PADA awalnya, manusia mendapatkan buah kopi, hanya dengan cara kambing dan gembalanya mengunyah daun dan buah. Kemudian, daun dan buah direndam ke dalam air, seperti teh. Kopi juga ditumbuk menjadi pasta dan dicampur dengan lemak hewan dan dimakan.
Namun, tak sampai abad ke enam belas, buah kopi mulai dipanggang, ditumbuk menjadi bubuk, dan dicampur dengan air untuk menghasilkan minuman yang kita kenal sebagai “kopi”.
Kopi dapat diterima oleh para ulama, karena bubuk itu bisa membuat mereka terjaga–melalui doa-doa mereka. Kopi juga dikabarkan sebagai obat yang bisa “membantu pencernaan, menyembuhkan sakit kepala, batuk, konsumsi, basal, asam urat, dan penyakit kudis, serta mencegah keguguran.” Jadi, kopi dimulai sebagai minuman khusus, digunakan dalam cara ritual dalam ruang ritual.
Di kalangan orang kaya, kopi ditaruh di tempat yang terpisah dari rumah. Hanya orang dari kelas sosial rendahlah yang pergi ke kedai kopi. Kopi segera menjadi komoditas internasional. Dan, sampai hampir 1900-an, biji kopi Arabika menjadi primadona.
Kopi adalah tanaman atau semak yang berasal dari Afrika. Kopi pertama kali didomestifikasi di Arab, dan secara masif dikonsumsi di Eropa dan Amerika Utara. Kemudian berkembang di Asia dan Amerika Latin. Kopi, lebih dari tanaman lain, telah diikat bersama-sama oleh orang kaya dan miskin.
Bermula sebagai komoditi mewah, kopi telah menjadi kebutuhan yang sama bagi konsumen dan produsen. Dari segi nilai, adalah salah satu komoditi terkemuka yang diperdagangkan secara internasional hingga saat ini. Dan mungkin telah menjadi produk pertanian yang diperdagangkan secara internasional yang paling penting dalam sejarah, selain rempah-rempah.
Kopi, bagaimanapun juga, menjadi salah satu tanaman yang paling bertentangan dan kontroversial, sebagaimana minuman beralkohol. Ia telah dikaitkan dengan agama dan sekulerisme, kuno dan borjuis, proletar dan intelektual, perbudakan dan kebebasan, kaum buruh, dan tentu: para penggemarnya.
Kopi juga telah dituduh sebagai biang kerok penghancuran masyarakat dan merusak negara-negara berkembang.
Manusia pertama pengkonsumsi kopi telah dikaburkan oleh waktu. Tapi lewat legenda nan berlimpah, seperti pada abad kesembilan masehi, gembala kambing Etiopia yang mencicipi buah pahit yang ditinggalkan domba-dombanya, atau sekitar pedagang Arab, dan bahkan biarawan Kristen, yang pertama kali mengakui kebajikan kopi.
Kopi Arabika ditemukan pertama kali oleh penduduk pribumi Etiopia, namun buah ini senyatanya sebagian besar diabaikan, hingga kemudian orang Arab Yaman menggunakannya untuk menyeduh minuman. Walau beberapa orang Afrika minum kopi yang terbuat dari buah segar, selain dipanggang dengan mentega cair, namun di beberapa daerah, kopi langsung dikunyah. Karena tidak adanya tradisi lokal atas kopi Arabika yang dapat dikembangkan lebih luas, akhirnya membuat kopi ini menjadi tanaman eksotis, tumbuh nun jauh dari tanah kelahirannya. Memang, hanya pada abad keduapuluhlah produksi kopi Afrika menjadi substansial.
Kelompok sufi mistikus Shadhzli, di sebelah timur Etiopia (Yaman), tampaknya telah menjadi salah satu pioner untuk merangkul tanaman yang berkeliaran ini. Mereka meracik ramuan untuk menghasilkan visi memberikan jalan kepada Sang Khalik, dan mereka juga ingin tetap terjaga selama ritual sufistik di malam panjang, saat mereka berusaha untuk lebih bergairah dalam peribadatan.
Jadi, dari awal, kopi dimanfaatkan, sebagai obat sekaligus minuman sosial. Asal mulanya, kopi lebih banyak berbicara tentang efek fisik dari rasa atau keberhasilan dalam memuaskan dahaga. Seorang syekh dari tarekat sufi yang tinggal di sebuah kota bernama Mocca (Afrika), pada akhir abad empatbelas atau awal kelimabelas, mungkin yang pertama untuk memikirkan suatu teknik untuk memanggang, menggiling, dan menyeduh biji kopi.
