“Aku adalah anjing Ketua Mao. Apa saja yang dia suruh untuk aku gigit, kugigit,” demikian ungkapan masyhur dari seorang perempuan perkasa bernama Jiang Qing atau Chiang Chi’ing. Ia lahir dengan nama Luan Shu-meng di Provinsi Shandong, Cina, pada 1914, sebagai anak seorang tukang kayu.
Ia dibesarkan oleh kakeknya, dan di usia belasan tahun pernah belajar drama (kita harus ingat, banyak orang besar di dunia ini menyukai seni sejak kecil!). Jiang Qing kemudian belajar sastra di Universitas Qingdao, tempat ia mulai berkenalan dengan gagasan-gagasan sayap kiri.
Dengan paras yang cantik di masa mudanya, Jiang Qing ingin menjadi seorang aktris. Titimangsa 1929, ia menjadi anggota sebuah kelompok teater. Memakai nama panggung Lan P’ing di Shanghai selama 1930-an, ia mendapat berbagai peran dalam film dan di panggung, termasuk sebagai “Nora” dalam drama A Doll’s House karya Hendrik Ibsen.
Pada 1937, ketika Jepang menyerang Shanghai, Jiang Qing melarikan diri ke ibukota Pemerintahan Nasionalis China di masa perang, dan bekerja di Studio Film Pusat yang dikontrol pemerintah. Ia kemudian ke luar dari wilayah kaum nasionalis dan bergabung dengan kubu komunis yang bermarkas di Yan’an.
Di Yan’an, Jiang Qing mulai belajar teori Marxis-Leninis secara formal dan menjalani wajib militer. Ia juga bekerja sebagai instruktur drama di Akademi Seni Lu Hsun. Di sinilah ia bertemu dengan Mao Tse Tung, ketika Mao suatu ketika datang berkunjung ke akademi itu.
Mao begitu takjub akan kecantikan, karakter dan kepercayaan diri Jiang Qing, sehingga dia menceraikan isteri keduanya untuk menikahi Jiang Qing, sekalipun Partai tidak setuju. Namun Mao menerima satu kesepakatan dengan Partai, bahwa isteri barunya ini tidak akan terlibat dalam politik.
Selama tiga puluh tahun, Jiang Qing memang menjauhi arena politik dan hanya bertindak sebagai pendamping Ketua Mao ketika menjamu tamu-tamu kenegaraan. Kiprah publiknya hanya sebatas mengetuai beberapa komite kebudayaan.
Namun, ia bukannya tidak punya pandangan politik pribadi atau ambisi akan kekuasaan. Hal ihwal ini baru tampak selama 1960-an, ketika Jiang Qing secara perlahan mulai tampil selama bergulirnya Revolusi Kebudayaan.
Menurut sejarawan Roxane Witke (1977), tahun 1959, kepercayaan terhadap kepemimpinan Mao menurun setelah mega proyek industrialisasi China, program “Lompatan Jauh ke Depan” yang dicanangkannya, gagal. Kegagalan ini mengakibatkan malapetaka bencana kelaparan besar yang menewaskan jutaan penduduk China.
Dari kediaman pribadinya yang dijaga ketat, Mao mulai menyusun rencana kampanye pemerintahannya yang terakhir, yakni Revolusi Kebudayaan, yang didorong oleh isteri dan para pendukung sayap kirinya. Ketika Mao mulai berselisih dengan partai, maka Jiang Qing tidak lagi merasa terikat dengan kewajiban untuk menjauhi politik.
Sepanjang 1960-an, Jiang Qing membangun peran politiknya sendiri selaku individu, bukan sebagai “Madame Mao”. Perihal ini tercermin dari terpilihnya Jiang Qing sebagai anggota Politbiro, lembaga yang paling berkuasa di China pada masa itu.
Tujuan Revolusi Kebudayaan adalah “menghancurkan para kapitalis yang berkuasa, mengkritisi para otoritas borjuis reaksioner di bidang ilmu pengetahuan, mengubah pendidikan, serta merombak kesusastraan dan seni.” Kamerad Jiang Qing secara giat menyerang segala pengaruh feodalisme dan borjuisi dalam dunia seni dan kesusastraan China.
Jiang Qing dan para tokoh radikal lainnya ingin menjauhkan seni dari segala obsesi terhadap subjek-subjek seperti monarki, percintaan, dan kecantikan. Ia mencorong diciptakannya bentuk-bentuk kesenian baru yang mengusung tema protelariat dan revolusioner.
