Menelatah pentingnya Islam dalam kehidupan publik di sebagian besar dunia Arab kontemporer, sangat mudah untuk melupakan betapa sekulernya Timur Tengah pada 1981. Di hampir semua negara Teluk Arab, kecuali negara yang paling konservatif, mode Barat lebih disukai daripada pakaian tradisional.
Banyak orang minum miras secara terbuka, mengabaikan larangan dalam Islam. Lelaki dan perempuan bercampur dengan bebas di depan umum dan tempat kerja, saat semakin banyak perempuan mengenyam pendidikan tinggi dan memasuki kehidupan profesional.
Untuk beberapa orang, kebebasan pada zaman modern menandai puncak kemajuan bangsa Arab. Sementara itu, yang lain memandang pertumbuhan ini dengan gelisah, khawatir laju perubahan nan campin ini akan menyebabkan dunia Arab mencuaikan budaya dan nilai-nilainya sendiri.
Perdebatan atas Islam dan modernitas memiliki akar yang cukup dalam di dunia Arab. Carrie Rosefsky Wickham dalam bukunya, The Muslim Brotherhood Evolution of an Islamist Movement (2013), mendedahkan bahwa Hassan al-Banna telah mendirikan Ikhwanul Muslimin pada 1928 untuk melawan pengaruh Barat dan erosi nilai-nilai Islam di Mesir.
Selama puluhan tahun, Ikhwanul Muslimin menghadapi tindakan represif yang semakin keras, organisasinya dilarang oleh monarki Mesir pada Desember 1948, kemudian oleh rezim Nasser pada 1954.
Selama 1950-an dan 1960-an, politik Islam dipaksa bergerak di bawah tanah di seluruh dunia Arab, dan nilai-nilai Islam dirusak oleh negara-negara sekuler yang semakin menarik inspirasinya dari sosialisme Soviet, maupun demokrasi pasar bebas Barat.
Namun, tindakan supresif hanya memperkuat tekad Ikhwanul Muslimin untuk melawan sekulerisme dan menyampaikan nilai-nilai Islam sesuai pandangan mereka.
Sebuah tren mutakhir yang radikal diperkenalkan Ikhwanul Muslimin pada 1960-an, dipimpin oleh seorang pemikir Mesir karismatik bernama Sayyid Qutb Ibrahim Husein al-Syadzili (1906-1966).
Dia terbukti menjadi salah satu reformis Islam yang paling berpengaruh pada abad ini. Lahir di sebuah desa di Mesir Hulu, Sayyid Qutb (baca tulisan Qutb yang jomblo itu ) pindah ke Kairo pada 1920-an untuk belajar di sekolah tinggi guru, Darul Ulum.
Setelah lulus, dia bekerja di Departemen Pendidikan sebagai guru dan seorang inspektur. Qutb juga aktif dalam lingkaran sastra pada 1930-an dan 1940-an sebagai seorang penulis sekaligus kritisi.
Tahun 1948, Qutb dikirim dengan beasiswa pemerintah selama dua tahun untuk belajar di Amerika Serikat. Dia mengambil master di bidang pendidikan di University of Northern Colorado Teacher’s College, dengan periode belajar di Washington, D.C. maupun Stanford, California. Meskipun dia melintasi AS dari timur dan barat, Qutb tidak merasakan kecintaan yang umumnya ditemukan dalam diri manusia pertukaran untuk negara itu.
Pada 1951, Qutb menerbitkan esai yang berjudul “The American I Have Seen”, dalam sebuah majalah Islam.
Menyerapahi materialisme dan kelangkaan nilai-nilai spiritual yang ditemuinya di sana, Qutb terkejut oleh apa yang dilihatnya sebagai kelalaian moral dan persaingan tidak terkendali dalam masyarakat Amerika. Dia khususnya sangat terkejut oleh apa yang dilihatnya sebagai kesembronoan moral dan persaingan tak terkendali dalam masyarakat Amerika. Dia khususnya sangat terkejut saat menemukan kejahatan ini di gereja-gereja AS.
