Sedang Membaca
Kopi dalam Sejarah Islam: Siapa yang Meracik Kopi untuk Pertama Kali? 
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Kopi dalam Sejarah Islam: Siapa yang Meracik Kopi untuk Pertama Kali? 

Kopi memiliki ‘anekdot sakaguru’, yang sangat disukai oleh para pedagang. Alkisah, suatu hari Kaldi, seorang gembala muda Etiopia, sedang mengamati hewan-hewan ternaknya yang tiba-tiba menggelinjang setelah memakan buah-buahan berwarna merah semak. Karena penasaran, Kaldi pun ikut mencicipi buah beri itu, dan anehnya tubuh Kaldi langsung bereaksi: Dia menari memutar-mutar tubuhnya dengan riang. 

Setelah kejadian itu, Kaldi lantas meminta nasihat kepada seorang imam, yang juga mencicipi buah itu. Sang Imam a) merasakan khasiatnya, bahwa mereka berdua terjaga (melek) dalam ibadah dan doa sepanjang malam sehingga menjadikannya ‘infus’ untuk dibagikan kepada jemaah majelis; atau b) melemparkannya ke dalam api dengan jijik hanya untuk membaui aromanya yang harum dan lezat dari buah itu, lalu mengangkatnya dari bara api, menggilingnya, menambahkan air panas dan minum minuman yang telah diracik tersebut.

Cerita Kaldi ini pertama kali muncul di Eropa pada 1671 Masehi sebagai bagian dari risalah kopi yang diterbitkan oleh Antonio Fausto Naironi, seorang Kristen Maronit dari Levant (kiwari Lebanon) yang beremigrasi ke Roma. Mungkin cerita ini berasal dari tradisi lisan di tanah kelahirannya. Tepat kapan, di mana, dan dalam bentuk apa manusia pertama kali mengonsumsi kopi tidak dapat ditetapkan secara sabit. Ada kabar burung tentang kacang hangus yang ditemukan di situs kuno, dan beberapa menyarankan jamu dan ramuan yang dijelaskan dalam kitab al-Qānūn fī aibb (Canon of Medicine) karya tabib dan filsuf sekaligus ulama asal Persia Ibn Sīnā (980-1037), juga masyhur sebagai Avicenna, berasal dari tanaman kopi.

Sudah pasti bahwa selama dua ratus tahun pertama keberadaan kopi yang tercatat, antara tahun 1450 dan 1650, kopi dikonsumsi hampir secara eksklusif oleh masyarakat muslim yang kebiasaannya meniagakan komoditas kopi yang berpusat di sekitar Laut Merah. Laut Merah merupakan dunia tempat versi modern minuman ini berevolusi, sekaligus fondasi matra warung kopi kiwari dipanggungkan.

Suku Oromo, menetap di wilayah Etiopia selatan, termasuk daerah Kaffa dan Buno di mana kopi Arabika asli tumbuh subur, menyiapkan berbagai bahan makanan dan minuman yang memanfaatkan berbagai unsur tanaman. Ini termasuk kuti, teh yang terbuat dari daun tanaman muda yang dipanggang ringan, hoja, menggabungkan kulit kering beri dengan susu sapi, dan bunna qalaa, di mana biji kopi kering dipanggang dengan mentega dan garam untuk menghasilkan makanan ringan yang menggiurkan, dikonsumsi dalam ekspedisi maritim, dan dimakan untuk meningkatkan energi.

Bunna adalah yang paling masyhur. Sekam kopi kering yang dijerang dalam air mendidih selama lima belas menit sebelum minuman itu disajikan. Hari ini, petani kopi sudah mulai menjual produk serupa bernama cascara, yang terdiri dari kulit ceri kering yang telah proses, diseduh sebagai teh buah. Awalnya, minuman ini dihidangkan dengan seluruh sisa ceri kering–kulit,  bubur kayu, dan batu.

