Biografi paling awal Nabi Muhammad saw, Sirah karya Ibnu Ishaq, mengungkapkan: Suatu malam, Malaikat Jibril membawa Muhammad naik kendaraan samawi yang disebut Buraq; kemudian, Muhammad mengadakan perjalanan bersama Jibril dan, dalam peristiwa Isra ini, kepada Nabi saw diperlihatkan pelbagai keajaiban di langit dan di bumi, dalam perjalanan ke Yerusalem.
Di sana, dia bertemu dengan para nabi sebelumnya dan menjadi imam sembahyang mereka. Selepas sembahyang, Muhammad dan Jibril diangkat menembus ruang dan waktu.
Di tengah perjalanannya menembus tujuh lapis langit, dia kembali bertemu dengan sejumlah Nabi. Penglihatannya dipenuhi dengan gambaran surga dengan segala keindahan cakrawalanya. Akhirnya dia tiba di Tempat Tertinggi (Sidrat al-Muntaha). Di sinilah Muhammad menerima perintah sembahyang lima waktu dan wahyu yang menetapkan prinsip-prinsip keimanan Islam (al-‘aqidah). Sebagian ulama tafsir memisahkan kedua peristiwa itu–yakni, Isra dan Mikraj Rasulullah saw–tetapi, Ibn Ishaq malah memadukan keduanya.
Maulana Jalaluddin Rumi, dalam Matsnawi-nya, menggunakan Jibril sebagai lambang akal, yang bisa membawa orang ke pintu Sang Kekasih, tetapi tak diizinkan untuk mengalami kemanunggalan cinta: akal harus berhenti di ambang cinta, karena, seperti Jibril, ia harus takut jangan sampai cahaya Ilahi yang terang-benderang itu membakar sayap-sayapnya.
Mikraj Muhammad tak henti-hentinya memesona para penyair, bahkan yang bukan sufi sekalipun. Nizhami, rekan senegara ‘Aththar, menyuguhkan dalam epik-epik romantiknya beberapa lukisan yang sangat memukai tentang perjalanan ke langit itu, dan lambat-laun setiap rincian, warna-warni langit, pakaian yang dikenakan para malaikat yang mengelilingi Rasulullah swa dan terbang mengawalnya, awan-awan yang bercahaya dan reaksi-reaksi tujuh planet, diperdalam dengan cinta yang selalu bertambah besar daya imajinatifnya.
Epik besar Jami mengandung seluruh syair seperti itu, yang tercermin barangkali dengan sangat cogah dalam Yusuf dan Zulaikha, yang di dalamnya dia berpantun perihal malam penuh berkah, saat serigala dan anak domba, singa dan domba, berdampingan dengan damai, dan Jibril, yang lebih trengginas dan cerkas dari burung merak hijau, membawakan untuk Nabi Muhammad seorang Buraq yang rupawan.
Jami (mengikuti Nizhami) suka mengisahkan dengan panjang-lebar reaksi-reaksi berbagai lingkungan dan planet yang dilewati oleh Muhammad; dia melukiskan lapisan keempat, misalnya, sebagai membawakan kepada Nabi seguci air untuk membasuh kakinya, sementara Merkurius dan Venus ikut serta dalam melayaninya, dan Saturnus yang melankolik pun menjadi ceria oleh pandangan indah kepada Sang Mentari Eksistensi.
Para penyair di kemudian hari di seluruh dunia Islam, khususnya dalam tradisi Persia, mengelaborasi contoh-contoh yang dipaparkan oleh Nizhami, ‘Aththar, dan Jami; dan apakah orang membaca Sayyid Bulaqi atau Nusrati dari Bijapur abad ke-17 masehi, atau–untuk menyebut sebuah contoh khas yang bagus–tokoh yang sezaman dnegan mereka di Turki, Ghanizade, orang yang dengan penuh kebenaran selalu menemukan gambaran-gambaran yang fantastis.
Maka, gagasan bahwa kedua sandal Nabi menginjak Arasy Ilahi dan bahwa “debu jalannya adalah mahkota bagi Arasy” selalu ditukas-tukas.
Terbangnya sang satu ke Sang Satu
Bagi Annemarie Schimmel, dalam buku lantipnya, Cahaya Purnama Kekasih Tuhan: Dan Muhammad adalah Utusan Allah (2012), Mi’rajiyye karya Ghanizade asal Turki abad ke-17 masehi, adalah contoh menonjol dari seni ini, melampaui kebanyakan gambaran lain ihwal perjalanan ke langit itu dalam imaji-imaji mewah.
Sang penyair ini melukiskan malam penuh berkat itu, yang di dalamnya “kegelapan adalah kekelaman hitam”, dan lantas melantunkan keajaiban-keajaiban tak terhingga Nabi saw, sampai dia memperingatkan dirinya sendiri agar pada akhirnya sampai pada tema sebenarnya dari syairnya: perjalanan ke langit.
Di sinilah khususnya digambarkan sosok Buraq–seekor binatang berkaki empat yang lebih besar dari seekor keledai dan lebih kecil dari seekor kuda–dengan sangat menarik. Para penyair selalu senang melukiskan makhluk ini, yang diciptakan dari cahaya, dengan kepala seorang perempuan dan ekor burung merak, dan dengan cepat membawa Nabi melewati bergalaksi-galaksi malaikat, yang semuanya menyalaminya dengan penuh takzim, memuji, dan takjub.
