Mengapa umat manusia begitu terobsesi dengan kebersihan? Sejak kapan hal ihwal ini berwujud dalam ide dan praktik? Nilai apa yang mendorong manusia untuk bersih? Apa fungsi air? Dan di mana posisi agama?
Sejarawati Virginia Smith berusaha meneroka masalah yang kompleks ini dalam karyanya, Clean: A History of Personal Hygiene and Purity (Oxford University Press, 2007). Buku ini membahas tentang aspek penting dari kehidupan kita (yang memengaruhi tubuh kita setiap harinya): kebersihan. Norma-norma yang dianggap mengatur hidup secara bersih dan baik, ditentukan oleh masyarakat dan budayanya. Selain itu, manusia belajar untuk menciptakan “sejarah sosial dan kebudayaan”-nya, perihal pengobatan dan pencegahan atas berbagai penyakit.
Buku ini juga menambahkan dimensi temporal, bagaimana masyarakat dan budaya mereka merasa miliki (kembali), yakni hal-hal yang ditafsirkan berkaitan dengan kebersihan dan kemurnian. Ia menganggap tiga–atau bahkan empat–dimensi historis yang tersusun di atas satu sama lain, lestari melintasi waktu.
Kebersihan, menurut Smith, merupakan obsesi kuno dalam diri manusia yang bias akan maskulinitas, yang primordial, “neolitik”, dan wujud cinta atas estetika. Kemurnian pada aktivitas kebersihan lebih merupakan masalah “ciptaan manusia” itu sendiri, namun ia juga terletak di dalam relung jiwa, lebih pada tingkat psikologis daripada soal ragawi atau biologis.
Saat ini, rasa kemurnian itu dihasilkan dan disempurnakan oleh ideologi agama atau konsep supranatural terhadap kesempurnaan Ilahi (sakral) dan kotoran (profan). Konsep itu, secara sosial ditahbiskan dalam khasanah kebinatangan dan dunia material. Menurut Smith, kebersihan lebih berkaitan dengan kebajikan dan “politik kesehatan”.
Kesalehan
Banyak di antara kita yang diajari bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman (kesalehan). Melalui kemurnian dan kebersihan, tubuh secara material bisa menyatu secara holistik dengan alam Ilahi. Alih-alih, seperti yang dipelajari, manusia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk merawat tubuh. Dogma agama pada saat yang sama padahal benar-benar membenci asosiasi yang sangat dekat, antara kebahagiaan atas kebersihan dengan keindahan, tubuh perempuan, dan jenis kelamin.
Akibatnya, agama tidak hanya berusaha menghapus jejak-jejak sejarah perawatan tubuh dan kecantikan dari catatan peradaban Eropa, namun pasca munculnya ilmu-ilmu positivis, seperti demografi misalnya, yang berkonsentrasi pada fakta dan angka kelahiran, kematian, dan peningkatan populasi, telah mengurangi catatatan perihal kesehatan publik atau swasta dengan faktor demografis yang begitu kecil.
Kebersihan sekarang hanya menjadi jejaring penting untuk kelangsungan hidup, ia (telah) terserabut dari konteks sejarah, sosial, dan budaya. Terlepas dari gerakan kesehatan secara linear maju menuju utopia “kebersihan”, namun masalah ketidakbersihan, kenajisan, dan hidup yang tak sehat belum juga lenyap dari muka bumi. Ia bertumpang-tindih dalam ruang dan waktu, dan kebersihan berurusan dengan beragam fenomena seperti kesehatan. Kita perlu sebuah panggung sejarah untuk menjelaskan semua kesinambungan dari masalah ini.
Air
Air adalah mineral terpenting yang digunakan, terus dimanfaatkan, dan memiliki peran sentral dalam kebersihan privat era modern. Air minum yang bersih adalah kebutuhan utama manusia, bahkan untuk peradaban paling kuna sekalipun. Manusia telah menggunakan air untuk mencuci dan mandi sejak masa Neolitik.
Bahkan, beberapa teknologi Neolitik akhir telah membahas problem pasokan air untuk rumah tangga dan drainase, pengangkutan dalam kulit, tanah, atau kerangka kontainer, dan pemanasan serta merebus air dalam jumlah besar pada batu-batu panas.
Ritual mandi (bersuci)–terutama di sumber air panas alamiah–harus dilakukan setelah selesai melakukan “pemijatan” atau mandi keringat (sauna). Bersauna panas terus memberikan relaksasi, detoksifikasi, dan “waktu yang baik”, serta dianggap sebagai momentum untuk membersihkan “bagian paling sensitif” (tabu) dari tubuh manusia.