Dinamakan qishr dalam bahasa Arab, ‘infus’ ini tampaknya telah melintasi tigapuluh dua kilometer (20 mil) selat Bab-el-Mandeb di ujung selatan Laut Merah selama pertengahan abad ke-15. Minuman ini lantas diadopsi oleh tarekat mistik sufi di Yaman untuk digunakan dalam zikir: Doa malam hari di mana para sufi berkonsentrasi hanya kepada Allah Swt., untuk mengesampingkan seluruh problematika duniawi. Ramuan yang menstimulasi yang disebut qahwa ini, disajikan ke dalam permulaan ritual, dipimpin oleh seorang mursyid tarekat dari sebuah kapal besar, dan diedarkan ketika kelompok tarekat itu mengumandangkan zikir, seperti, “La ilaha illallah, tiada Tuhan selain Allah.” Qahwa sangat penting karena tasawuf dipraktikkan oleh seorang muslim yang bekerja pada siang hari: Etimologi dari kata itu menyiratkan berkurangnya syahwat (mengantuk).

Qahwa awalnya disiapkan dengan kafta, daun tanaman khat. Daun ini memiliki sifat halusinogen yang meningkatkan rasa euforia, tetapi dengan menggunakan qishr akan membantu menjaga jamaah agar tetap terjaga. Invensi itu diduga diinisiasi oleh mufti sufi, Muhammed al-Dhabani, yang wafat pada 1470. Dia adalah tokoh sejarah pertama yang bisa kita kait-kelindankan dengan kopi. Sarjana Arab Abd al-Qadir al-Jaziri, yang manuskripnya berjudul Umdat al safwa fi hill al-qahwa, yang ditulis sekitar 1556, adalah sumber informasi utama tentang penyebaran kopi di dunia Islam, dan mennulis sebuah tulisan yang mengklaim bahwa al-Dhabani bepergian ke Etiopia,

Al-Dhabani menemukan orang-orang mengkonsumsi qahwa meskipun dia tidak mengetahui karakteristiknya. Setelah kembali ke Aden, dia jatuh sakit, dan mengingat [qahwa], dia meminumnya dan mendapat manfaat darinya. Dia menemukan bahwa di antara sifat-sifatnya adalah bahwa ia menghilangkan kelelahan dan kelesuan, dan membuat tubuhnya jadi lincah dan kuat. Oleh karena itu, ketika ia menjadi seorang sufi, ia dan sufi lainnya di Aden mulai menggunakan minuman yang diracik 

Meskipun Ali ibn ‘Umar al-Shadhili dirayakan sebagai  ‘Bapak qahwa’ di Mocha, al-Jaziri mengatakan dalam catatannya, “Karena tidak ada kafta, jadi al-Dhabani berkata kepada jamaahnya… itu biji kopi… ia mempromosikan khasiatnya, ‘jadi cobalah qahwa yang dibuat darinya’. Mereka mencobanya, dan ternyata memang berfaedah, dengan sedikit biaya ataupun risiko,” terang al-Jaziri. Qahwa awalnya hanya merujuk pada ramuan spiritual, tapi kemudian menjadi istilah untuk kopi Arab yang disiapkan dengan kacang belaka, sedangkan qishr masih merujuk pada pasokan buah-buahan dan rempah-rempah kering.

Praktik sufistik inilah yang mentransmisikan khazanah kopi ke utara ke wilayah Arab, Hijaz, di pantai timur Laut Merah. Ini termasuk kota suci Mekah, Jeddah, dan Madinah. Kopi akhirnya tiba di Kairo, ibu kota kesultanan Mamluk yang berkuasa, sekitar 1500-an, tempat kopi itu pertama kali digunakan oleh para pelajar Yaman di Universitas Islam Al-Azhar. Kopi selanjutnya berdifusi di Timur Tengah karena diadopsi sebagai minuman sosial yang dikonsumsi di luar upacara keagamaan nan sakral. Praktik inilah yang menyebabkan momen pertama dan terkenal, tatkala kopi secara efektif ‘diadili’ oleh pengadilan Islam, di Mekah pada 1511.

Pada suatu patroli malam, Kh’air Beg, pasha (gubernur) kota Mamluk, menemukan sekelompok pria minum qahwa di pelataran masjid. Beg mengusir pria-pria itu dan, keesokan paginya, Beg mengadakan pertemuan dengan ulama fikih sekota untuk membahas berbagai pertanyaan seputar konsumsi kopi. Para ulama dengan cepat mengutuk pertemuan kopi darat (kopdar) itu, tetapi mereka tidak yakin, bahwa mengkonsumsi kopi bertentangan dengan ajaran Islam.

