Sedang Membaca
Sejarah Singkat Transportasi Laut Jemaah Haji Nusantara
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Sejarah Singkat Transportasi Laut Jemaah Haji Nusantara

Pada mulanya, perjalanan haji ke Haramain secara umum ditempuh dengan menggunakan kapal niaga milik domestik atau kapal niaga asing. Walaupun pada abad XVI beberapa kapal niaga telah berkurang, masih dijumpai kapal niaga milik orang-orang Arab, Persia, Turki, dan India yang beroperasi di Nusantara. Namun, sejak permulaan abad XVI, kapal niaga Nusantara mulai mengambil alih dan menggantikan kapal niaga asing. Kapal-kapal melayari jalur perdagangan Samudera Hindia sampai ke Jazirah Arab.

Menurut sejarawan Meilink-Roelofsz M.A.P. dalam bukunya Asian Trade and European Influence in the Indonesian Achipelego Between 1500-1630 (1962), pada abad XVI, Nusantara telah memiliki armada perdagangan internasional, mengingat ketika itu Jawa, terutama Jepara, telah memiliki industri kapal untuk keperluan niaga yang dikagumi oleh Portugis.

Sebagian kapal buatan Jepara itu memang termasuk jenis kapal kecil dengan daya jelajah yang terbatas hanya sampai India dan Filipina, dan dengan daya muat 32 ton.

Akan tetapi, pada abad XVI, menurut catatan pelaut asal Italia Antoni Pigafetta, menegaskan bahwa dia  pernah menemukan kapal besar buatan Jawa dengan tonage yang sama dengan kapal niaga Spanyol masa itu. Sebagian di antaranya bahkan bisa sampai 400 ton. Armada niaga Pasai dan Pidie yang berlayar sampai ke Jeddah, ternyata juga dibeli dari Jawa dan Pegu.

Selain itu, Sultan Mansyur Syah dari Malaka tatkala akan melaksanakan ibadah haji juga membestel kapal khusus dari Jepara dan Pegu.

Industri kapal juga terdapat di Banjarmasin, Lawe, dan Tanjung Pura yang produksinya diperjualbelikan.

Di Pulau Jawa sering ditemukan orang-orang Kalimantan yang menjual bahtera yang mereka bawa bersama dengan barang dagangannya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa industri kapal niaga Nusantara telah menunjang armada niaga internasional, yang sering digunakan oleh mereka yang berniat melawat ke Haramain.

Baca juga:  Fatimah, Perempuan Pengarang Kitab Kuning dari Banjar

Pada abad XVII, masih dijumpai kapal niaga nan besar menjelajahi Samudera Hindia meskipun mulai mendapat pesaing dari pedagang Eropa. Dan, sebagaimana abad sebelumnya, melalui kapal dagang itulah para jamaah haji asal Nusantara bertolak ke Tanah Suci dan kembali ke tanah air.

Karena tidak dijumpainya kapal yang langsung ke Hijaz, maka jemaah haji itu terpaksa mengganti kapal pada suatu pelabuhan niaga. Meskipun kapal niaga Eropa telah mendominasi pelayaran di Samudera Hindia, jemaah haji tidak menggunakan kapal itu.

Ada beberapa peristiwa kepergian jemaah haji pribumi Nusantara ke Makkah dengan menggunakan kapal Eropa. Contohnya, atas jaminan Sunan Ageng, suatu utusan kerajaan Mataram berangkat ke Makkah dengan kapal Inggris. Walaupun ada larangan bagi kapal-kapal milik VOC untuk mengangkut pribumi Nusantara yang akan pergi ke Makkah, dalam suatu perjanjian perdamaian pada 24 September 1646, VOC menyetujui dan mengizinkan ulama yang akan berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal dagang Belanda.

Sejarawan M. Shaleh Putuhena dalam karyanya Historiografi Haji Indonesia (2007), meneroka bahwa sejak permulaan abad XVIII, armada niaga Nusantara tidak ada lagi yang berada di mintakat Samudera Hindia, Laut Merah, dan Teluk Persia.

Sejak saat itu, pelayaran di kawasan ini didominasi oleh armada niaga bangsa-bangsa Eropa. Kondisi pelayaran yang demikian disertai dengan larangan bagi kapal Belanda untuk mengangkut jamaah haji sesuai “Besluitvan 4 Agustus 1716”, sehingga menimbulkan masalah bagi mereka yang bermaksud melaksanakan ibadah haji.

