Albercht von Haller, seorang musafir, ilmuan dan filsuf besar Swiss, menulis pada pertengahan abad XVIII, “Untuk bisa memakzulkan prasangka, tiada yang lebih baik dari melakukan perkenalan dengan banyak orang dari pelbagai latar belakang agama, adat, hukum, dan pemikiran–sebuah keberlainan yang karena kecilnya usaha yang kita lakukan, telah membuat kita belajar untuk membuang jauh-jauh apa yang membuat orang berbeda, dan menganggap segala hal yang orang setuju tentangnya sebagai suara alam: karena hukum pertama alam pada hakikatnya sama untuk semua orang… Tidak menyakiti orang, tetapi memberikan setiap orang haknya” (Kapuscinski, 2012: 67). Respendeo ergo sum. Saya ada karena saya bertanggung jawab atas orang lain.
Seturut dengan refleksivitas ala Albercht von Haller di atas, dalam tulisan ini, saya ingin mengulas kilas sekejap tentang pandangan agama Yahudi terhadap ajaran Kristen dan Islam, guna menawarkan cerminan (sejarah teologi) kepada sidang pembaca. Setidaknya, hal ihwal ini bisa berfaedah sebagai fondasi kita dalam berdialog antaragama yang harmonis dan tanpa syakwasangka.
Menurut F.E. Peters dalam karyanya, The Monotheists: Jews, Christians, and Muslims, in Conflict and Competition. Volume I: The Peoples of God (2003: 47-81), meneroka dengan cerkas bahwa kritik agama Yahudi terhadap agama Kristen jelas memengaruhi sejumlah bid’ah Kristen belakangan–dan juga teologi Islam.
Pertama, dan barangkali yang paling peka bagi seluruh Timur Tengah adalah masalah sangat penting tentang sifat Mesias: sementara umat Nasrani percaya bahwa Yesus adalah Mesias yang kedatangannya telah diramalkan dalam Perjanjian Lama, orang-orang Yahudi menolak Yesus sebagai Mesias itu.
Di mata sebagian orang Kristen, umat Yahudi adalah bidah paling buruk di antara semuanya, karena mereka benar-benar menyangkal apa yang konon telah diramalkan dalam kitab mereka sendiri–kedatangan Mesias.
Para pemuka agama Yahudi pada umumnya menolak argumen itu, dengan mengklaim bahwa amatlah jelas bahwa Yesus bukanlah Mesias yang telah diramalkan dalam Perjanjian Lama.
Mereka mengatakan bahwa Mesias sejati haruslah memenuhi sejumlah nubuat mesianik khusus agar dikenali sebagai Mesias: dia haruslah dilahirkan dari garis laki-laki Raja Daud (Yesus konon terlahir atas kehendak Tuhan Bapa); dia harus memenuhi Hukum Taurat (Yesus jelas tidak melakukan ini dan malah berusaha untuk mengubahnya).
Mesias sejati juga akan mengantarkan sebuah zaman perdamaian dunia tatkala kebencian dan penindasan akan berhenti–hal yang tidak terjadi.
Perjanjian Lama melukiskan Mesias memenuhi nubuat-nubuat ini segera dan bukan setelah “Kedatangan Kembali”, perihal yang tidak disebut-sebut dalam Perjanjian Lama.Umat Yahudi juga tidak menerima gagasan bahwa umat manusia dapat diselamatkan melalui pengorbanan Yesus, atau oleh siapa pun, melainkan hanya melalui hidup yang benar, sebagaimana diperintahkan oleh Hukum Yahudi.
Selanjutnya, Yudaisme mengkritik keras Yesus karena dianggap telah mencemari monoteisme Yahudi, memecah belah umat Yahudi, dan memperlemah agama Yahudi.
Dalam biografi Maimonides yang disusun oleh Sarah Stroumsa, Maimonides in His World: Portrait of A Mediterranean Thinker (2009), filsuf dan teolog besar Yahudi di Abad Pertengahan, Maimonides, yang tinggal di Andalusia (Spanyol) pada masa kekuasaan Islam, tidak berusaha memperhalus kata-katanya ketika mengomentari Yesus:
Orang pertama yang memiliki rencana ini [menghapus semua jejak bangsa Yahudi] adalah Yesus orang Nazaret, semoga tulang belulangnya remuk menjadi debu …. Dia memaksa orang percaya kepadanya yang diutus oleh Allah untuk menjelaskan kekaburan-kekaburan dalam Taurat, dan bahwa dia adalah Mesias yang telah diramalkan oleh setiap nabi.