Argumen itu bergantung pada apakah minum kopi memicu keracunan, yang diterjemahkan sebagai keadaan di mana kontrol atas tubuh hilang. Beg lantas mendatangkan tiga dokter yang bersaksi, bahwa qahwa itulah penyebabnya, sehingga para ulama pun setuju. Beg menggunakan hasil pertemuan ini sebagai fatwa untuk melarang penjualan atau konsumsi kopi, secara publik atau pribadi, di seantero kota.

Baca juga:  Ujian Besar bagi Imam Ahmad Bin Hanbal

Mengapa? Kopi yang hampir tidak dikenali oleh Beg–telah dikonsumi secara terbuka untuk beberapa waktu. Kopi juga diperjual-belikan di banyak kedai, seperti kedai anggur, yang, secara teori, hanya melayani pelanggan non-muslim. Tampaknya tujuan Beg yang sebenarnya adalah untuk mendapatkan kontrol yang lebih besar atas kota. Para dokter yang bersaksi itupun terkenal karena penentangan mereka atas kopi, mungkin karena mereka takut bahwa bisnis kopi itu akan menjadi persaing bagi resep medis yang menjadi usaha mereka.

Haramnya mengkonsumsi kopi ini tidaklah berlangsung lama. Fatwa itu dikirim ke Kairo untuk diratifikasi. Ketika dikembalikan, larangan pertemuan publik untuk minum kopi ditegakkan, tetapi tidak pada konsumsi kopi itu sendiri. Tahun 1512, Beg dipecat, dan konsumsi kopi secara terbuka di jalan-jalan Mekah pun kembali. Tampaknya pihak berwenang Kairo setuju, bahwa tidak mungkin untuk berdebat tentang kopi bisa menyebabkan keracunan ketika, ‘seseorang minum kopi dengan nama Allah di bibirnya, dan tetap terjaga, sementara orang yang mencari suka cita dan lebih menyukai minuman keras itulah yang mengabaikan Allah, dan mabuk.’

Kalakian, kopi melanjutkan difusi di seluruh dunia Islam, dipromosikan oleh jemaah haji di Mekah. Penaklukan Turki Utsmaniyah atas Mesir pada 1516-17 memfasilitasi penyebaran kopi ke kekhalifahan Turki, mencapai Damaskus pada 1534 dan Istanbul pada 1554. Dua kedai kopi dibuka di ibu kota oleh warga Suriah, Hakam dan Sem, masing-masing berasal dari Damaskus dan Aleppo. Terletak di pusat kota, dekat pelabuhan, dan pasar sentral, kedai kopi ini menarik pelanggan kelas elite, termasuk penyair yang akan menyusun karya terbaru mereka, juga sesama penulis, pedagang yang juga terlibat dalam permainan, seperti dadu dan catur, dan pejabat Turki Utsmaniyah yang ngobrol dengan satu sama lainnya, sambil duduk di sofa dan karpet mewah. Begitulah keberhasilan Shem, ia dikisahkan kembali ke Aleppo tiga tahun kemudian, setelah mendapat untung 5.000 keping emas.

Akan tetapi, ada perbedaan warna yang mencolok antara kopi Arab dan kopi Turki. Kopi Arab (qahwa) disajikan (dan sedang) disajikan sebagai cairan cokelat muda yang semi-tembus cahaya. Kacang dipanggang setengah gosong sebelum didinginkan, ditumbuk, dan dicampur dengan rempah-rempah seperti jahe, kayu manis dan, terutama, kapulaga. Campuran itu dituangkan ke dalam panci tembaga, direbus dengan air selama sekitar lima belas menit, dan kemudian dituang ke dalam wadah penyajian yang lebih mungil, yang sering dipanaskan dengan cerat panjang. Tuan rumah menuangkan secangkir kecil, atau finjan, untuk setiap tamu.

Orang Turki, sebaliknya, meminum minuman gelap dan buram yang dilukiskan oleh penyair kiwari laksana ‘musuh tidur dan cinta’–cikal-bakal kopi Turki, atau kahve, kiwari. Kacang-kacangan dihitamkan dengan dipanggang dan kemudian ditumbuk menjadi bubuk. Kopi dituangkan dengan air di sebuah cezve (dikenal di luar Turki sebagai ibrik atau briki), panci terbuka lebar yang menyempit sebelum mencapai tepi yang lebih luas. Didihkan, dikeluarkan dari api, dan busa dari bagian atas cairannya disendok ke dalam gelas. Cairan itu lalu dapat didihkan kembali (setidaknya sekali, sering dua kali), dan air tambahan dituangkan ke dalam gelas, agar struktur busanya tetap konstan. 

