Ibu pertiwi berduka. Dr. Djohan Effendi, pejuang toleransi yang militan itu berpulang ke pangkuan-Nya di Geelong, Australia, pada Jumat, 17 November 2017, dalam usia 78 tahun. Semasa hidup, ‘Sang Pelintas Batas’ secara konsisten berjuang untuk membangun dialog dan perdamaian antaragama/iman.
Selain itu, Djohan Effendi yang lahir di Kandangan, Kalimantan Selatan pada 1 Oktober 1939, juga dikenal dekat dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan cukup intens mengamati perkembangan Islam Nusantara, khususnya Nahdlatul Ulama.
Sebagai bukti dari warisan intelektualnya, Djohan pernah meneliti dan menulis disertasi untuk meraih gelar doktor di Universitas Deakin, Geelong, Australia tentang NU semasa kepemimpinan Gus Dur.
Karya mantan Sekretaris Negara era Presiden Abdurrahman Wahid ini kemudian diterbitkan dengan judul A Renewal Without Breaking Tradition: The Emergence of the New Discourse in Indonesias Nahdlatul Ulama during The Abdurrahman Wahid (2008),–edisi bahasa Indonesia-nya berjudul Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan di Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur (2010).
Djohan menganalisa bahwa telah terjadi perubahan besar di lingkungan Nahdlatul Ulama sejak kembali ke Khittah 1926. Hal ihwal ini diawali oleh keterpilihan Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU.
Gus Dur telah memberi inspirasi kepada kiai-kiai muda NU untuk terlibat dalam wacana keagamaan secara kritis. Lebih dari itu, Gus Dur menjadi benteng bagi pemikiran-pemikiran kritis di kalangan generasi muda NU dari serangan generasi kamitua.
Keputusan Muktamar NU di Situbondo pada 1984 untuk kembali ke Khittah 1926 dan memilih pasangan Kiai Ahmad Siddiq (1926-1991) sebagai Rais Am dan Abdurrahman Wahid (1940-2009) sebagai Ketua Umum PBNU, membuka lembaran baru bagi NU untuk perkembangan selanjutnya.