Baca juga:  Antara Gereja dan Masjid: Hagia Sophia

Untuk mengatasinya, para jamaah haji pada abad XVIII secara kladestin berusaha untuk berangkat dengan kapal niaga dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain, sebagaimana yang terjadi pada masa permulaan haji.

Selain itu, sebagaimana telah terjadi pada abad lalu, saat peristiwa tertentu kapal niaga VOC terpaksa memenuhi permintaan penguasa pribumi untuk mengangkut penghulu atau ulama mereka ke Tanah Suci.

Bahtera Haji

Pada abad XIX, pemerintah Hindia Belanda yang mengambil alih kekuasaan atas Nusantara –pasca Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dibubarkan pada hari terakhir abad sebelumnya– Nampak belum juga memberi peluang bagi jamaah haji untuk menggunakan kapal Belanda ke Hijaz.

Titimangsa 1825, orang Nusantara yang bermaksud melaksanakan haji untuk pertama kalinya menggunakan kapal khusus pengangkut jamaah haji yang disiapkan oleh Syaikh Umar Bugis. Sejak saat itu, transmisi jemaah haji dilaksanakan dengan menggunakan kapal haji milik seorang syekh.

Abdullah bin Abdulkadir Munsyi ketika berangkat ke Tanah Suci pada 1273 H./1854 M., pergi dari Singapura dengan menggunakan kapal Subulassalam milik Syaikh Abdul Karim.

Setelah mengetahui jumlah jemaah haji Nusantara semakin meningkat pada medio kedua abad XIX, Inggris mulai memasuki bisnis pengangkutan haji Nusantara. Tahun 1858, sebuah kapal Inggris muncul di Batavia untuk memuat jamaah haji Nusantara (lihat Kisah Pelayaran Abdullah [1960], hlm. 127).

Jikalau selama ini jemaah Nusantara menggunakan kapal layar (zeilschip), maka mulai tahun itu (1858) mereka menggunakan kapal uap (stoomschip). Orang Arab di Batavia ikut memanfaatkan peluang bisnis pengangkutan jemaah haji Nusantara ini.

Mereka telah membeli sebuah kapal api dari firma Besier en Jonkheim untuk mengangkut penumpang dari Batavia lewat Padang langsung ke Jeddah dengan kapasitas 400 jemaah. Pengangkutan dua kali setahun dengan harga tiket dari Batavia sebesar $60, sedangkan dari Padang $50, atau f105 lebih murah tinimbang dengan kapal layar.

Baca juga:  Sufi Perempuan: Hafshah binti Sirin

Belanda rupanya tak mampu menahan syahwat untuk tidak ikut serta dalam usaha pengangkutan jemaah haji Nusantara yang cukup menjanjikan keuntungan. Oleh sebab itu, pasca pembukaan Konsulat Belanda di Jeddah pada 1872, dan peresmian penggunaan Terusan Suez dua tahun sebelumnya, Belanda mulai ikut menyerikati bisnis pengangkutan jamaah haji.

Tahun 1873, pemerintah Belanda memberikan kontrak kepada tiga perusahaan pelayaran, yaitu Nederland, Rotterdamsche Lloyd, dan Oceaan, yang di Nusantara terpegah dengan julukan Kongsi Tiga untuk mengangkut jemaah haji Nusantara.

Namun, meskipun Kongsi Tiga telah mengoperasikan sejumlah kapalnya untuk mengangkut jemaah haji Nusantara, sampai akhir abad XIX lebih banyak jemaah haji Nusantara yang menggunakan kapal haji milik perusahaan Inggris dari Singapura.

Tentu dengan pengecualian beberapa tahun tertentu, jemaah Nusantara lebih banyak berangkat dengan kapal haji milik perusahaan Belanda.

Sejak 1873 hingga 1879, ternyata masih sangat sedikit jemaah haji dari Hindia Belanda yang langsung ke Laut Merah diangkut dengan kapal Belanda. Baru pada 1885, banyak (61%) jemaah haji Nusantara yang menggunakan kapal Belanda.

Setelah itu, sampai dengan tahun 1900, perusahaan Inggris dari Singapura mendominasi pengangkutan jemaah haji Nusantara, kecuali hanya beberapa tahun tertentu diyurisdiksi oleh perusahaan Belanda. Boleh jadi, musim haji yang jamaahnya lebih banyak menggunakan kapal Belanda disebabkan oleh berlengkesanya jamaah haji yang berasal dari daerah yang selama ini berangkat melalui Singapura.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top