Praktik memanggang kacang itu digunakan oleh beberapa imam Istanbul untuk menyatakan, bahwa konsumsi kopi adalah haram karena karbonisasi biji berarti minuman dibuat dari zat mati (karena itu dilarang). Pada 1591 Bostanzade Mehmed Effendi, Sheik ul-Islam (otoritas agama tertinggi), mengeluarkan fatwa, secara definitif menyatakan bahwa minuman kopi tetap berasal dari sejenis sayuran, karena karbonisasi lengkap belum terjadi. Di antara para ulama, para syekh, dan wazir agung pun, tidak ada yang tidak meminumnya. Bahkan mencapai titik sedemikian rupa sehingga wazir agung membangun kedai kopi besar sebagai investasi, dan mulai menyewakannya dengan satu atau dua keping emas sehari.

Daya tarik kedai kopi terletak pada penyediaan ruang publik perdana yang sah untuk sosialisasi di kalangan lelaki muslim. Pada malam hari, umumnya masyarakat makan di rumah, jadi satu-satunya tempat terbuka identik dengan tongkrongannya mereka yang memiliki reputasi jelek (maksiat)–kedai-kedai anggur dan tempat-tempat penjualan boza, minuman ringan beralkohol yang dibuat dengan sereal yang difermentasi. kedai kopi- kedai kopi, yang diterangi oleh lampu-lampu besar yang tergantung di langit-langit, memberikan perlindungan pada malam-malam selama musim panas. Pada bulan suci Ramadan, banyak orang yang berbuka puasa dengan kopi setelah matahari terbenam. Pelanggan kedai kopi dapat duduk di luar di taman yang teduh dan wangi, mendengarkan pendongeng atau musisi dari kedai kopi yang, setidaknya di kedai kopi awal Hijaz, mungkin termasuk biduan perempuan, yang menghibur para tamu dengan lagu-lagu yang mereka dendangkan.

Munculnya kedai kopi menciptakan kemungkinan untuk bentuk-bentuk aktual interaksi sosial. Sebelumnya, orang-orang saling berkunjung dari rumah ke rumah untuk bersilaturahmi, dan tuan rumah pun biasanya menyediakan jamuan makan, mungkin disiapkan oleh pelayan, dan memajangkan budak (dan mungkin istri), yang semuanya menciptakan hierarki antara tuan rumah dan sang tamu. Sekarang orang bisa bertemu teman sebaya di kedai kopi, dan bertukar keramahtamahan dengan pijakan yang lebih setara, melalui cara sederhana untuk saling membeli secangkir kopi. Tata letak berbagai kedai kopi awal ini memfasilitasi atmosfer egaliter, ketika para pengunjung duduk sesuai dengan urutan kedatangan mereka, di bangku panjang atau bersandar di tiang yang berjejer di sepanjang dinding, bukan berdasarkan kasta mereka. Di samping kaum elite, format ini juga memungkinkan mereka yang memiliki cara lebih mudah untuk saling menghibur dan menunjukkan kedermawanan mereka. 

Seorang pelancong yang mengunjungi Kairo pada 1599 bercerita, “Ketika para prajurit itu pergi… menjadikan kedai kopi dan mereka harus mendapatkan uang receh untuk koin emas, mereka pasti akan menghabiskan semuanya di sana. Mereka menganggap tidak pantas memasukkan uang receh ke dalam saku dan pulang. Dengan kata lain, hal ihwal ini adalah cara mereka menunjukkan kebesaran mereka kepada orang-orang biasa. Tetapi perlindungan besar mereka terdiri dari saling mentraktir secangkir kopi, membuat teman-teman mereka terkesan dengan satu cangkir berisi empat cangkir yang harganya satu orang.”