“Di sebagian besar gereja,” tulis Qutb, “ada klub yang menggabungkan kedua jenis gender dan setiap pendeta mencoba untuk menarik orang sebanyak mungkin ke gerejanya, terutama karena ada rivalitas besar antara gereja dengan denominasi yang berbeda.” Qutb menemukan perilaku seperti itu, di mana Gereja mencoba mengumpulkan pendukung sebanyak-banyaknya, lebih tepat dilakukan seorang manajer teater, bukan oleh seorang pemimpin kerohanian.
Qutb kembali ke Mesir dengan tekad untuk membukakan mata rekan-rekan sebangsanya dari kekaguman mereka atas nilai-nilai modern yang diwakili bangsa Amerika.
“Aku khawatir tidak ada keseimbangan antara kebesaran materi AS dan kualitas orang-orangnya,” tegasnya. “Aku juga takut roda kehidupan akan berubah dan buku waktu akan tertutup, dan Amerika tak akan menambahkan apa-apa, ke dalam moral yang membedakan manusia dari benda, dan terutama, manusia dari binatang.” Qutb tidak ingin menyurihkan Amerika; tetapi, dia ingin melindungi Mesir dan dunia Islam pada umumnya, dari kemerosotan moral yang disaksikannya di Amerika.
Tidak lama setelah berkelintaran dari AS, Qutb bergabung dengan Ikhwanul Muslimin pada 1952. Menurut John Calvert dalam karyanya, Sayyid Qutb and the Origins of Radikal Islamism (Oxford University Press, 2013), karena latar belakangnya di penerbitan, Qutb didaulat untuk memimpin kantor media masyarakat dan publikasi. Tokoh Islamis yang bersemangat ini memiliki banyak pembaca setia melalui esai-esainya yang provokatif.
Pasca Revolusi Mesir (1952), Qutb menikmati hubungan yang baik dengan Perwira Pembebas. Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasser dilaporkan pernah mengundang Qutb untuk menyusun konstitusi partai pemerintahan yang baru, Persatuan Pembebasan.
Tapi sepertinya, Nasser melakukannya bukan karena kekaguman kepada pembaru Islam, tetapi lebih sebagai upaya penuh perhitungan untuk memperoleh dukungan Qutb atas organisasi resmi yang baru itu guna menyatukan semua partai politik–termasuk Ikhwanul Muslimin.
Melawan Tiran dengan Pena
Perlakuan baik rezim baru terhadap Ikhwanul Muslimin ternyata sangat pendek. Qutb ditangkap dalam upaya pemerintah untuk membubarkan organisasi itu setelah seorang anggota Ikhwan berusaha untuk membunuh Nasser pada Oktober 1954.
Seperti banyak anggota Ikhwanul Muslimin lain, Qutb mengklaim bahwa dia telah mengalami penyiksaan dan interogasi mengerikan selama masa penahanan. Dituding atas tuduhan kegiatan subversif, Qutb dijatuhi hukuman kerja paksa selama lima belas tahun.
Dari hotel prodeo, Qutb terus menginspirasi sesama umat muslim. Kondisi kesehatannya yang kian memburuk sering menyebabkannya dipindahkan ke sayap rumah sakit, tempat dirinya menulis beberapa karya paling berpengaruh pada abad ke-20 perihal Islam dan politik, termasuk tafsir radikal tentang Alquran dan seruan kerasnya untuk mempropagandakan masyarakat muslim madani, berjudul Ma’alim fi al-Tariq (Milestones).