Kopi Arabika pertama kali didomestifikasikan di pegunungan utara Yaman, dan selama dua setengah abad, praktis Yaman memegang monopoli dunia produksi kopi. Tetapi, menarik untuk dicatat bahwa di Yaman, banyak orang lebih suka mengunyah kacang atau menyeduh teh dengan sekam daripada kopi Arabika, dan sampai hari ini di Yaman, orang tidak banyak meminum kopi. Mereka lebih memilih teh atau mengunyah semak, khat, yang tidak hanya mengisi peran sosial kopi, tetapi menempati banyak lahan yang cocok untuk berbudidaya kopi.
Para pelancong Eropa pertama kali bertemu kopi di Kekaisaran Ottoman pada abad ke limabelas, namun minuman ini tidak menyebar ke Barat selama hampir duaratus tahun. Budaya muslim ini tiba-tiba menjadi hingar-bingar di Eropa sebagai bagian dari kehidupan kelas menengah yang meningkat.
Mereka mencari pusat baru sosialisasi di luar pengadilan aristokrat nan eksklusif. Kedai Kopi menjadi semacam ruang publik yang muncul, di mana orang bebas menyuarakan opini yang objektif ihwal bisnis, seni, dan politik. Ini diskusi intelektual baru yang penuh gairah; dan pada gilirannya menentang monarki absolut dan menjadi forum penting bagi pemerintahan yang demokratis.
Diperkenalkan ke Inggris sekitar 1650, pada era pengaruh puritanisme yang memuncak, kopi dengan cepat menggantikan bir di kalangan pengusaha, yang berkumpul tiap pagi. Selama mengepul cangkir kopi, mereka membaca koran dan melakukan transaksi.
Kedai kopi Edward Lloyd di London, misalnya, adalah milik seorang pedagang dan kapten kapal yang menarik, yang bertukar informasi ihwal dunia kemaritiman, dan kemudian melahirkan sebuah perusahaan asuransi terkemuka. Kaum jurnalis memiliki kedai-kedai kopi favorit mereka sendiri, dan koran yang mereka tulis, lalu dibaca publik, selalu ditemani lebih dari secangkir kopi Jawa. Kedai kopi di kota-kota bisnis berlangganan surat kabar, sehingga menyebarkan berita dan politik diskusi di seluruh penjuru negeri.
Pada abad kedelapan belas, teh secara bertahap dikalahkan kopi sebagai minuman nasional, didorong oleh kampanye iklan yang gencar dari British East India Company. Kedai kopi menawarkan tempat pertemuan bagi filsuf abad percerahan, Voltaire, Diderot, dan beberapa sastrawan yang kurang terkenal dari tanah Perancis.
Selama hari-hari bersejarah tahun 1789, Camille Desmoulins dan rekan pemimpin revolusionernya, berkumpul sambil minum kopi di gedung beratap Palais Royal, untuk merencanakan serangan terhadap Bastille dan penggulingan kediktatoran (Peristiwa Revolusi Perancis).
Sepanjang sejarahnya, kopi telah mendorong gagasan, debat, perdagangan, dan pembangunan, bahkan orang menjadi mati rasa untuk rutin dan mengekspos serta mengeksploitasinya. Kopi telah membantu untuk menumbangkan budaya, sistem sosial, dan pemerintah.
Di negara-negara pengkonsumsinya, kopi berubah dari nilai mistis dan merkatilis, untuk menjadi salah satu produk borjuis yang paling diperdagangkan di seluruh dunia. Kedai Kopi dioperasikan sebagai pusat gaya hidup borjuis untuk sastrawan dan pengusaha, serta tempat-tempat pertemuan bagi mereka yang gelisah akan perkembangan isu-isu politik aktual. Kopi menjadi bahan bakar era industri.
Di Amerika Latin, permintaan kopi yang tinggi oleh Eropa dan Amerika Utara dimulai pertama kali lewat intensifikasi perbudakan dan kemudian, di pelbagai tempat, dengan perampasan tanah desa, pengusiran penduduk pribumi, dan tenaga kerja paksa. Meskipun ada para pekebun besar, ada juga banyak petani kecil.
Kisah perihal kopi jelas hanyalah salah satu dari keanekaragaman. Geografi, sejarah, dan perlawanan lokal dikombinasikan untuk menciptakan pelbagai pengaturan sosial. Menelusuri sejarah kopi adalah untuk melacak jalur ekonomi dunia selama enam abad terakhir. Dari monopoli Asia, untuk produk kolonial Eropa, juga untuk komoditas global tumbuh di empat benua, kopi telah dikaitkan dengan produsen dan konsumen dalam kawasan yang berbeda, terbelakang dan berkembang, bebas dan diperbudak, orang kaya dan orang miskin, dan kaum borjuis dan kuno.
Konon, suatu hari seorang syekh sufi, duduk di tempat teduh di Mocca, tak pernah tahu kekuatan global apakah yang sedang bergerak ke arahnya; ketika dia meneguk secangkir kopi pertamanya yang mengepul itu.