Sejak dulu kala, jemaah haji asal tanah air merupakan sasaran teratas bagi aksi tipu-tipu. Alkisah, para jemaah haji Nusantara pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20 diperas oleh penduduk Arab sana, baik oleh syekh dan mutawif maupun pedagang, orang Badui dan lain-lain tanpa ampun.
Orang Arab memakai julukan yang menghina untuk menunjukkan orang Jawi (Nusantara) itu, yakni farukha (jamak lema farkh, “ayam itik”) dan baqar, sapi. Lema-lema serupa dikutip oleh orang lain ihwal keadaan tahun 1920-an: “Tak heran jika di mata orang Arab, semua orang Melayu dan Jawa … adalah ‘sapi perah’!”, tulis Abdul Majid. “Setiap jemaah itu tak ubahnya dengan kambing-kambing,” ujar Hamka.
Menurut van Dijk, yang saya baca dalam catatan Chambert-Loir, haji Indonesia adalah jemaah yang paling ditelanjangi bulat.
Pemerasan para haji sebenarnya tidak terbatas pada orang Nusantara atau pada zaman modern. Jauh sebelumnya, pada abad ke-12, Ibnu Jubayr telah dengan geram mencatat bahwa orang Hijaz menganggap layak untuk mengeksploitasi semua orang asing, termasuk yang menunaikan ibadah sekalipun. Tulisnya,
Kebanyakan orang Hijaz dan tetangganya terpecah atas pelbagai sekte dan fraksi. Mereka tidak mempunyai iman apa pun dan menganut macam-macam ajaran. Mereka memperlakukan para jemaah haji dengan cara yang tidak berani mereka pakai terhadap orang jajahan, karena buat mereka, menganggap jemaah sebagai salah satu sumber nafkah utama buat mereka, maka mereka merampas segala hartanya dan senantiasa mempunyai alasan untuk mengambil segala miliknya. Jemaah haji terus-menerus diharuskan membayar berbagai macam pajak, sampai saat rahmat Allah Swt mengizinkan dia pulang ke negerinya. (…..)
Negeri yang paling pantas disucikan oleh pedang dan dibersihkan dari pelbagai noda dan kotorannya oleh darah yang ditumpahkan fisabilillah tak liyan dari Hijaz, karena di situlah timbul niat untuk mencemarkan kehormatan agama Islam dan membahayakan kehidupan dan harta para jemaah haji. (Ibn Jubayr 1995: 109-10).
Amir Mekkah Memeras Jemaah Haji
Amir Mekkah-lah, ujarnya, yang pertama memeras para haji, meskipun Sultan Mesir Sulaiman melimpahkan harta ke Hijaz, justru untuk meringankan pajak atas haji. Menurut Ibn Jubayr, situasi yang memalukan ini merupakan alasan yang sah untuk mengurungkan kewajiban berhaji.
Dengan sedikit perubahan dari waktu ke waktu, keadaan ini kemudian berlanjut sampai pendirian Kerajaan Saudi pada awal abad ke-20. Namun, orang Jawi merupakan sasaran empuk bagi pelbagai jenis oknum yang terlibat dalam organisasi dan pelaksanaan ibadah haji.
Deskripsi yang paling sistematis dan menyedihkan untuk masa akhir abad ke-19 terdapat laporan Snouck Hurgronje (1931). Dia menggarisbawahi kebodohan (atau ketidaktahuan) para jemaah, yang disuruh melakukan macam-macam ziarah dan pelbagai ritus aneh, mahal, dan melelahkan karena mereka tidak mengetahui ritus-ritus mana sebenarnya yang membentuk ibadah haji.
“Kerumunan jemaah dibagi-bagi seperti ternak di antara berbagai syekh yang telah membeli suatu lisensi, tanpa sedikit pun memperhatikan keinginan mereka masing-masing. … Penggundulan domba-domba mulai di Jeddah. Lema domba itu digunakan lebih jauh (misalnya, “domba Jawah digunduli oleh berbagai penggundul”,) bersama lema ternak,” tulis Hurgronje.
Menurut Henri Chambert-Loir, para jemaah haji Nusantara menjadi sasaran istimewa karena umumnya tidak menguasai bahasa Arab dan tak mengetahui rukun, kewajiban, dan sunah haji. Apalagi mereka sering naif, pasrah, dan mudah percaya.
Perilaku Jemaah Haji dari Nusantara
Orang kita, jemaah haji yang datang dari Nusantara, cenderung mengagumi segala sesuatu yang Arab. Tidak hanya itu, jemaah kita menghina segala sesuatu yang Melayu; mereka merendahkan kebudayaan mereka sendiri, mereka merasa yakin berasal dari suatu peradaban yang hina-dina, dan menganggap perlu membersihkan diri dari pelbagai kenistaan itu: banyak di antara mereka yang minta disemburkan dengan air Zamzam tiga kali: setibanya di Mekkah, waktu berangkat ke Madinah, dan ketika mau pulang, setiap kali tentunya dengan membayar imbalan (Chambert-Loir).
Seorang wartawan Indonesia yang mengomentari ibadah haji pada 2006, satu abad lebih pasca Snouck Hurgronje, meneroka bahwa masih ada jemaah haji buta huruf bahasa Indonesia, yang tidak tahu apa-apa tentang ibadah yang mau mereka lakukan; “dalam jamaah haji Indonesia jumlahnya tidak sedikit dan dari pelbagai suku bangsa Nusantara,” tulisnya (Sustiwi 2006: 95-9). Fakta ini membantu kita membayangkan situasi pada akhir abad ke-19.
Salah satu jenis penipuan menyangkut bekal uang yang dibawa masing-masing jemaah. Dengan pelbagai alasan mereka disuruh mempercayakan uang itu kepada syekh haji, terutama uang titipan dari keluarga dan kenalan di tanah air, baik sebagai amanah (misalnya untuk seorang kerabat yang tinggal di Mekkah, untuk membayar hutang, atau sebagai hadiah kepada seorang guru atau mursyid) atau sebagai biaya badal haji (untuk menggaji orang yang akan menunaikan haji atas nama orang lain). Hatta, uang itu susah diperoleh kembali, sering dipotong komisi atau disalahgunakan.
Arkian, pada 1924, R.A.A. Wiranatakoesoema memberikan contoh kenaifan sementara jemaah Indonesia, sampai-sampai ada jemaah haji yang disuruh membeli tiang Masjidil Haram dengan harga yang sangat tinggi untuk kemudian diwakafkan ke masjid itu.
Demikianlah tiang yang tidak pernah bergerak dengan cara magis itu menghasilkan sejumlah uang yang tentu saja masuk ke kantong sang penipu.
(Pemuatan ulang dari tulisan tanggal 04 September 2017).