Ma’alim fi al-Tariq merupakan kulminasi dari adicita Qutb tentang kebangkrutan materialisme Barat dan nasionalisme Arab sekular yang sewenang-wenang. Sistem sosial dan politik yang mengatur zaman modern, menurutnya, adalah buatan manusia dan telah gagal karena alasan itu. Alih-alih membuka era baru ilmu dan pengetahuan, hal ihwal itu telah mengakibatkan ketidakpedulian atas bimbingan Ilahi atau jahiliah. Lema itu memiliki makna tertentu dalam Islam, karena mengacu pada era kegelapan pra-Islam.
Jahiliah abad ke-20, menurut Qutb, “Mengambil bentuk berupa klaim bahwa hak untuk menciptakan nilai, membuat undang-undang aturan perilaku bersama, dan memilih sebuah cara hidup sepenuhnya berada di tangan manusia, tanpa memedulikan apa yang telah diwahyukan oleh Allah swt.”
Buntutnya, kemajuan luar biasa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi pada abad ke-20 tidak memandu umat manusia memasuki zaman modern; tetapi, mengabaikan pesan kekal Allah swt, sehingga membawa masyarakat kembali ke abad tujuh.
Qutb meyakini hal inilah yang terjadi di negara-negara Barat non-Islam, sebagaimana halnya di dunia Arab. Walhasil, menurutnya, adalah tirani. Rezim Arab tidak menghadirkan kebebasan dan hak asasi manusia bagi warga negaranya, tetapi penghisapan dan penyiksaan–sebagaimana yang dialami secara langsung dan menyakitkan oleh Qutb.
Dalam The Political Thought of Sayyid Qutb: The theory of jahiliyyah (2006), Sayyid Khatab meneroka bahwa Qutb percaya sesungguhnya Islam, sebagai wahyu paripurna berisi perintah Allah untuk umat manusia, adalah satu-satunya hukum yang otentik dan sah adalah hukum Allah, seperti yang dilestarikan dalam syariat Islam.
Dia percaya bahwa garda depan muslim diperlukan untuk mengembalikan Islam ke “peran pemimpin umat manusia”. Garda depan itu akan menggunakan “khotbah dan persuasi untuk mereformasi semua gagasan dan keyakinan” dan akan menggunakan “kekuatan fisik dan jihad untuk menghapuskan organisasi dan penguasa sistem jahiliah yang mencegah manusia mereformasi gagasan dan keyakinannya, tetapi memaksa mereka untuk mematuhi cara-caranya yang keliru dan membuat mereka melayani tuhan manusia, bukan Tuhan Yang Mahakuasa”.
Qutb menulis bukunya untuk memandu garda depan yang akan memimpin kebangkitan nilai-nilai Islam, ketika umat muslim sekali lagi akan mencapai kebebasan pribadi dan kepemimpinan dunia.
Kepiawaian pesan Qutb terletak pada kesederhanaan dan kejujurannya. Dia menandai sebuah masalah–jahiliah–dan solusi Islam yang tertanam dalam nilai-nilai yang dipegang erat oleh mayoritas muslim Arab. Kritikannya ditujukan pada semua kekuatan imperial dan pemerintahan Arab otokratis, dan jawabannya adalah pesan harapan yang didasarkan pada asumsi keutamaan umat muslim:
Kondisi sudah berubah, umat muslim kehilangan kekuatan fisik dan ditaklukkan; tetapi, kesadaran bahwa dirinya adalah sosok yang paling unggul tidak pernah hilang. Jika dia tetap menjadi “orang beriman”, dia memandang penaklukkannya dari posisi yang unggul. Dia tetap meyakini bahwa ini adalah kondisi sementara yang pasti akan berlalu dan iman akan mengubah situasi yang tidak bisa dihindari oleh siapa pun. Bahkan, jika kematian menjadi sesuatu yang harus dihadapinya, dia tidak akan pernah menundukkan kepalanya. Kematian datang untuk semua orang, tetapi baginya, terdapat mati syahid. Dia akan melanjutkan ke Taman [yaitu, surga], sementara penakluknya akan pergi ke Api [yakni, neraka]. (Qutb, bab 11, 2006, hlm. 145).