Begitu populernya kedai kopi di Istanbul sehingga diklaim bahwa pada 1564, sepuluh tahun setelah bisnis ini pertama dibuka, ada lebih dari lima puluh yang beroperasi; pada tahun 1595 jumlah ini diperkirakan mencapai enam ratus. Tampaknya angka ini melibatkan penggabungan beberapa kedai kopi dengan kedai minuman dan gerai boza, yang mungkin juga merepresentasikan realitas bisnis yang telah mengaburkan batas-batas antara aktivitas rakyat. Kedai kopi memungkinkan konsumsi zat-zat yang meragukan dan peluang untuk bermain dadu atau catur dan berjudi, sementara para perempuan belia dan ranum yang dipekerjakan sebagai pelayan dituduh biang kerok bagi pemuas hasrat para hidung belang, selain kafein kopi. 

Baca juga:  Abu al-Aswad Berebut Hak Asuh Anak dengan Mantan Istrinya

Tahun 1565, Sulaiman, sultan yang telah menyambut kedai kopi pertama ke Istanbul, mengeluarkan dekrit untuk menutup kedai minuman, penjual boza, dan kedai kopi Aleppo dan Damaskus, di mana orang-orang terus menghabiskan waktu mereka dengan menghibur dirinya sendiri, dan melakukan hal-hal maksiat, dan melarang pelbagai tindakan ‘yang mencegah mereka’ melaksanakan kewajiban syariat Islam. Keputusan lebih lanjut dan lebih parah dikeluarkan oleh penggantinya, Selim II (1566-74) dan Murad III (1574-95).

Perihal ini tampaknya memiliki dampak yang terbatas, paling tidak karena otoritas yang menegakkan dan anggota milisi fatwa biasanya adalah pelindung, dan bukan pemilik yang jarang, dari lembaga-lembaga ini. Kesuksesan binis kedai kopi mencerminkan perubahan dalam struktur sosial dan politik Kekhalifahan Turki. Model administrasi hierarkis yang tersentralisasi memberi jalan kepada masyarakat di mana kekuasaan terpecah-pecah, elitenya tercerai-berai, dan ideologi agama dan sekuler diperebutkan. Kedai kopi, tempat seseorang dapat berwicara langsung dengan siapa pun dan terlibat dalam percakapan terbuka, menjadi simbol budaya baru.

Kedai kopi diserang oleh kaum konservatif agama dan politikus justru karena konotasi progresif mereka. Sultan Murad IV, yang naik takhta pada 1623 tatkala masih di bawah umur, mengalami kesulitan besar membangun otoritasnya, dan melembagakan rezim yang sangat reaksioner lengkap dengan jaringan intel yang membuntuti kedai kopi-kedai kopi dan mendengarkan pelbagai gosip di sana.  Pada 1633, setelah kebakaran hebat yang membumihanguskan lima distrik di Istanbul, dan diduga penyebabnya adalah lelatu api rokok tembakau di sebuah kedai kopi, Murad menitahkan  penutupan semua kedai kopi seperti itu di kota. Titah itu kemudian dikirim ke kota-kota lain di bawah kekuasaan Turki, seperti kotamadya Eyüp,

mewajibkan bahwa, dengan kedatangan titah ini, orang-orang dikirim untuk memusnahkan tungku kopi apa pun yang ada di zona yang anda kelola, dan bahwa mulai sekarang tidak ada seorang pun yang boleh membukanya. Mulai sekarang siapa pun yang membuka kedai kopi harus digantung di pintu depannya.

Meskipun penggunaan tembakau, diperkenalkan ke Turki pada pergantian abad ketujuh belas, tampaknya telah menjadi target utama, atau dalih, bagi Murad (dia terkenal telah menguntit kota itu dengan menyamar di malam hari, menyusun peraturan ringkas bagi pelanggar hukum), masalah bagi pemilik kedai kopi, seperti yang ditunjukkan oleh seorang pasha, adalah di kedai kopi, pemiliknya tidak menjual tembakau untuk memaksakan pelanggan kedainya, banyak dari mereka adalah prajurit, yang tidak merokok; para pengunjung itulah yang membawa tembakau sendiri di sakunya, ia mengeluarkannya dan merokok. Karena (perokok) memiliki hak istimewa dari pemegang kantor negara, pemilik kedai kopi dan penduduk kota lainnya tidak dapat melarangnya.