Memang, sejarah kebersihan melingkar dan tetap belum selesai, karena faktor kemurnian dan polusi yang diasumsikan secara fisik dalam air dan diwujudkan dalam praktik politik atas tubuh–seperti dalam sistem kasta dalam agama Hindu kuno India–yang melarang kasta atas mengkonsumsi air minum yang telah tersentuh oleh kasta yang lebih rendah.
Hal ihwal itu juga terpatri dalam bidang perawatan tubuh khas iklim tropis–dan kebersihan, tidak berarti hanya soal pemurnian fisik belaka, namun juga berkaitan dengan hiasan kosmetik yang menjadi perlambang status sosial dan kekayaan seseorang. Kebersihan secara bertahap diperluas dari sentuhan tubuh untuk visi, kepada soal aroma (bau) dan perhiasan. Resep kosmetik yang berkhasiat dan sehat, diyakini, dan memang beberapa seni perawatan yang berhubungan dengan penduduk perkotaan kota-kota kuno masih berdiri sampai saat ini dalam bentuk: tato.
Prestasi terbesar Smith dalam buku ini adalah untuk membawa kita ke dalam diskusi meta-naratif ihwal asketisme agama, bahwa kebersihan menjadi salah satu bagian dari invensi budaya Eropa pasca jatuhnya Roma. Para filsuf konservatif, menganjurkan kewajiban moral “kenalilah dirimu sendiri”, menjadi lebih penting daripada tugas higienis sekuler “menjaga diri sendiri”.
Yang menjadi benang merah dalam cerita-cerita dan kontra-narasi dalam buku ini adalah “air”, atau kekudusan Ilahi yang terwujud sebagai “air” yang dipercikkan pada tubuh nan murni, guna membersihkannya dari segala kotoran. Bahkan di kemudian hari banyak kekhawatiran populer dalam fisiologi kontemporer atau kesehatan yang telah berkonsentrasi pada pemandian umum dan tempat mencuci pakaian publik–rumah bagi masyarakat miskin, atau sanitasi dan air untuk kota-kota kumuh.
Meskipun sepuluh bab dari buku ini disusun sesuai dengan waktu berurutan, dan beberapa halaman terakhir diduga melihat tren masa depan, Smith jelas memunculkan sejumlah kesamaan dan kait-kelindan tema guna melintasi batas-batas temporal. Yang pertama adalah bagaimana, di hampir setiap pokok bahasan, dimulai dengan kebersihan tubuh, tetapi bergerak di luar itu–soal inner beauty, kesehatan batin, atau bahkan ke dalam lingkup metafora prestise sosial yang diekspresikan melalui tubuh.
Yang kedua adalah Smith terampil menenun tema-tema yang (sebenarnya) bertentangan ihwal kebersihan–bagaimana reaksi penolakan atas kebersihan fisik oleh beberapa pihak, juga bisa berarti roda pertarungan guna mencapai status yang lebih tinggi atau intervensi negara, daripada penubuhan ragawi yang dapat membawa kita–dalam ajaran Agama Kristen dan agama-agama lain.
Kesamaan terakhir–dan saya sendiri, sebenarnya berharap ini dieksplorasi secara lebih rinci daripada ruang yang diberikan oleh Smith dalam Clean–tentang peran air sebagai pembersih, penghantar, dan manifestasi dari kebersihan. Air ialah wujud budaya, pusat konsumsi untuk membuka beberapa misteri masyarakat kontemporer dan untuk membongkar kebersihan dan normalitas dalam kehidupan.
Pada awal bukunya, Smith mengakui perspektif Eurosentrisme-nya. Jadi kita tidak benar-benar mengharapkan untuk menyimak diskusi rinci, perihal bagaimana masyarakat dan budaya liyan di luar Barat, yang dianggap sebagai fenomena kebersihan dari waktu ke waktu (kecuali sepintas lalu).
Jika Smith memikirkan kembali salah satu aspek dari buku ini, mungkin lebih menguntungkan jika ia mulai diskusinya tentang seks dan gender, mengambil perbedaan antara tubuh laki-laki dan perempuan sebagai titik awal. Melihat kebersihan sebagai praktik yang sangat gender sepenuhnya, akan membuka beberapa pemandangan yang statis, dan hanya sedikit menyentuh atau bahkan terabaikan, seperti yang dipaparkannya dalam Clean.