Dia menafsirkan Taurat dan perintah-perintahnya dengan begitu rupa sehingga menjurus pada pembatalan seluruh isinya, penghapusan pelbagai perintahnya, dan pelanggaran larangan-larangannya. Para bijak, yang kenangan mereka teberkati, setelah menyadari rencana-rencananya sebelum namanya tersebar di antara bangsa kami, menerapkan hukuman yang setimpal baginya (Straumsa, 2009: 43).
Demikianlah, dari sudut pandang Yahudi, argumen-argumen ini menolak argumen Kristen, bahwa secara sengaja orang-orang Yahudi menolak Mesias yang telah diramalkan bagi mereka dalam Perjanjian Lama. Para pengkritik ini menabalkan bahwa amatlah jelas bagi para pemuka Yahudi: Yesus tidak memenuhi kualifikasi Mesias yang telah diramalkan bagi mereka.
Islam sebetulnya dalam perihal ini berposisi di tengah-tengah dengan mengakui Yesus sebagai seorang Nabi Allah yang besar, yang memang melakukan mukjizat-mukjizat dan sungguh terlahir dari Perawan Maria. Surah kesembilan belas Alquran adalah Surah Maryam [bahasa Arab untuk Maria].
Maria lebih banyak disebut-sebut tinimbang perempuan lain mana pun dalam Alquran–lebih banyak daripada dalam Perjanjian Baru sendiri; ia adalah tokoh perempuan yang paling terhormat dalam Islam.
Akan tetapi menurut Islam, Yesus bukanlah Tuhan, ataupun Anak Allah secara harfiah, melainkan melainkan seorang nabi manusiawi yang menerima ilham Ilahi. Allah itu tegas-tegas Esa. Bagi umat muslim, setiap penyangkalan Yesus sebagai nabi besar melanggar keyakinan-keyakinan Islam itu sendiri; umat muslim, misalnya, selalu menyatakan bahwa karya-karya seni yang melecehkan Yesus adalah suatu bentuk hujatan. Alquran menyebut Yesus sebagai “Firman Allah”, “Ruh Allah”, dan “Ayat Allah”. Tidak ada penyebutan yang merendahkan tentang Yesus dalam Alquran. Oleh karena itu, kecaman Yahudilah yang lebih keras terhadap Yesus, tinimbang Islam (Peters, 2003: 58-9).
Yudaisme juga tidak mengakui Muhammad sebagai nabi. Namun, hubungan antara Islam dan Yahudi, anehnya, jauh lebih dekat dalam hal ajaran ketimbang hubungan kedua agama itu dengan agama Kristen. Baik agama Yahudi maupun Islam sangat ketat sifat monoteistiknya, dan keduanya menyatakan keesaan Allah beberapa kali dalam doa-doa harian. Baik orang-orang Yahudi maupun Arab adalah bangsa-bangsa Semit yang telah lama berbagi ruang dan sejarah bersama, dan berwicara dengan bahasa-bahasa yang erat berkelindan (Peters, 2003: 100).
Baik Islam maupun Yahudi sangat kuat berlandaskan hukum; keselamatan pribadi dicapai melalui pelaksanaan hukum itu dalam kehidupan. Keduanya memiliki peradilan-peradilan komunitas untuk memutuskan banyak perkara sesuai dengan hukum agama. Agama Yahudi menegaskan bahwa Allah tak dapat dilukis atau dipersonifikasikan, dan bahwa Dia tidak memiliki bentuk manusiawi. Dengan tegas Islam mengajarkan hal yang sama: Allah itu bukan berbentuk manusiawi (antropomorfik).
Oleh sebab itu, bagi orang-orang Yahudi maupun Islam, kesenian Kristen terasa sangat mengejutkan, kalau bukan menghujat, dengan penggambarannya tentang Tuhan tanpa sungkan, langsung, dan mendetail dalam pelbagai gaya–lazimnya sebagai seorang kamitua berkulit putih dengan janggut putih dan berjubah putih–serta dengan berlimpahnya gambar-gambar Yesus dalam beragam bentuk tubuh dan afiliasi budaya.