Namun, dalam perkembangannya program perubahan ini tidak terbatas pada pengubahan bentuk-bentuk kesenian saja, melainkan juga menjadi kendaraan untuk menekan, menyiksa dan membunuh ribuan seniman dan intelektual.
Sebagai salah satu dan sedikit orang yang masih dipercayai Mao, Jiang Qing diangkat menjadi Deputi Pertama Kepala Revolusi Kebudayaan. Posisi ini memberinya kekuasaan yang sangat besar, yang ia gunakan untuk menindas pelbagai kegiatan kebudayaan, baik yang politis maupun tidak, dan menyebarkan teror ke seluruh China. Ia juga memanfaatkan kekuasaannya untuk melakukan balas dendam pribadi terhadap musuh-musuh politiknya.
Deng Xiaoping, pemimpin senior China pasca kematian Mao, adalah salah seorang anggota partai yang secara fisik pernah dianiaya dan dipermalukan oleh Jiang Qing. Selain itu, Jiang Qing juga melecut Tentara Merah dengan pidato-pidato keras yang hanya mengakibatkan terjadinya kekerasan di seluruh penjuru China pada masa itu.
Tentara Merah secara acak membunuh orang-orang yang dianggap sebagai “kontra-revolusi”. Mereka juga menghancurkan bangunan keagamaan, artefak kuno, lukisan, patung dan perpustakaan. Siapa pun yang diberi label intelektual, jiwanya terancam.
Tidak jelas apakah Mao mendukung sepak terjang Jiang Qing secara aktif ataupun pasif. Seiring dengan kian merosotnya kondisi kesehatan Mao, kekuasaan Jiang Qing terus bertambah, meskipun ia dibendung oleh Perdana Menteri Zhou Enlai yang lebih moderat.
Kekuasaan Jiang Qing mulai pudar pada akhir 1960-an. Namun, meskipun dibenci oleh banyak orang, ia aman selama Mao masih hidup. Menjelang kematiannya, Mao menunjuk Hua Guofeng sebagai penggantinya. Hua bukan pilihan Jiang Qing ataupun anggota “Kelompok Empat” lainnya. Kelompok Empat ialah nama yang diberikan oleh kalangan moderat China kepada kelompok simpatisan Jiang Qing.
Beberapa minggu sebelum kematian Mao pada September 1976, Kelompok Empat merencanakan kudeta. Namun mereka dibendung oleh lawan-lawan politik mereka yang berpikir cepat. Poster-poster berisi tuduhan terhadap Kelompok Empat bermunculan di seantero negeri.
Pada Oktober 1976 mereka ditangkap. Digambarkan di koran dengan kartun yang mengerikan, Jiang Qing menjadi objek utama propaganda menentang Kelompok Empat. Masalah ini mungkin diperkuat oleh sikap mendua China terhadap perempuan, khususnya terhadap keterlibatan mereka dalam politik.
Hingga kini, Jiang Qing masih dibenci karena teror yang disebabkannya di China. Kelompok Empat dituduh merongrong pemerintahan dan “menjebak serta membunuh” ribuan orang yang tak bersalah. Pengadilannya yang dramatis disiarkan melalui televisi.
Jiang Qing dengan marah menyatakan bahwa dirinya hanya menjalankan perintah Mao. Ia bahkan menantang pengadilan untuk menjatuhinya hukuman mati. Beberapa kali ia harus disingkirkan dari kursi terdakwa karena membuat keributan.
Hukuman mati yang dijatuhkan atasnya diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup. Hukuman terberat baginya mungkin adalah menyaksikan musuh lamanya, Deng Xioping, mulai mentransformasi negeri yang pernah diperintahnya beberapa lama.
Jiang Qing gantung diri ketika dibebaskan dari penjara pada 1991 untuk menjalani pengobatan kanker tenggorokan. Kematian perempuan yang pernah masyhur itu, nyaris tidak diberitakan oleh koran-koran di China.
Pada 1984, biografinya terbit dengan judul The White-Boned Demon. Buku ini melukiskan dirinya sebagai sosok perempuan yang penuh amarah, jahat, pendendam, kejam, dan lemah secara emosional. Demikianlah tampaknya sejarah China mengenangnya.
Adapula yang mengatakan bahwa sepak terjangnya bermula dari niat yang murni untuk membela Sosialisme. Jiang Qiang masih memiliki pengagum di kalangan Komunis garis keras. Namun bagi kebanyakan orang, ia adalah contoh nyata dari adagium sejarawan Inggris Lord Acton:
“Semua kekuasaan korup dan kekuasaan mutlak pasti korup”.