Larangan kedai kopi di Istanbul masih diberlakukan pada pertengahan 1650-an, meskipun di luar tembok kota, kedai kopi tetaplah banyak yang berjualan, seperti yang mungkin terus mereka lakukan di wilayah kekhalifahan tersebut selama periode ini. Pada kuartal terakhir abad ketujuh belas, kedai kopi-kedai kopi juga muncul kembali di Istanbul, dan para pelancong ke wilayah Turki berkomentar perihal sentralitas kedai kopi di lokasi-lokasi, termasuk pasar jalanan Kairo, rute karavan melalui Semenanjung Arab, dan taman-taman umum Istanbul.

Penyebaran kopi di seluruh dunia Islam menciptakan jaringan perdagangan jarak jauh nan kompleks yang menyatu di Kairo, dari mana kopi itu diteruskan ke seluruh Kekhalifahan Turki, dan akhirnya ke Eropa. Awalnya, kopi liar dari Etiopia ini dikeringkan dan dikirim dari Zeila (kini di Somalia utara di perbatasan dengan Djibouti). Di sini kopi akan ditambahkan ke kargo rempah-rempah yang berasal dari India dan Zanzibar dan Kepulauan Maluku, mengangkutnya ke Laut Merah dan diturunkan di pelabuhan melayani daerah-daerah di mana kopi telah diadopsi. Kargo kopi pertama yang disebutkan datang pada 1497, sebagai bagian dari pengiriman rempah-rempah pedagang dari Tur di ujung selatan semenanjung Sinai.

Etiopia tetap menjadi satu-satunya pemasok kopi sampai tahun 1540-an, tetapi kombinasi dari meningkatnya permintaan dan pasokan yang tidak dapat diandalkan karena konflik antara Kristen di utara kekaisaran Afrika dan muslim Afrika di selatan, menyebabkan kopi dibudidayakan di dataran tinggi pedalaman Yaman, antara dataran pantai Tihama dan ibu kota Sana’a. Benih-benih kopi itu berasal dari varietas kacang kecil yang ditemukan liar di Etiopia yang ditanam oleh petani, di samping tanaman subsisten di petak tanah milik keluarga mereka. Inilah kebun kopi pertama di dunia. Wilayah ini tetap menjadi satu-satunya pusat produksi kopi komersial selama hampir dua abad.  rumah-rumah semen bercat putih di desa-desa muncul di seluruh pegunungan, dikelilingi oleh perkebunan berdinding tembok batu yang diperkaya dengan tanah yang diairi oleh wadi setelah musim hujan. Pada 1700-an, daerah dataran tinggi ini mendukung populasi sekitar 1,5 juta orang.

Rantai ekonomi yang menghubungkan para produsen ini dengan konsumen akhir, seperti biasa, merupakan jaringan panjang dan terfragmentasi. Transportasi masih sangat sulit, dengan tidak lebih dari jalur bagal yang menghubungkan daerah pegunungan dengan pasar dataran rendah. Para petani akan membawa ceri kering mereka ke kota terdekat untuk menukarnya dengan barang-barang seperti kain dan garam. Kopi kemudian akan melewati berbagai makelar, sebelum berakhir di pasar grosir utama Bayt al-Faqih yang terletak di dataran pantai. Di sinilah kopi dibeli oleh pedagang dan disimpan di gudang, sebelum diangkut dengan kereta unta ke pelabuhan Al-Makha (atau dikenal sebagai Al-Mocha, Al-Mokka dan, ke Eropa, Mocha) dan Hudaydah untuk pengiriman. Sebagian besar pedagang ini adalah Banyan, anggota diaspora yang menyebar dari pelabuhan di Gujarat untuk mendominasi perdagangan di sekitar Samudera Hindia. Merekalah yang mengontrol jaringan ekonomi Yaman, sehingga memungkinkan mereka menjadi pemodal utama, dan pemrakarsa yang efektif, dari penanaman kopi.

Meskipun sifatnya terfragmentasi, perdagangan kopi menghasilkan pendapatan yang cukup besar, khususnya di antara para pemimpin tarekat Zaydi yang menuntutkan kesetiaan dari suku-suku pedalaman. Ini memudahkan perlawanan terhadap pemerintahan Turki Utsmaniah. Mereka dipaksa keluar dari Yaman tahun 1638 oleh dinasti Qasimi dari imam Zaydi, yang menyatukan negara untuk pertama kalinya dan mendapatkan kendali atas Zeila, sehingga memberi mereka monopoli yang efektif atas pasokan kopi dunia dari Yaman dan Etiopia. Kacang dari kedua tempat inilah yang kemudian dikenal dalam perdagangan sebagai ’Mocha’, karena ia diekspor berbarengan dari pelabuhan yang sama.