Baik Yudaisme maupun Islam memiliki banyak aturan yang sama tentang ritual makanan, penyembelihan binatang, larangan makan babi, dan ritual kebersihan–sungguh, aturan-aturan Islam banyak melanjutkan ajaran agama Yahudi, tetapi sangat menyederhanakan hukum-hukum Kosher Yahudi yang demikian kompleks.
Orang-orang Yahudi Timur (Sefardim) dalam praktik agama sangat terpengaruh oleh ajaran Islam karena mereka hidup bersama dengan umat muslim selama berabad-abad.
Dan meskipun dalam sejarah berdarah homo sapiens, kaum Yahudi juga pernah menderita menderita pada kurun waktu tertentu ketika mereka hidup dalam masyarakat-masyarakat muslim, para pemuka Yahudi kiranya nyaris sepakat bahwa komunitas dan budaya Yahudi bernasib jauh lebih baik selama berabad-abad di bawah panji Islam tinimbang di bawah agama Kristen.
Arkian, terciptanya negara Israel pada 1948, yang menyediakan tanah air bagi orang-orang Yahudi setelah pengalaman Holocaust yang mengerikan di tanah Eropa–tetapi dengan pengorbanan mengerikan bagi rakyat Palestina–merupakan sebuah titik balik yang dramatis dan menyedihkan dalam hubungan yang kini tegang dan penuh amarah serta dendam di antara orang-orang Yahudi dan umat muslim di sana.
Sesungguhnya, hubungan yang tegang itu sekarang seluruhnya bersifat geopolitis, perebutan wilayah, dan berkaitan dengan negara Israel baru tersebut.
Yahudi itu agama suku sama seperti Islam dan Kristen?tetapi dalam ajaran Kristen di Alkitab bukanlah tentang nama Agama tetapi Kepercayaan kepada Allah melalui pengorbanan Yesus Kristus di atas Kayu Salib?sebab menurut hukum adat Yahudi di kitab Tauratnya adalah Terkutuklah orang yang di gantung di Kayu Salib sedangkan Raja Kontius Pilatus mengatakan bahwa Yesus tidak memiliki kesalahan yang setimpal dengan hukuman Mati,tetapi oleh para tua-tua Yahudi dan ahli2 Taurat Yahudi mengatakan bahwa Yesus menghujat Allah maka mereka menghukum Yesus di Salib sebab mereka sadar diri bahwa Mesias itu adalah Yesus supaya Dosa bangsa Yahudi sejak Nenek Moyang mereka berdosa dapat di Ampuni Allah?karna satu kalimat Sabda yang harus di ucapkan seorang Mesias dari mulut-Nya haruslah Bersaksi bahwa Dia datang dari Surga dan itu sudah di katakan oleh Yesus Kristus kepada Jemaat kaum Yahudi dan para saksi mata di Istana Pilatus Raja Herodes?nah adakah Kriteria si Muhamad nabi Islam mu itu datang dari Surga Allah?sedangkan si Muhamad nabi yang kalian umat Islam banggakan tidak mengenal siapa yang menemui Muhamad di dalam Gua Hira itu?Malaikat atau Setan/Hantu?sebab Malaikat bila di utus Allah Bapa Surgawi menemui Utusannya alias Nabi2-Nya pastilah Malaikat itu memberi Salam “Damai Sejahtra hai engkau yang di Berkati” tetapi tidak ada pada si Muhamad ketika Jibril karangan Islam itu saat temui si Muhamad di Gua Hira?malahan Jibril di Alquran mu menakut2in Muhamad hingga nabi mu pulang dengan keringat dingin setengah mati? Ingat Malaikat Tuhan tidak pernah untuk menakutin umat-Nya?dan yang parah lagi di kitab Alquran masih dalam keraguan sebab nabi mu Muhamad pun menanyakan kepada ahli2 Taurat Yahudi dan Nasrani siapakah yang di temui si Muhamad dalam Gua Hira itu?
Bahasanya mbingungi mas, apa pula ritual kebersihan–sungguh?