Utusan dari langit datang kepada Nabi Suci di malam itu,
Dia membawa seekor Buraq,
cepat bagaikan kilat dan menembus angkasa
Sebuah tunggangan aneh, berderap cepat,
berjalan kian kemari di jagat
dan di Takhta samawi–berganti-ganti
Di kerajaan bumi bak seekor rusa betina berlari kencang,
di langit bak seekor phoenix yang secepat kilat terbang.
Tubuhnya bunga mawar; rambutnya hyacinth (sejenis bunga);
gagah perkasa ekornya! ekor yang begitu memesona;
Telinganya daun bunga bakung;
matanya yang kemerah-merahan,
bunga narsis yang bercahaya sayup-sayup…
Kalakian, Jibril harus tetap tinggal di belakang di dekat Pohon Bidara, dan Buraq sendiri diganti dengan sebuah kendaraan misterius, yang disebut rafraf (bandingkan dengan Alquran Surah Al-Rahman [55]: 76, yang di sana rafraf disebut sebagai semacam bantal samawi), dan akhirnya rafraf ini pun (di sini barangkali awan hijau) tetap tinggal di belakang “laksana daun nan luruh dari buah segar di musim gugur.”
Kini, Muhammad terus melangkah maju sendirian Hadirat Ilahi, mengalami apa yang biasa disebut oleh para mistikus dalam tradisi Plotinian sebagai “terbangnya sang satu ke Sang Satu”.
Buraq tampak besar tetapi samar-samar dalam seluruh proses itu, dan menjadi demikian masyhur dalam syair-syair gubahan para sufi sehingga objek sentral versi-versi sebelumnya, yaitu tangga ke langit atau Mikraj, tampak sepenuhnya terlupakan, meski terus meminjamkan namanya kepada segenap pengalaman itu.
Para pembuat gambar kecil di Iran dan di negeri-negeri yang dipengaruhi kultur Iran juga mempersembahkan lukisan-lukisan mereka yang sangat indah mengenai perjalanan ke langit itu. Manuskrip Uyghur Mi’rajnama–dengan ilustrasi yang sangat indah, yang berasal dari istana Timuriyyah di Herat–termasuk contoh pertama kategori ini, yang mulai berkembang pada akhir abad ke-14 M. Mi’rajnama memberi suatu gambaran hidup tentang semua tahap dan tempat yang dilalui Nabi dalam perjalanannya.
Orang melihat Muhammad, wajahnya berhijab, diselimuti awan-awan aneka warna, mengendarai Buraq melewati langit malam–di zaman modern kadang-kadang dia dilambangkan dengan awan putih nan agung atau bunga mawar di atas punggung Buraq. Para malaikat dalam pakaian indah dan agung mengelilinginya, membawa dupa di depannya, dan menyertainya, bak pangeran, dalam keagungan, menuju gerbang Hadirat Allah swt.
Azimat
Sebagaimana gambar Buraq telah menjadi azimat bagi para pengendara truk sederhana di daerah-daerah pegunungan Pakistan, atau bagi orang-orang yang berziarah ke tempat-tempat suci para wali di Anak-Benua India, begitu pula perjalanan Nabi ke langit dimafhumi sejak abad-abad awal sebagai paradigma pengalaman spiritual kaum sufi.
Sejak abad ke-9 M, para pegiat tasawuf sudah biasa menggambarkan perjalanan ekstatik mereka sebagai perjalanan menembus langit, karena mereka mengalami secara spiritual apa yang telah dialami oleh Nabi secara jasmani. Bayazid Bisthami, sufi dari Iran utara, yang melukiskan penglihatan hatinya tentang penerbangannya menembus kerajaan-kerajaan langit termasuk “paradoks-paradoks kaum sufi” paling awal, jelas-jelas adalah menggunakan perlambangan ini.
Syam Tabrizi berkata, “Mengikuti Muhammad berarti: karena dia telah melakukan perjalanan ke langit, kau harus ikut di belakangnya.” Dari Ibnu Sina dan Suhrawardi (Sang Syaikh al-Isyraq) hingga Ibn ‘Arabi, pelbagai pandangan mistis (yang membawa jiwa sang pencari ke Hadirat Ilahi) digambarkan dalam terminologi Mikraj.
Mengingat bahwa Mikraj adalah semacam pengalaman penahbisan, orang-orang Bektashi di Turki sampai sekarang menggunakan istilah itu sebagian sebagai nama hari, yang pada hari itu seorang anggota baru tarekat “ikut ambil bagian”, yakni ditahbiskan ke dalam tarekat dan akan diberi ucapan selamat kepadanya dengan kata-kata: “Miracin kutlu olsun (Semoga Mirraj-mu diberkahi!).”
Arkian, dalam puisi mistis yang tinggi, Buraq kadang-kadang menjadi padanan Cinta, Cinta Ilahi yang, seperti diulang-ulang oleh Rumi, dapat membawa manusia dalam sekejap mata ke Hadirat Ilahi, sementara akal tertahan jauh di belakang akal tertahan jauh di belakang dalam debu bagaikan seekor keledai yang pincang.
Sangat mungkin bahwa lema Persia nardaban (tangga) yang muncul demikian sering dalam baris sajak mistis Sana’i (dan, mengikuti dia, Rumi) dimaksudkan untuk melukiskan perjalanan ke langit yang dilakukan Nabi Muhammad saw, sebab pada umumnya hal ihwal itu digunakan untuk menggambarkan perjalanan sang sufi ke “atap Sang Kekasih”.
Dan, Rumi menyebut sama’, tarian mistis, sebagai “tangga yang menjulang lebih tinggi dari langit ketujuh”, karena salam sama’ sang sufi dapat mencapai pengalaman bermanunggal, “waktu bersama Allah swt”.