Baca juga:  Kafe Sunyi, Kedai Kopi Penuh Empati

Keberhasilan pemberontakan Zaydi menyebabkan reorganisasi perdagangan Laut Merah. Kopi yang ditakdirkan untuk dikonsumsi di dalam kekhalifahan diangkut oleh perahu dhow dari Hudaydah ke Jedah. Kamar dagang didirikan sebagai usaha resmi oleh Turki, yang menggunakan pendapatan yang dihasilkan untuk membiayai tempat-tempat suci Islam. Kapal-kapal yang membawa sereal dari Suez dikembalikan dengan komoditas kopi untuk Kairo. Di sini para pedagang kota, yang telah mulai berdagang kopi secara teratur sejak 1560-an, akan mengirimkannya ke pusat-pusat kerajaan utama di Mediterania, seperti Salonika, Istanbul, dan Tunis. Setelah 1650-an, kopi dikirim ke Alexandria, tempat kopi itu diperoleh oleh para pedagang Marseille yang mengontrol akses ke pelabuhan-pelabuhan Eropa barat.

Sementara itu Mocha bertindak sebagai pelabuhan utama ke seluruh dunia yang mengonsumsi kopi–terutama tanah-tanah Islam di sekitar Teluk Persia, Laut Arab, dan Samudera Hindia. Sebagai hasilnya, Mocha juga menjadi perusahaan terkemuka untuk perdagangan India di seluruh Laut Merah. British East India Company (Kongsi Dagang atau Perusahaan Hindia Timur Britania) membuka sebuah depo di sana pada awal 1618 untuk mendapatkan saham dalam perdagangan, meneruskan pengiriman dari apa yang secara beragam digambarkan sebagai ‘cowa’,’cowhe’, ‘cowha’, ‘cohoo’, ‘couha’, dan kopi ke perusahaan (makelar kopi) di Persia dan Moghul India, lebih dari tigapuluh tahun sebelum kopi tersedia di Inggris. Meskipun perusahaan-perusahaan Eropa berhasil mengalihkan sebagian besar perdagangan rempah-rempah ke tangan mereka sendiri selama abad ketujuh belas, tatkala pertukaran antara Eropa dan Indocina meningkat, kopi sebagian besar tetap terkonsentrasi di dalam jaringan perdagangan muslim. 

Bagian dari masalah bagi orang Eropa adalah kelanjutan dari ketidakpastian pasokan kopi. Struktur pertanian di dataran tinggi Yaman menyulitkan petani untuk merespons permintaan pasar. Jean de la Roque–seorang penulis, pelancong, dan putra pedagang yang memperkenalkan kopi ke Marseille–menulis laporan tentang dua ekspedisi perdagangan ke Mocha dari pelabuhan Breton St Malo, pada 1709 dan 1711. Dia menganggit, bahwa butuh enam bulan untuk mengisi kapal dengan angkutan kopi. Meskipun orang-orang Prancis menggunakan tengkulak Banyan, yang upayanya untuk memperoleh biji kopi atas nama mereka menaikkan harga di Bayt al-Faqih. 

Para pedagang Belanda yang mereka temui juga mengaku membutuhkan waktu setahun untuk mendapatkan kargo dalam satu perjalanan. Pada 1720-an, pengiriman kopi Laut Merah telah mencapai 12.000–15.000 ton per tahun–efektifnya pasokan dunia. Kapasitas itu sebagian besar bersifat tetap, tidak berubah selama seratus tahun ke depan, meskipun tahun 1840 pengiriman kopi tidak lebih dari 3 persen dari produksi dunia. Mengingat hal ihwal ini, tidak mengherankan bahwa, ketika mereka semakin mengadopsi kopi sebagai minuman, orang Eropa berusaha untuk mendirikan pusat budidaya alternatif.

