari proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta pada 17 Agustus 1945. Akibatnya, tujuh kata yang dianggap bagian terpenting dalam keseluruhan dokumen itu lenyap dan tak disebut-sebut di Pembukaan Undang-undang Dasar.
Di tengah cepatnya peristiwa silih berganti pada Agustus 1945, Boland menyimpulkan bahwa “Indonesia anyar pun muncul bukan sebagai negara Islam berdasarkan konsep Islam ortodoks, juga bukan negara sekuler yang bakal menganggap agama itu urusan pribadi” (Boland 1971: 38), sementara Madinier mengusulkan bahwa, setidaknya untuk sementara prospek “negara yang bisa dijadikan negara Islam” yang ditawarkan Pidato Pancasila Bung Karno tetap hayat (Madinier 2015: 66).
Akan tetapi, kala itu tidak ada kesempatan membahas perkara Piagam Jakarta berlarut-larut, karena Republik Indonesia (RI) yang baru diproklamasikan kemerdekaannya langsung menghadapi Netherlands Indies Civil Administration (NICA). NICA, yang dibantu para politikus Indonesia pro-Belanda dan didukung penduduk di beberapa daerah (terutama yang banyak dihuni orang Kristen), berusaha menegakkan kembali kekuasaan kolonial Belanda dengan bergerak cerkas mendirikan beberapa negara bagian federal. Terjadilah hampir empat tahun “revolusi fisik” – perjuangan bersenjata di mana republik muda harus menghadapi dua upaya militer untuk memulihkan otoritas Belanda lewat kekerasan pada Juli 1947 dan Desember 1948 (Belanda masih menyebutnya “politionele acties”, Aksi Polisional).
Alhasil, RI menjadi terkucil dan terbatas di Jawa dan sebagian Sumatra, pemerintahnya terpaksa menyingkir dari Jakarta dan menjadikan Yogyakarta ibu kota sementara. Selain ancaman Belanda, RI juga harus menghadapi perpecahan politis: sesudah proklamasi kemerdekaan, tidak kurang daripada empat puluh partai berdiri, enam belas di antaranya menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), parlemen sementara yang ditunjuk oleh Presiden Soekarno (lihat Noer 2005).
Semula, anggota-anggota Masyumi semasa Perang Dunia II enggan membentuk partai politik karena mereka khawatir pengaruh partai yang terang-terangan Islam kepada kesatuan nasional yang dianggap vital bagi kelangsungan Republik dan pemerintahnya yang baru berdiri. Belakangan, setelah kemerdekaan dipastikan, dan menghadapi penurunan pengaruh akibat perpecahan internal, upaya daerah melepaskan diri, dan hasil Pemilu 1955 yang membuat masygul, barulah Masyumi bergeser ke garis Islamis yang lebih tegas, bersikap lebih keras menghadapi manuver politik Presiden Soekarno yang mencoba mengubah Indonesia dari sistem parlementer yang meniru demokrasi Barat ke Demokrasi Terpimpin yang dikuasainya sendiri (lihat Noer 1987).
Selain karena beroposisi terhadap Demokrasi Terpimpin dan terlibat pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Masyumi juga dibubarkan sebagai konsekuensi kecurigaan terus-menerus akan sikapnya terhadap Darul Islam (DI) yang dinahkodai oleh Sekar Marijan Kartosuwiryo, yang berlangsung dari 1948 sampai 1962. Pemberontakan DI terdiri atas lima pemberontakan daerah yang mengaku terinspirasi ideologi politik Islam, yang dihadapi Indonesia sejak akhir 1940-an. Selama 1950-an, dua kelompok pemberontak di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan mulai berkolaborasi dengan DI Kartosuwiryo. Tahun 1953, masalah juga muncul di Aceh, tapi gerakan perlawanan yang dipimpin Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) terhadap pemerintah pusat di Jakarta tidak bersekutu secara resmi dengan Kartosuwiryo. Kalakian, ada tiga gerakan gerilya yang aktif di Jawa Tengah yang mengaku mendukung DI Kartosuwiryo, tapi pupus membentuk front bersatu (lihat Formichi 2015).
Dasar kekalahan DI mulai terbentuk antara 1953 dan 1955, ketika NU mengambil alih tempat Masyumi di pemerintahan dan posisi Bung Karno makin kuat melalui persahabatan pribadinya dengan pemimpin NU Wahab Chasbullah, yang – menentang sikap organisasinya sendiri – mendukung rencana sang presiden untuk Demokrasi Terpimpin: Sejak itu, “Kartosuwiryo dan Darul Islam-nya disebut sebagai ‘musuh negara’” (Formichi 2012: 160). Namun, perihal itu tidak mencegah beberapa pemimpin Masyumi dan NU menyuarakan pendapat menentang:
Mohammad Roem berargumen bahwal DI, TII, dan Daud Beureu’eh adalah sekutu-sekutu partai [Masyumi] dalam perjuangan mendirikan negara Islam di Indonesia. Pada pertengahan 1950-an, Isa Anshary (Persis) menyatakan bahwa “Umat muslim seharusnya tak mendukung pemerintah yang bukan NII, dan Kiai Chalid Hasjim dari NU menfatwakan bahwa muslim yang tak berjuang demi NII adalah munafik yang hidup pada zaman jahiliyah (Formichi 2012: 163).
Sesudah Bung Karno mengumumkan Demokrasi Terpimpin, pernyataan keadaan darurat, dan pemberlakuan hukum militer, dilaksanakanlah “Operasi Penumpasan”, operasi yang makin gencar sesudah hijrahnya Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan Burhanuddin Harahap ke wilayah PRRI di Sumatra (lihat Kahin 2005). Sementara itu, di Aceh, dibuatlah kesepakatan untuk membentuk “daerah istimewa” yang dipimpin seorang pemimpin PUSA, Prof. Dr. Ali Hasjmy. Pada 1962, tentara berhasil membabat habis pemberontakan PRRI dan menangkap para pemimpin Masyumi. Sementara Daud Beureu’eh diberi amnesti tetapi menjadi tahanan rumah, Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga berhasil menangkap Kartosuwiryo di Jawa Tengah dan Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan (lihat Formichi 2015; Iqbal 2014). Mereka berdua diadili, dihukum mati, dan dikubur di lokasi yang tak sabit. Hanya Kahar Muzakkar yang berhasil melarikan diri dan menghindari pasukan TNI sampai 1965, tatkala dia ditembak mati dekat Lawali di Sulawesi Tenggara.
*Artikel ini didukung oleh Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informasi RI