Setelah 1720-an, Belanda beralih ke Parahyangan (Jawa) dan Prancis ke Karibia, sehingga pembelian mereka dari Mocha dan Alexandria, masing-masing, merosot. Ini dikompensasi oleh peningkatan pembelian oleh Inggris dan Amerika. Pendapatan dari perdagangan kopi masih sedemikian rupa sehingga Muhammad Ali, penguasa ekspansionis Mesir, berusaha menaklukkan Yaman untuk mengendalikannya. Perihal ini menyebabkan Inggris merebut Aden pada 1839, melindungi pengaruhnya di wilayah tersebut, dan menjadikannya sebagai pelabuhan bebas pada 1850. Tidak adanya bea cukai dan keberadaan dermaga air dan fasilitas pergudangan membuat Aden menyalip Mocha sebagai wilayah pelabuhan kopi utama. Saat ini, daerah pelabuhan Mocha menampung armada penangkap ikan kecil dan banyak reruntuhan, dan didekati melalui saluran berlumpur, yang diduga merupakan konsekuensi dari kapal-kapal Amerika abad ke-19 yang menggunakan pemberat mereka sebelum mengambil kopi di atas kapal.

Penyebab utama penurunan dalam ekonomi kopi Laut Merah adalah perubahan selera di antara konsumen muslim yang begitu banyak. Kini, komoditas teh dari India dan Iran pada awal abad ke-19 yang memiliki dampak paling dramatis, karena pasar-pasar tradisional Timur ini kehilangan kopi. Di Mesir, teh kemungkinan adalah minuman yang lebih populer, terbuat dari tanaman yang dibudidayakan di dalam negeri. Bagian dari program Kemal Ataturk untuk modernisasi/sekulerisasi Turki selama paruh pertama abad kedua puluh adalah mengubahnya menjadi negara peminum teh, menggantikan minuman yang dibuat dari produk lokal untuk impor yang mahal. Diperlukan kedatangan rantai kopi Barat untuk merangsang kebangkitan budaya kedai kopi Turki.

Sebaliknya, satu-satunya negara tempat ekonomi kopi berkembang selama dua abad terakhir adalah Etiopia. Selama abad kesembilan belas yang terakhir, Kaisar Menelik yang masyhur menggunakan pendapatan ekspor kopi untuk membeli senjata api, guna mengalahkan Italia di Adowa pada 1896, menjaga posisi Etiopia sebagai satu-satunya negara Afrika merdeka setelah pemisahan benua. Serta kopi ‘liar’ dari kerajaan Oromo barat daya, seperti Sidamo, Kaffa, dan Jimmah (mungkin diproduksi oleh para petani untuk memenuhi permintaan kerajaan sebagai upeti), perkebunan anyar didirikan di dekat wilayah timur Harar menggunakan kultivar Kopi Arabika yang telah berevolusi di daerah berkembang di seluruh dunia. Kacang yang lebih besar ini dikenal sebagai Mocha Longberry, untuk membedakan mereka dari ‘Mocha’ asli Yaman (dan Etiopia).

Dan, Orang Kristen Koptik di utara mulai menanam dan mengonsumsi kopi. Haile Selassie muda mengandalkan pendapatan kopi untuk memaksakan otoritasnya pada 1930-an. Namun dia, tidak dapat mencegah pendudukan Fasis Italia, yang warisan budayanya termasuk kedai kopi espresso dari Addis Ababa dan Asmara. Dan, Etiopia tetap menjadi salah satu dari sedikit negara berkembang yang juga mengonsumsi sebagian besar (sekitar 50 persen) dari hasil panennya sendiri.

 

Sekadar bacaan:

Armanios, Febe, & Boğaç Ergene. Halal Food: A History. Oxford University Press. 2018. 

Ellis, Markman. The Coffee House: A Cultural History. Phoenix. 2005.

Fregulia, Jeanette M. A Rich and Tantalizing Brew: A History of How Coffee Connected the World. University of Arkansas Press. 2019.

McCook, Stuart George. Coffee is not Forever: A Global History of the Coffee Leaf Rust. Ohio University Press. 2019.

Morris, Jonathan. Coffee: A Global History. Reaktion Books. 2018.

Pendergrast, Mark. Uncommon Grounds: The History of Coffee and How It Transformed Our World.  (Revised Edition). Basic Books. 2019.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top